Rumah Dinas (Seto & Mira) - Part 3
Mbok sinem terlihat sedang duduk santai sambil mendengarkan radio usang. mendengarkan berita mengenai harga BBM yang naik sehingga membuat harga sembako menjadi ikut naik.
"Mbok, saya bosan", kata Mira yang sedari tadi juga ikut mendengarkan radio. Namun Mira menjadi semakin bosan karena tidak ada yang bisa dia lakukan disini.
"Mau jalan-jalan?", Mbok Sinem menawarkan.
"Mau.. mau..", jawab Mira semangat.
"Ke pasar saja ya, mumpung masih buka jam segini".
"Iya.. saya ambil dompet dulu ya Mbok, tunggu sebentar', ucap Mira bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengambil dompet.
Mbok Sinem menunggu dengan tenang, sampai sesuatu di dekat gorden membuat Mbok Sinem menggelengkan kepala.
"Jangan ganggu..", cuman Mbok Sinem pelan.
"Ayo Mbok", ajak Mira, menepuk pelan pundak Mbok Sinem, membuat Mbok Sinem terkejut.
"Kenapa Mbok", tanya Mira sambil melihat ke arah gorden.
"Bukan apa-apa. Sudah, ayo", ajak Mbok Sinem, menghindari topik obrolan.
***
15 menit berjalan, Mira dan Mbok Sinem sampai di sebuah pasar yang bernama Pasar Kutukan.
Suasana di pasar itu terlihat ramai, walau jam sudah menunjukkan jam dua siang.
Berada di Pasar Kutukan, membuat Mira seperti melihat film tempo dulu. Dimana banyak pedagang yang menjual tembikar, peralatan masak dari kayu, dan suasana tokok yang temboknya terbuat dari anyaman bambu.
Apalagi pakaian yang dikenakan para pedagang juga sangat tradisional. Untuk laki-laki, hampir semuanya mengenakan celana hitam di bawah lutut, dan udeng bercorak batik. Dan hampir semuanya bertelanjang kaki.
Dan yang perempuan, hampir semuanya menggunakan jarit, atasan kebaya dengan berbagai warna, rambut juga di tata rapi, disanggul. Terlihat sangat manis.
Walaupun sudah siang, pedagang menjajakan dagangannya dengan semangat, membuat Mira terkagum-kagum.
"Sekalian belanja buat masak besok Mbok", ajak Mira, sambil menuju ke pedagang sayur.
"Ajeng tumbas napa mbak ayu?", tanya Mbah penjual sayur.
"Mbah nya ngomong apa Mbok?", tanya Mira yang memang tidak mengerti bahasa Jawa.
" Mbahnya nanya, Bu Mira mau beli apa? Gitu", jelas Mbok Sinem.
"Oohh, saya mau beli sayur Mbah. Cabai nya setengah kilo, bawang merah dan bawang putih juga setengah kilo, sama kangkung dua ikat", jawab Mira sambil menunjuk apa yang mau di abeli.
Penjual mengangguk, setelah Mbok Sinem membantu menterjemahkan apa yang Mira maksud.
Setelah selesai, penjual memasukkan barang yang di beli oleh Mira ke dalam kantung berwarna hitam gelap.
"Niki Mbak sayur nya. Terus niki ndamel Nduk'e (ini Mbak sayurnya, dan ini buat anak perempuannya)", ucap Mbah sambil memberikan sebuah gulali berbentuk bunga.
"Nduk sinten to Mbah? (anak perempuan siapa sih Mbak?)", tanya Mbok Sinem kesal.
"Di gowo wae, bocahe pengen permen. Uncalno sandinge wit gedhang (dibawa aja, anaknya kepengen permen. Dilempar di sebelah pohon pisang)", jawab si Mbah memaksa Mira untuk membawa permen itu.
Sedangkan Mira yang memang tidak tahu, hanya menurut. Memasukkan permen ke dalam kantong belanjaan sebelum pulang.
***
Rumah terlihat lenggang, sepi. Pintu juga terkunci rapat. Seto menghela nafas panjang, lalu duduk di kursi rotan di dekat pintu. Kursi untuk menerima tam yang hanya ingin basa basi, karena tamu penting biasanya masuk ke dalam rumah.
"Kui lo.. kui saiki sing manggoni omah hantu. Kok ra wedi yo? (Itu lho.. yang sekarang menempati rumah hantu. Kok ngga takut ya?)", bisik dua bocah di dekat pagar bambu.
"Heh sini", teriak Seto.
Dua anak itu memandang Seto dengan ragu, tapi enggan untuk masuk ke dalam rumah. Menginjakkan kaki di halaman saja mereka tidak mau. Hanya mematung di pinggir jalan.
"Dipanggil kok ngga mau mampir?", tanya Seto sambil menepuk pundak Adi, anak berperawakan kurus dengan rambut plontos yang kini tersenyum lebar.
"Ndak papa Pak Dokter, anu.. anu..", Adi nampak berfikir, mencari alasan yang tepat untuk bisa segera pulang.
"Hiihhh..", guman Ado yang kesal karena sepupunya tak kunjung memberi jawaban yang jelas. Ado yang berperawakan gembul dengan rambut ikal belah tengah, menarik kaos Adi agar segera pergi dari rumah itu.
"Anu, anu,, anu nya siapa?", tanya Seto gemas, melihat gigi kelinci Adi yang sedari tadi eksis.
"Anu nya saya Pak Dokter, eh.. ehm, saya disuruh Ibu ke warung beli gula. Saya duluan ya Pak..", kata Adi gelagapan, membuat Seto terkikik gemas melihat tingkah laku Adi.
"Yaudah, ini buat bekal", balas Seto sembari memberikan segenggam dodol pada Adi.
"Lho buat saya mana Pak Dokter?, tanya Ado memelas, tergoda dengan dodol yang di bawa Adi.
"Di bagi dua ya. Yang rata baginya, harus adil", kata Seto mengelus kepala Adi dan Ado, sebelum keduanya berlalu.
***
"Lho Mas, kok sudah pulang? Aku kira sore baru pulang", kata Mira berlari kecil ke arah suaminya.
"Tadi kan cuma penyuluhan, jadi ngga terlalu sore pulangnya. Lagi pula belum ada yang harus di rawat juga", jawab Seto sambil mengelus kepala Mira.
"Makasih ya Mbok, sudah ajak Mira jalan-jalan", imbuh Seto setelah mencium tangan Mbok Sinem.
"Sama-sama. Karena Pak Seto sudah pulang, saya mau pamit juga kalau gitu", pamit Mbok Sinem, sambil memberikan belanjaan ke Mira.
"Iya, hati-hati ya Mbok. Besok ke sini lagi ya, soalnya besok saya sudah mulai tugas di puskesmas", minta Seto sebelum Mbok Sinem berlalu.
"Iya Pak. Bu Mira, tolong permennya di taruh di bawah pohon pisang ya, yang dekat dengan kamar mandi", Mbok Sinem mengingatkan.
Mira hanya mengangguk, membiarkan Mbok Sinem pulang.
"Aneh deh Mas, masak permen gulali nya di suruh buang ke pohon pisang? Mending aku yang makan lah, sayang kalau di buang", Mira mengeluarkan permen berbentuk bungan yang tadi di beri oleh pedagang sayur.
"Ya sudah, tapi makannya di dalam ya. Mas sudah laper, tadi sebenarnya di ajak makan-makan sama Pak RT, tapi Mas nolak karena pengen pulang cepet", jawab Seto sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
"Yah, aku kira kan sampai sore, ternyata jam 3 sudah pulang. Maaf ya.. tapi masih ada makanan kok di dapur", kata Mira.
***
Tok.. Tok.. Tok..
Suara ketukan pintu, membuat Seto bergegas bangun dari tidurnya yang singkat. Rencananya yang hanya tidur satu jam, ternyata lebih lama dari perkiraan.
Jam sudah menunjukkan 17.15, membuat seluruh ruanga rumah manjadi gelap. Dilihatnya Mira juga masih tertidur. Enggan membangunkan, Seto memilih untuk menemui tamu seorang diri.
Ceklek..
Pintu terbuka, menampilkan sesorang perempuan yang tadi pagi sempat Seto rawat.
"Bu Mega" Mari silahkan masuk", ajak Seto sembari membuka pintu lebih lebar.
Mega menggeleng pelan, sedari tadi dirinya menunduj, menyembunyikan wajahnya.
"Terima kasih..", kata Mega.
"Terima kasih untuk apa Bu?", tanya Seto lembut.
Mega menepuk dadanya pelan.
"Luka saya tidak akan pernah sembuh. Tapi, terima kasih sudah peduli. Saya kira kamu sama seperti dia, ternyata tidak. Kamu baik.. orang baik. Kamu pergi saja dari sini, disini bahaya", guman Mega parau.
Seto mengernyitkan dahinya, bingung dengan apa yang di katakan Mega.
"Dia siapa", tanya Seto coba mengulik.
Namun, baru saja Mega hendak menjawab, Suara Mira mengalihkan pandangan Seto dari Mega.
"Mas, ngobrol sama siapa?", tanya Mira dari dalam rumah.
"Sama warga..", jawab Seto singkat sambil menoleh kembali ke arah Mega, Mega sudah tidak ada.
***
Hari muali gelap. Anak-anak berlarian, bergegas pulang ke rumah masing-masing. Pintu-pintu ditutup rapat, begitupun dengan jendela. Semua perempuan berdiam diri, membekap anak-anak mereka sembari mengelus dada.
Bowo menyiapkan lentera, kepalanya pening, tak habis pikir. Mbok Sinem terlihat gelisah, menanggapi kejadian yang tak terduga.
"Mbok, warga juga sepakat, mboten wenahi weruh marang Pak Dokter. Nopo maleh wenehi werung marang Bu Mira. Dadi, sonten niki, Mega di kuburaken ning alas (Mbok, warga sudah sepakat untuk tidak memberi tahu Pak Dokter apalagi Bu Mira. Jadi malam ini Mega akan di kuburkan di hutan)"
Mbok Sinem berkaca-kaca. Badannya gemetar menahan tangis yang sekuat tenaga dirinya sembunyikan.
"Kuburkan dengan layak. Semua warga bersalah atas kematiannya Le. Aku, kamu dan semua warga akan ketulah! Ini adalah awal bencana hebat untuk warga Desa Rantru", ucap Mbok Sinem pelan naum tajam.
Bowo, memeluk kaki Sinem erat. Dirinya pun takut. Namun sebagai laki-laki satu-satunya di rumah ini, Bowo harus ikut andil dan keluar dari rumah untuk menguburkan rahasia besar yang di bawa oleh raga Mega.
"Sing ngati-ati.. (Yang hati-hati..)", pesan Mbok sinem, melepas kepergian Bowo.
Di pos ronda, perbatasan Desa Rantru dan Hutan Kayu mati. Banyak pemuda desa dan Bapak-bapak yang tengah berkumpul, dengan lentera dan obor di tangan masing-masing.
"Heh Wo..", sapa Pak Dadang saat melihat Bowo dari kejauhan.
"Pak..", balas Bowo.
"Pripun? Pun di dokne mayit e? (Gimana? Sudah di turunkan mayatnya?)", tanya Bowo.
"Makane kui.. wit e rumayan dukur. Nek awakmu sing ngedukne piye? (Itulah, pohonnya lumayan tinggi. Kalau kamu yang bawa turun gimana?), tanya Pak Dadang.
" Yo mosok aku to Pak" Wedi lah nek dewean (Kok saya Pak? Takutlah kalau sendirian), balas Bowo dengan muka masa.
"Yooo ora dewean. Awakmu kan mung ngedokne, warga liyae ngenteni ning ngisor, sing nampani (Yaaa ngga sendirian. Kamu kan cuma nurunin, warga lainnya nunggu di bawah, yang nerima), balas Pak Dadang coba membujuk Bowo.
Bowo akhirnya meng iya kan meski dengan sedikit terpaksa, tapi membuat warga lainnya terlihat lega.
karena sudah sepakat, warga pun akhirnya bergegas membawa obor dan lentera lalu bersiap masuk ke hutan.
***
Suasana hutan gelap gulita, bau tanah basah menyeruak. Papan yang dituliskan dilarang masuk, di trabas oleh warga. Untuk kedua kalinya warga kembali memasuki kawasan hutan terlarang.
Plak plak plak
Suara sandal jepit yang beradu dengan tanah becek terdengar nyaring. Tak ada sarupun warga yang bersuara, semua tangah beradu dengan rasa takut masing-masing. Melewati jalan yang di tutupi tumput setinggi pinggang.
Samar-samar bau anyir menyengat, padahal tempat kejadian masih jauh.
Bowo berjalan sembari menunduk, mengikuti langkah kaki Pak Dadang yang berjalan didepannya. Sampai sesuatu yang mengerikan mulai terlihat. Sepasang kaki penuh nanah dengan jarit serupa tanah berjalan di samping Bowo.
Bowo menhan nafas dalam-dalam, badangnya merinding seketika. Jalan terlalu sempit untuk dilewati berdua, oleh sebab itu semua berjalan satu persatu. Dan jarit itu sangat familiar di mata Bowo.
"Wooo..", bisik sosok itu lirih.
"Kabeh bakal kebuka Wo.. Matiku bakal ndarakne awakmu kabeh ngomong (Semua akan terbuka.. kematianku akan membuat kalian semua bicara)", lanjut sosok itu tepat di telingan Bowo.
Bowo berhentu, matanya berkunang kunang, mendadak tubuhnya lemas seketika.
Warga lain yang berada di belakangnya mengangkat bahu Bowo saat badannya terlihat mau ambruk ke tanah.
"Pakde.. durung ditulungi, wonge wis marani aku! (Pakde.. belum di tolong, orangnya sudah mendatangi saya!)", rintih Bowo, ketakutan membuatnya susah bersuara.
"Kui mung pikiranmu ae! Wes gek ndang di lekasi ae, ben ndang bar (Itu hanya pikiranmu! Sudah ayo cepat di mulai supaya cepat selesai), kata Pak Dadang mengangkat badan Bowo, lalu menggandengnya ke tempat kejadian.
Warga kembali berjalan, mengikuti seutas tali yang diikat oleh salah satu warga yang pertama kali menemukan Mega.
Lambat laun, Bau anyir semakin menyengat. Hingga sesuatu yang tergantung di sebuah pohon membuat semua badan warga yang ada gemetar.
Semua semakin ketakutan saat melihat sosok Moga yang tak hanya tergantung, namun perutnya juga koyak, menampilkan isinya yang berhamburan. Matanya juga melotot, bersama darah yang keluar dari mulut dan hidung.
"Hueekkk.. huueekkkk..", Bowo memuntahkan seluruh isi perutnya, saat darah segar masih menetes dari perut Mega yang koyak.
"Ampun Pakde, kulo mboten kuat (Ampun Pakde, saya ngga kuat)", teriak Bowo.
Semua warga tak kalah takutnya, tak ada yangberani menurunkan Mega.
"Kalau begitu, mayat ini biarkan menggantung disini! Ini kan yang kalian mau? Dulu juga begitu kan? Sampai papan itu terpasang, dan kalian tidak bisa lagi masuk kedalam hutan ini! Ya sudah kalau memang tidak ada yang mau menurunkan Mega, kita pulang sekarang! Tapi jangan ada yang bilang kalau mayat itu belum dikuburkan, tutup semua mulut kalian rapat-rapat!", kata Pak Dadang sambil berlalu pulang.
Warga yang sudah ketakutan, tak ada yang mau tinggal di lokasi kejadian. Semua berlari pulang ke rumah masihng-masing. Sekali lagi peristiwa kelam terjadi, nyawa yang hilang tanpa dikubur kedalam tanah, membawa kembali sosok mengerikan ke dalam Desa Rantru.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar