September Kelabu 1970 (Gn. Pangrango)
Satu tahun selepas duka meninggalnya Soe Hok Gie dipuncak Semeru, dunia ke pecinta alam an Indonesia yang saat itu sedang ramai, kembali ditimpa musibah. Dua mahasiswa asal Jakarta yakni Arief "mboen" Kusnanto dan Willy Boentaran dinyatakan hilang di Gunung Pangrango. Mboen dan Willy adalah pendaki yang berpengalaman, Mboen saat itu adalah mahasiswa tingkat dua fakultas kedokteran Yarsi dan Willy adalah mahasiswa tingkat tiga fakultas kedokteran Universitas Indonesia yang juga tercatat sebagai anggota Mapala Universitas Indonesia.
bermula dari ajakan Mboen pada teman-temannya untuk ikut mendaki Gunung Pangrango. Berangkat melalui jalur Cibodas di Kabupaten Cianjur dan turun melalui jalur Cisaat, Kabupaten Sukabumi, dengan berbekal peta militer yang baru ia dapatkan. Seperti yang diketahui, Gunung Gede-Pangrango merupakan gunung yang sangat populer dikalangan pendaki, merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango yang ada ditiga Kabupaten yakni Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Dimana saat ini hanya ada tiga rute resmi pendakian ang aman bagi pendaki, yaitu jalur Cibodas, jalur Gunung Putri dan jalur Selabintana. Sisanya seperti rute Pasir Datar, Pasir Arca, Cisaat, Cisarua dan Gunung mas merupakan rute ilegal dan relatif berbahaya untuk dilalui, banyak jalan setapak yang telah terputus dan tertutup kembali oleh semak belukar karena sangat jarang dilewati.
Mboen memulai pendakian dari Kebun Raya Cibodas bersama dua orang rekannya. Memulai perjalanan malam hingga tiba di pos persinggahan Kanadang Badak menjelang tengah malam, disana bertemu dengan pendaki-pendaki lain yang sedang beristirahat, tidur berjajar didekat perapian termasuk salah satunya adalah Willy yang saat itu masih terjaga, yang sebelumnya teah mendaki seorang diri lalu menunggu kedatangan Mboen di pos Kandang Badak.
Keesokan paginya mereka berempat melanjutkan perjalanan hingga tiba di alun-alun puncak Pangrango dan sempat berfoto bergantian. Mboen meminta kedua rekannya yang belum berpengalaman untuk turun kembali melalui rute Cibodas, sementara Mboen dan Willy akan melanjutkan ekspedisinya menelusuri peta militer yang ia bawa, membelah belantara hutan Gunung Pangrango melalui rute Cisaat. Mereka berpisah, kedua rekan Mboen berhasil pulang dengan selamat. Sementara Mboen dan Willy, tidak kembali.
Rabu malam, 16 September 1970 pihak keluarga Mboen mulai menanyakan keberadaan Mboen yang tak kunjung pulang dan meminta bantuan Mapala UI untuk mencari. Berita hilangnya Mboen dan Willy segera tersiar melalui radio kesegala penjuru, dalam waktu singkat mobilisasi tim pencari segera dilakukan.
Kamis, 17 September 1970 Mboen dan Willy dinyatakan hilang. Sorenya para pendaki yang tergabung dalam berbagai organisasi pecinta alam mulai berhamburan ke Gunung Pangrango untuk mencari mereka berdua. Tokoh-tokoh pendaki seperi Herman O. Lantang ikut terjun memimpin pencarian. Sebagian dari mereka mulai menyisir dari puncak Pangrango menuju kearah Gunung Putri dan Gunung Masigit yang terletak diantara Gunung Pangrango dan Sukabumi. Sedangkan rombongan yang besar menyisir dari arah Cisaat, Sukabumi.
Ketenaran Mboen di "udara" membuat Hoegeng Imam Santoso, Kapolri saat itu yang sekaligus merupakan ketua dari ORARI mengerahkan satu kompi MOBRI atau Mobil Brigade untuk ikut melakukan operasi SAR. Selain itu juga Detasemen Patroli Jalan Raya yang bermarkas di Pangadegan dikerahkan juga untuk membantu tranportasi dan komunikasi.
Senin siang, 21 September 1970 tim SAR menemukan ransel y ang berisi perlengkapan Mboen dibibir jurang yang cukup curam, termasuk arloji otomatisnya yang sudah mati. Pencarian pun pulai diarahkan disekitar area tersebut, jejak-jejakyang ditinggalkan Mboen mulai dilacak yang ternyata mengarah menuruni tebing dengan kecuraman lebih dari 60 derajat.
Rabu siang, 23 September 1970 jenazah Willy ditemukan pertama kali oleh seorang pemburu ditepi suatu kolam air terjun berketinggian sekitar 30 meter menjulang diatasnya. Willy ditemukan dalam kondisi duduk, bersandar pada sebuah batu dengan kaki terendam air sampai hampir sebatas lutut dan terdapat luka yang sedikit terbuka dikepala kiri yang telah ditumbuhi belatung.
Rabu pagi, 30 September 1970 dimana hari itu merupakan batas akhir operasi pencarian. Tim SAR yang telah berkemas setelah beberapa hari berkemah ditepi sebuah kolam air terjun tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya sesosok mayat dari dasar kolam, mengambang ke permukaan. Jenazah Mboen ditemukan setelah berhari-hari tersangkut pada batu didasar kolam dengan kondisi jasad masih utuh dan hanya terdapat sedikit luka didahi nya.
Berdasarkan hasil temuaan saat itu, jalan setapak yang ditunjukkan peta militer yang mereka bawa ternyata memang ada. Namun pada suatu titik jalan setapak yang mereka berdua lalui terputus karena tertutup semak belukar yang tebalnya hanya tiga meter. Jika saja Mboen dan Willy memutuskan untuk menerabas semak belukar tersebut, mereka akan menemukan kembali sambunga jalan setapak yang ada dipeta militer yang mereka bawa. Tapi sepertinya mereka mengambil jalur lain yaitu mengikuti aliran sungai disebelah kiri punggungan.
Belakangan diketahui bahwa sungai yang mengalir kearah Sukabumi tersebut memiliki tujuh air terjun. Air terjun pertama berhasil mereka lalui dengan menggunakan tali. Air terjun keduapun berhasil mereka turuni meski tanpa menggunakan tali, karena tali yang mereka bawa telah digunakan dan otomatis ditinggal di air terjun sebelumnya. Pada air terjun yang ketiga, seperti biasanya Willy sebagai pendaki yang lebih senior mengambil inisiatif melakukan penurunan terlebih dahulu dengan mengandalkan rumput dan semak yang menutupi tebing itu sebagai pegangan. Sayangnya ia tak berhasil, terpeleset dan jatuh dari ketinggian sekitar 20 meter.
Mboen yang panik menyadari Willy terjatuh bergegas turun untuk menolongnya, namun ia tidak mau mengambil resiko menuruni tebing yang sama, Mboen memilih berjalan mengitari punggung gunung lalu meninggalkan ransel dan jaketnya ditempat dimana jaket dan ranselnya ditemukan, agar pergerakannya tidak disulitkan oleh barang bawaan.
Dimungkinkan saat itu Willy masih hidup dan sempat terjadi komunikasi saat Mboen berhasil mencapi lokasi Willy, hingga akhirnya Willy dipindahkan ke tepi kolam dan diduduk kan bersandar pada batu. Kemudian Mboen meninggalkan Willy di tepi kolam dan melanjutkan perjalanan turun menyusuri sungai untuk mencari bantuan. Mboen berhasil melewati air terjun keempat, namun naas pada air terjun kelima Mboen terjatuh dan tewas sebelum ia berhasil menaklukkan dua air terjun lagi untuk bisa mencapai kota Sukabumi.
Puluhan tahun setelah berlalunya tragedi tersebut, rute Cisaat masih dilalui oleh pendaki. Beberapa berhasil melewatinya, beberapa tersesat, hilang atau ditemukan dalam keadaan tewas. Hingga pada tahun 2007 atas pertimbangan kondisi medan dan cuaca yang ekstrem disepanjang jalur, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango akhirnya menutup rute pendakian Cisaat. Namun hingga saat ini masih ditemukan pendaki yang memasuki kawasan Gunung Gede-Pangrango secara ilegal melalui rute paling berbahaya ini. Begitu berbahayanya, disebuah artikel tabloid terbitan tahun 1984, Norman Edwin menyebut rute pendakian ini sebagai "Lintasan Gila".
The End
Komentar
Posting Komentar