Rumah Dinas (Seto & Mira) - Part 1
Mira memasukkan helai demi helai baju ke dalam koper. Memastikan tidak ada yang tertinggal. Dua tahun ke depan Mira akan menghabiskan waktunya di Desa Rantru, desa yang jauh dari keramaian kota.
"Tolong kamu siapkan keperluan lainnya Mas, selimut, obat-obatan, semuanya jangan lupa di bawa", pinta Mira sembari mengecek ulang barang bawaan.
"Kalau obat, gak mungkin lupa. Kan suami mu ini dokter", ucap Seto tersenyum simpul, sembari merekatkan selotip pada kardus terakhir.
"Ah.. benar juga..", gumam Mira dengan mimik sendu.
"Kita hanya dua tahun lho. Gak akan lama, nanti kamu juga akan terbiasa. Kita hidup harus bermanfaat untuk orang banyak".
"Aku gak masalah untuk tinggal di pelosok desa. Yang membuatku sedih, berarti program hamil harus tertunda lagi. Kadang aku kesal Mas, kita sudah empat tahun menikah, tapi belum juga dapat momongan".
"Mira, momongan itu sudah digariskan. Kalau sudah waktunya, pasti akan di kasih. Makanya itu, Mas pengen cari suasana baru, siapa tahu sembari kita bantu orang lain, Tuhan titipkan momongan ke kita".
Mira menghembuskan nafas panjang, hatinya meng iya kan ucapan suaminya.
Rutinitas seperti ini memang sudah lama dilakukan Seto, bahkan sebelum mereka menikah. Pindah tugas dari desa satu ke desa yang lain, demi membantu sesama yang keberadaannya tidak terjangkau oleh dunia luar.
Walaupun mulia, kadang Mira merasa di nomor dua kan. Rasanya ego nya ingin mengatakan untuk lebih fokus kepada dirinya, untuk lebih dulu mementingkan bagaimana caranya mendapatkan momongan. Namun, nuraninya lebih dominan. Oleh sebab itu, Mira tak pernah protes. Bahkan selalu mengikuti kemanapun Seto di tugaskan.
"Ayo tidur, besok kita berangkat pagi. Kita sampai sana kemungkinan malam. Jadi kamu harus istirahat yang cukup biar ngga capek".
Mira mengangguk, di pinggirkannya koper yang sudah tertata rapi. Naik ke ranjang, lalu menutup matanya. Berharap hari esok akan lebih baik.
***
Malam berganti pagi.
Lambat laun awan kelabu merona kemerahan. Matahari mulai muncul, di susul dengan bunyi alarm yang berhasil membangunkan Mira dari tidurnya.
Mira, mengucek matanya, menguap sebentar, lalu membangunkan Seto yang masih tertidur pulas. Seakan suara alarm yang begitu nyaring tidak bisa mengganggunya.
"Mas, bangun..", ucap Mira sambil mengguncang pelan tubuh suaminya.
"Hmmmm", erang Seto yang masih mengantuk.
"Aku siapin sarapan dulu ya, kamu cepat bangun", kata Mira, membiarkan Seto kembali tertidur.
Mira meraih tombol lampu, menyalakannya, lalu bergegas menuju dapur.
Dengan gesit, Mira meraih dua butir telur dan memasukkannya ke wajan. Tak butuh waktu lama, kurang dari sepuluh menit, dua telur mata sapi dan nasi panas sudah tersedia di meja.
Seto berjalan gontai menuju meja makan. Aroma masakan Mira adalah alarm terbaik baginya, walaupun lauknya hanya sederhana.
"Cepat sarapan, jam enam kita berangkat lho", Mira kembali melihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul lima pagi.
"Iya, gak usah buru-buru. Tadi, aku dapat kabar dari Pak RT, katanya rumahnys sudah disiapkan, rumah bekas dokter juga. Dan kebetulan. Pak RT sedang berhalangan, jadi kunci rumah di pasrahkan kewarga yang rumahnya dekat situ. Jadi ngga masalah kalau kita sedikit terlambat, ngga ada yang di tungguin juga".
"Begitu ya, syukur deh. Tapi karena kita sudah terlanjur bangun, mending sesuai jadwal aja. Toh kita juga tinggal berangkat, kalau kemalaman ngeri juga Mas".
"Ya sudah kalau maunya gitu", balas Seto sambil memasukkan suapan nasi terakhir.
***
Waktu sudah pukul enam lima belas, ketika Seto mulai melajuka mobilnya dengan kecepatan sedang.
Walau masih pagi, jalanan sudah dipenuhi dengan kendaraan. Bau knalpot juga membumbung, menyaru dengan udara pagi hari yang semestinya segar.
"Nanti kalau di desa, ngga ada bau knalpot lagi. Ngga ada lampu merah, ngga ada macet, terus orangnya juga ramah-ramah", kata Seto sambil melirim Mira yang duduk disebelahnya.
"Iya..", balas Mira seadanya.
"Terus sampai sana gimana? Kan jalanannya ngga bisa dilewati mobil".
"Nah ini pertanyaan yang Mas tunggu-tunggu. Dari kemarin kamu masa bodo terus sih".
"Iya deh, jadi gimana?".
"Nanti mobil dititipkan dirumah warga. Mas sudah suruh Asep untuk ambil mobilnya, besok. Ke desanya kita nanti naik dokar. Kamu belum pernah naik dokar kan?", jelas Seto.
"Belum sih. Tapi kan malam Mas, masa naik dokar sih".
"Kenapa, takut?", ledek Seto yang melihat gurat khawatir di wajahnya.
"Aku lebih takut sama begal Mas".
"Aman kok Mir. Sebenarnya Mas juga maunya naik motor. Tapi kalau naik motor kan kamu dibonceng orang, iya kalau pelan, kalau ugal-ugalan gimana? Lebih aman naik dokar, biar barang-barangnya bisa sekallian kebawa".
"Ya sudah kalau memang bagusnya begitu", jawab Mira. Walau khawatir, Mira tahu benar, Seto pasti memikirkan yang terbaik untuk mereka berdua.
***
Riuh perkotaan lambat laun digantikan dengan hening pedesaan. Suara jangkrik samar-samar terdengar tatkala langit mulai berubah kemerahan. Senja melukis langit dengan sempurna saat Seto menghentikan mobilnya pada sebuah warung bambu, di pinggir jalan.
"Mau pesan apa Mbak, Mas?", sapa Ibu warung, saat Mira dan Seto duduk di kursi rotan.
"Ibu jual apa aja?", tanya Mira sambil tersenyum.
"Sego ampok ada, tiwul ada, botok tawon ada, soto juga ada, rawon, lalapan ayam ada..".
"Saya pesan rawon aja, sama teh panas ya Bu", ucap Seto.
"Mbaknya mau makan apa?".
"Saya soto aja deh Bu, sama teh panas juga", jawab Mira.
"Ada tambahan lain?".
"Itu aja dulu Bu", jawab Seto, membuat Ibu warung bergegas membuatkan pesanan.
Mira menghirup aroma pedesaan dalam-dalam. Bau tanah yang membaur dengan bau tanaman membuatnya nyaman. Apalagi, dengan suasana sejuk yang jauh dari sesaknya kendaraan, bagian inilah yang paling Mira rindukan saat menemani suaminya bertugas.
"Mulai menikmati kan?", tanya Seto melihat senyum Mira kembal merekah.
"Iya, tapi kamu harus janji. Kalau sepulang dari desa aku belum hamil, kamu ngga boleh nunda buat program hamil. Kamu juga harus nolak kalau dipindah tugaskan di pelosok desa lagi", pinta Mira, sungguh-sungguh.
"Iya", jawab Seto singkat, tapi sungguh-sungguh.
"Monggo, ini sotonya, rawon dan dua teh panas", kata Bu warung menaruh pesanan Seto dan Mira di atas meja.
"Makasih Bu..", jawab Seto dan Mira nyaris bersamaan.
"Sama-sama. Ngomong-ngomong Mbak dan Mas nya ini mau kemana?", tanya Bu warung.
"Kita mau ke desa Rantru Bu", jawab Seto sambil tersenyum.
"Ooh, mending jangan kesana malam-malam Mas, kesananya pagi saja", kata Ibu warung mengingatkan.
"Besok saya sudah harus tugas Bu, jadi harus sampai hari ini juga".
"Memang Mas nya kerja apa disana?".
"Saya dokter umum Bu".
"Ooh.. Eeh, ya sudah monggo di teruskan", jawab Ibu warung setengah kaget. Walau begitu, tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya.
"Ibu itu kenapa deh Mas? Kok kaya kaget gitu pas kamu bilang, kamu dokter?", tanya Mira penasaran.
"Entahlah, mungkin karena jarang ada dokter di desa itu. Udah ngga usah di pikirin, cepet habisin makanannya, biar ngga kemaleman".
"Iya Mas..".
***
Malam mulai tiba. Suara jangkrik kian riuh, ditambah hujan gerimis yang menemani perjalanan.
Seto menghela nafas panjang, saat kabut membuat jarak pandang semakin pendek. Apalagi jalanan seetapak jauh dari kata mulus.
"Sepi Mas..", guman Mira, sembari melihat ke sepanjang jalan. Jalan yang sangat sunyi, kanan dan kiri jalan juga tidak ada rumah, hanya pohon-pohon besar yang bisa Mira nikmati di sepanjang jalan.
"Namanya juga desa terpencil", jawab Seto seadanya.
"Tapi, desa yang dulu rasanya juga padat Mas, ngga hutan belantara begini".
"Itu kan pas sudah di desanya. Ini, sepi juga karena kita masih di jalan, belum sampai tujuan".
Mira mengangguk kecil, lalu kembali memandang ke jendela, sibuk memandangi jalan. Sampai segerombolan anak kecil terlihat di antara rimbunnya semak.
"Mas, ada bocah", kata Mira dengan intonasi tinggi, berharap suaminya berhenti sejenak.
"Hah? Di hutan kaya gini? Ngga mungkin lah Mir..", balas Seto tanpa mengalihkan pandangannya.
"Beneran Mas, orang banyak kok. Segerombolan gitu", jawab Mira mencoba meyakinkan suaminya.
"Mungkin kamu kecapekan, jadi salah lihat. Ngga mungkin lah ada orang tua yang kasih ijin anakny a main jam segini, apalagi hujan-hujan seperti ini".
Mira menghembuskan nafas panjang. Sekali lagi dirinya melihat ke arah segerombolan anak yang tadi dirinya lihat. Segerombolan anak itu juga melihat Mira. Segerombolan anak tanpa baju, yang sebagian tubuhnya tertutup rimbun nya semak.
***
Pukul dua belas malam Seto sampai pada sebuah rumah yang dekat dengan tugu yang bertuliskan "Desa Rantru".
"Wooeeee Mas..", teriak seorang pemuda berusia dua puluhan. Pemuda itu bernama Bowo. Perawakannya tidak terlalu tinggi, mengenakan kupluk dengan sarung yang di slempangkan di badan.
"Wah, Bowo!", ucap Seto sambil menepuk ringan.
"Ini Istri saya", tambah Seto sambil memegang punggung Mira.
"Waahhh, Bu Mira ya?", tanya Bowo ramah, sembari mengulurkan tangan.
"Iya, saya Mira. Panggil Mbak aja ya", jawab Mira, sembari menyambut uluran tangan Bowo.
"Baik Mbak. Ini barang-barangnya di turunin saja, biar di angkut sama warga. Terus Mbak Mira dan Mas Seto ikut saya naik dokar.
"Yaudah, ayo bantuin saya nurunin barang dulu", ajak Seto sembari membuka pintu belakang mobil.
"Siap Mas. Oya Mbak Mira nunggu di dalam rumah aja, ada Bu Nur didalam".
"Ya sudah saya masuk dulu ya", kata Mira, sebelum masuk ke dalam rumah.
Suasana rumah Bu Nur sangat tradisional. Rumah yang serba kayu dengan halamannya yang luas.
Didalam rumah ternyata tidak hanya Bu Nur, tapi ada anak-anaknya juga yang belum tidur. Mereka tengah mendengarkan dalang cilik yang sedang memainkan wayang kulit.
"Permisi..", sapa Mira, saat sampai di ambang pintu.
"Eh.. Bu dokter! Bu dokter!", teriak salah satu anak. Anak manis bernama Dewi. Teriakannya membuat saudaranya yang lain ikut heboh, berlomba-lomba ke ambang pintu. Berebut menjabat tangan Mira.
"Hmm, jangan ngeribetin Bu dokter", teriak Bu Nurr sambil merapikan hijab nya.
"Ah, ngga papa Bu", ucap Mira sambil mengelus kepala Dewi.
"Maaf ya Bu, anak-anak saya nakal".
"Ahh, ngga Bu. Ini semua anak Ibu?", tanya Mira, melihat empat orang anak ada di hadapannya.
"Masuk dulu Bu dokter", ajak Bu Nur sebelum menjawab pertanyaan Mira.
Mira duduk di di tikar bambu, menghadap wayang yang masih tertancap di batang pisang.
"Ini semua anak saya. Yang paling besar namanya Dewi, yang kedua namanya Gatra, yang ketiga dan keempat namanya Antareja dan Antasena", jawab Bu Nur kemudian.
Dalam hati, Mira begitu iri. Untuk punya satu saja, Tuhan belum mengabulkan, tapi begitu murahnya Tuhan kepada Bu Nur.
"Bu dokter, jangan ngelamun", kata Dewi sambil mengelus tangan Mira.
"Ahh, maaf ya. Jadi ngelamun. Panggil Bu Mira aja ya, kan yang dokter suami Ibu", jawab Mira ramah.
"Iya Bu Mira", jawab anak-anak Bu Nur serentak.
"Di minum teh nya Bu Mira".
"Jadi ngerepotin Bu".
"Ngga, maaf ya seadanya".
"Ini juga sudah cukup Bu", jawab Mira, tak enak hati.
"Nanti kalau ada apa-apa, Bu Mira kesini ya. Terus kalau warga desa ada ngomong yang ngga-ngga, ngga usah di dengerin", kata Bu Nur mengingatkan.
Belum juga Mira menjawab, Seto sudah lebih dulu mengajak Mira untuk bergegas.
"Bu Nur, wah makasih banyak lho Bu. Kok sampai di jamu gini istri saya", ucap Seto.
"Ngga papa Pak Dokter, ini juga ala kadarnya".
"Ini semua sudah beres, jadi saya mau pamit dulu ya Bu, anak-anak", lanjut Seto.
"Saya duluan ya Bu Nur, terima kasih sudah di jamu", kata Mira.
"Hati-hati ya..", balas Bu Nur mengantar sampai ke ambang pintu.
Tapi baru saja Mira keluar, Sena, anak yang paling kecil, menggandeng tangan Mira.
"Bu, mereka ngikutin", ucap Sena.
Buru-buru, Bu Nur membekap mulut Sena.
"Ngga usah di denger Bu Mira, kata Bu Nur.
Mira mengangguk pelan. Walau pikirannya melayang, mencoba mengartikan apa yang di maksud Sena.
Bu Nur melambaikan tangan, melepas kepergian Seto dan Mira. Lambat laun, bayangan Seto dan Mira mulai menjauh, seakan menyaru dengan pekatnya malam.
"Sena, kan Ibu sudah bilang, jangan ngomong yang aneh-aneh. Kasian Bu Mira, nanti kaya yang sudah-sudah", pesan Bu Nur.
"Mesakne Bu, Bu Mira baik", jawab Sena.
"Iya, Ibu tahu. Tapi kan desa kita sudah lama ngga ada dokter. Kalau ada warga yang sakit gimana? Mau ke desa seberang? Ke mbah Ndoho? Sakit fisik ngga bisa di bawa ke dukun Le. Ini juga buat kalian, lisannya di jaga, bikin Bu Mira dan Pak dokter betah disini", ucap bu Nur, sebelum berlalu membawa nampan berisi teh yang masih tersisa separuh.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar