Rumah Di Perkebunan - Part 14
"Ada pocong Om", dengan suara bergetar, aku berbisik ke Om Heri yang sudah ikut duduk bersandar di sebelah kiri.
"Aku takut..", Om heri hanya diam, tapi raut wajahnya terlihat cukup tenang. Sedikit meredakan rasa takut yang sedang aku rasakan.
"Mereka ada, selalu ada disini. Kita berdoa saja dalam hati, supaya cepat pergi", dalam ketakutan, aku mencoba berdoa sebisanya.
"Sepertinya sudah pergi Jon", kata Om Heri sambil merangkup pundakku.
Keadaan dalam rumah sangat sepi dan hening, tak terdengar adanya pergerakan apapun di luar kamar.
Sementara di luar rumah, angin berhembus pelan di pepohonan. Anginnya cukup kencang bertiup. Hembusannya sampai masuk kedalam kamar, masuk melalui sela-sela lubang jendela, jendela yang letaknya tepat diatas kepalaku.
Perasaanku mengatakan kalau kejadian ini belum selesai. Perasaan mengatakan kalau malam ini masih panjang, ketika lolongan panjang anjing hutan ikut menghiasi hembus angin malam.
Lolongan panjang yang awalnya terdengar dari kejauhan, lama kelamaan semakin mendekat. Aku menoleh ke Om Heri, walau masih tersenyum namun nampak ada garis-garis kecemasan di wajahnya.
Kami hanya duduk menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Sambil terus berdoa, kami menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi kemudian.
Harapannya, semoga tidak ada lagi hal yang menyeramkan terjadi. Semoga semuanya aman sampai pagi.
Tapi ternyata harapan tinggal harapan.
***
Tiba-tiba aku mendengar suara. Suara yang bersumber dari jendela yang terletak persis di atas kepala kami yang sedang duduk bersandar di tembok di bawahnya.
Seperti suara gesekan benda. Spontan kami langsung menoleh ke arah jendela. Kami melihat keluar dari sela-sela jendela yang masih dalam keadaan tertutup.
Kami melihat sesuatu. Ada sesuatu yang bergerak gerak.
Benda kecil yang bergerak gerak. Walaupun ruangan tidak terlalu terang, hanya mengandalkan cahaya dari lampu teplok, aku bisa memastikan benda apa itu sebenarnya.
Itu adalah jari tangan. Beberapa jari tangan tampak bergerak gerak mencoba masuk dari lubang-lubang jendela.
Jari-jari itu nampak pucat dan kotor, dengan kuku-kuku nya yang menghitam. Tak terlihat siapa pemilik jari-jari itu.
Jari-jari itu terus bergerak, bergesek ke kanan dan ke kiri. Kami hanya bisa terdiam dan memperhatikan.
Om Heri menundukkan wajahku dengan tangannya, supaya aku tak melihat jari-jari itu lagi.
Setelahnya aku masih mendengar suara jari-jari itu bergerak, mencoba masuk ke dalam kamar.
Badanku gemetar, nyaris menangis. Tapi untunglah, kejadian itu tak berlangsung lama. Beberapa menit kemudian aku sudah tidak mendengar apa-apa lagi.
***
Suasana kembali hening, namun masih mencekam.
Suara angin yang tadinya terdengar berhembus kencang, tidak terdengar lagi.
Lolongan anjing hutan juga mendadak menghilang.
"Yuk kita ke tempat tidur Jon, kita coba untuk tidur ya", kata Omm Heri dengan suara pelan.
Kali ini aku merebahkan badan di sisi yang dekat dengan tembok.
Om Heri menurunkan kelambu, untuk menutupi sekeliling tempat tidur. Kami masih diam tanpa percakapan dan belum juga mampu untuk memejamkan mata.
Cukup lama situasi saling diam itu berlangsung, hingga pada ketika ada sesuatu yang terjadi lagi.
Kompak, kami menoleh ke arah pintu ketika tiba-tiba terdengar suara.. Suara yang bersumber dari pintu kamar. Suara itu muncul dari gagang pintu. Gagang pintu bergerak gerak, seperti hendak ada yang ingin membukanya dari luar.
Kami diam dan membisu, hanya bisa memperhatikan.
Aku yakin, dari tadi pintu sdah dalam keadaan terkunci, Om Heri yang menguncinya dan aku melihatnya sendiri.
Beberapa saat lamanya gagang pintu itu terus bergerak gerak, diselingi dengan sesekali berhenti. Aneh, tapi nyata adanya.
Tiba-tiba, anak kunci dari pintu itu bergerak, berputar dengan sendirinya. Ada sesuatu yang membuatnya berputar.
Hingga pada akhirnya anak kunci itu berhenti berputar ketika posisinya sudah menunjukkan kalau pintu itu sudah dalam keadaan tidak terkunci lagi.
"Jangan takut Jon. Biarin aja, jangan dilihat", Om Heri akhirnya bersuara.
Namun mataku terus saja menatap ke arah pintu itu, menunggu apa yang akan terjadi kemudian.
Iya, gagang pintu kembali bergerak. Daun pintu perlahan-lahan mulai terbuka..
***
Pelan-pelan tercipta celah kecil ketika pintu mulai terbuka perlahan.
Dari balik kelambu kami terus memperhatikan. Pelan-pelan, kami dapat melihat ruang tengah melalui celahnya. Ruang tengah sangat gelap, karena satu-satunya sumber cahaya dari lampu petromak sudah mati sedari tadi.
Kami belum melihat apa-apa. Sampai akhirnya ada sesuatu yang muncul dari balik pintu. Sesuatu yang sudah pernah aku lihat sebelumnya.
Ada sesosok pocong yang berdiri. Sebagian tubuhnya terlihat dari celah pintu yang masih terbuka hanya beberapa sentimeter saja.
Aku terdiam, seperti ternipnotis. Aku melihat Om Heri juga begitu, dia diam dan membisu.
Pocong itu juga masih saja diam berdiri di balik pintu. .
Pintu kembali bergerak. Pelan tapi pasti, membuat pintu terbuka semakin lebar.
Pocong itu bergerak, melayang, masuk kedalam kamar. Lalu berhenti hanya beberapa meter dari tempat tidur.
Hanya kelambu tipis tembus pandang yang memisahkan kami. Jantung seperti berdegup kencang seolah-olah ingin lepas dari dada, keringat dingin mulai mengucur, aku gemetar ketakutan.
Tiba-tiba Om Heri bangun dari posisi tidurnya dan duduk di samping tempat tidur.
"Jangan lihat dia Jon, kamu merem aja".
Aku memejamkan mata sambil menutupi wajah dengan kedua tangan. .
"Tolong jangan ganggu, pergi dari sini", aku mendengar Om Heri berkata dengan pelan, suaranya bergetar.
Lalu dengan suara pelan aku mendengarnya membaca doa dan ayat-ayat suci.
Cukup lama aku mendengar Om Heri melakukan itu, hingga pada akhirnya aku mendengar sepertinya ia bangkit dari duduknya.
Terdengar suara pintu tertutup. Aku membuka mata, ternyata Om Heri yang menutup pintu kamar. Kali ini dia mencabut anak kunci setelah sebelumnya dia mengunci pintu kamar.
***
"Jon bangun, ayo sholat subuh dulu", ah alhamdulillah ternyata sudah subuh. Aku beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Suara motor terdengar di kejauhan ketika aku dan Om Heri sedang duduk di teras rumah, jam sudah menunjukkan sudah hampir pukul tujuh pagi. Ternyata Om Wahyu yang datang.
"Wah kok sarapannya cuma teh aja Jon. Hehehe..", Om Wahyu menyapaku setelah turun dari motor.
Kemudian masuk kedalam rumah untuk menyiapkan sarapan.
Seperti hari-hari sebelumnya suasana pagi hari diperkebunan karet itu cukup indah dan menenangkan, sangat beda situasinya jika kica bicara malam harinya.
Embun pagi menutupi nyaris seluruh perkebunan, sinar matahari perlahan menembus masuk melalui sela-sela pepohonan. Indah sekali.
Masih di teras rumah, kami menikmati nasi goreng kilat buatan Om Wahyu sambil berbincang panjang lebar sambil seesekali kami selingi dengan tawa. Seperti tidak ada kejadian yang mengerikan yang aku alami di malam sebelumnya, aku dan Om Heri belum membahasnya.
Tidak lama setelah itu, satu persatu pekerja perkebunan mulai berdatangan.
Aku? Apakah akan tinggal sendiri dirumah?
Tidak akan, aku lebih memilih ikut mereka bekerja sampai selesai.
***
Disela-sela pekerjaanya, Om Wahyu sesekali mengajakku berbincang. Dia bertanya tentang situasi rumah semalam ketika dia tidak ada dirumah. Aku menceritakan semuanya.
"Itulah Jon, sebenarnya kami juga tidak ingin cerita. Tapi akhirnya kamu merasakan juga kan. Semoga kamu tidak kapk main kesini ya", jelas Om Wahyu.
Kapok? Tentu saja. Aku akan berpikir seribu kali kalau ingin berlibur lagi disini.
Sebenarnya aku sudah ingin pulang, tapi tidak enak juga kalau aku bilang, pasti merepotkan, Karena tentu saja Om Heri harus mengantarkan aku nantinya, dan pastinya itu akan mengganggu pekerjaannya.
Ya sudah, aku cuma bisa pasrah, menunggu sampai hari Minggu untuk bisa pulang.
Sebenarnya, mengesampingkan makhluk-makhluk menyeramkan yang selalu datang, perkebunan ini termasuk indah. Aku sangat suka dan bisa menikmati keadaan dan pemandangannya.
Suasananya tenang dengan udara yang selalu segar, karena memang letaknya yang berada di tengah-tengah hutan. Keadaan yang sangat susah aku dapatkan di kampung halaman.
***
Sore menjelang.
Kami bersama dengan para pekerja lainnya sudah dalam perjalanan pulang, ada yang menggunakan motor tapi tidak sedikit juga yang menggunakan sepeda angin.
Sesampainya dirumah mereka semua berkumpul di teras, berbincang sambil membereskan peralatan bekerja mereka. Sementara aku langsung masuk kedalam rumah, merebahkan tubuh di kursi panjang ruang tengah.
Aku melamun sambil menikmati pemandangan di luar jendela, hari yang tadinya terang berangsur menjadi gelap.
Dari kursi panjang ini posisiku membelakangi teras rumah, tempat dimana Om Heri dan lainnya sedang berbincang. Menghadap ke dapur dan kamar mandi, jadi aku bisa melihat langsung kearah belakang rumah.
Belum ada yang menyalakan lampu, ditambah sudah menjelang malam, isi rumah menjadi tambah temaram apalagi di bagian belakang, terlihat lebih gelap. Diantara pintu dapur dan kamar mandi, ada pintu yang menuju ke halaman belakang rumah.
Ditengah-tengah lamunanku, aku terkesiap. Aku melihat sesuatu. Ada bayangan hitam yang bergerak keluar dari kamar mandi menuju ke dapur.
Hanya sekelebat, tapi aku yakin kalau itu benar terjadi.
"Apa itu yang baru saja lewat?", tanyaku dalam hati.
Selanjutnya aku berpikir itu hanya bayangan biasa, karena orang diluar hilir mudik didepan pintu, mungkin itu bayangan mereka.
Aku melanjutkan menatap ke jendela, kembali menikmati pemandangan di luar. Tapi tiba-tiba disudut mata aku kembali melihat bayangan itu lagi.
Kali ini tidak hanya sekelebat, tapi bayangan itu diam berdiri didepan pintu belakang.
Aku belum berani melihatnya langsung, mata masih menghadap ke jendela, posisi tubuh masih rebah terbaring.
Tapi akhirnya yang awalnya hanya berani melirik, aku nekat melihatnya langsung.
Benar, ada bayangan hitam berdiri. Sosoknya seperti laki-laki, tinggi bersar, hampir setinggi pintu rumah.
***
Aku masih terdiam, terkesima melihatnya. Aku tidak bisa melihat jelas sosok dan wajahnya.
Perlahan aku bangkit dari posisi berbaring. aku berniat untuk berlari keluar rumah.
Matak umasih menatap ke bayangan hitam itu, takut tiba-tiba di bergerak dan mendekat dengan cepat.
"Jon, belum mandi kamu? Mandi dulu sana..", suara Om Wahyu yang muncul dari balik pintu mengagetkanku.
"Belum Om, nanti aja nanggung", jawabku pendek.
Ketika aku melirik lagi kearah belakang, bayangan itu sudah tidak ada disana, menghilang.
***
Malam pun tiba.
Karena di luar gerimis, tidak seperti malam sebelumnya kali ini kami hanya duduk bertiga di ruang tengah, sambil menikmati makan malam yang di siapkan oleh Om Wahyu.
Tidak ada obrolan sedikitpun tentang kejadian semalam. Kedua Om sperti menjaga supaya aku tidak trauma dan ketakutan. Tidak ada pembicaraan tentang itu sama sekali.
Kami hanya berbincang tentang hal-hal yang menyenangkan, seperti itulah kira-kira.
Perbincangan kami selingi dengan canda tawa, sebagai pemecah sunyinya malam ini. Sementara di luar hujan turun semakin deras, sesekali suara petir dan gemuruh guntur terdengar bergantian.
Sudah jam sepuluh malam, perbincangan kami belum ada tanda-tanda akan selesai. Padahal aku sebenarnya sudah mengantuk, akibat kurang tidur pada malam sebelumnya.
"Sudah ngantuk Jon? Kamu tidur duluan sana".
"Iya Om. aku tidur duluan ya..".
Aku beranjak masuk kedalam kamar, mencoba untuk tidur.
***
Entah jam berapa, tiba-tiba aku terbangun. Yang pasti hari masih malam.
Sepeti biasa, sekeliling tempat tidur tertutup oleh kelambu. Dalam kamar penerangan juga temaram, cahaya hanya bersumber dari lampu teplok di sudut ruangan.
Aku tidur di sisi kiri tempat tidur. Setelah menoleh ke sebelah kanan ternyata Om Heri tidur di sisi lainnya, di dekat tembok..
Cukup lama aku terbengong bengong untuk menyadari kalau aku sudah benar-benar terjaga. Terdengar dengkuran Om Heri, menandakan kalau dia benar-benar nyenyak.
Apakah saat itu aku banar-benar terjaga? Aku akan meragukan hal ini di akhir kejadian, sampai sekarang.
Beberapa saat kemudian, aku melirik kearah pintu kamar, ternyata pintu dalam keadaan terbuka.
Ruang tengah sudah kelihatan gelap gulita, hanya cahaya langit dari luar yang sedikit memberikan penerangan dari sela jendela.
Hujan sudah berhenti, tidak terdengar juga suara petir dan guntur yang tadi terdengar bersahutan. Berganti dengan suara jangkrik dan binatang malam lainnya yang terdengar bergantian.
Dan.. lagi, suara lolongan panjang anjing hutan mulai terdengar dari kejauhan, membuat suasana menjadi mencekam.
Ketika sedang melihat ke ruang tengah, aku melihat sesuatu. Ada bayangan hitam yang bergerak dari arah belakang rumah, kemudian berdiri di depan pintu.
Aku terpaku..
"Sosok itu lagi..", pikirku dalam hati.
Badanku sama sekali tidak bisa di gerakkan, mulut terasa tercekat, tidak bisa bersuara bahkan untuk sekedar memanggil Om Heri supaya bangun.
Aku ketakutan ketika sosok itu mulai masuk ke dalam kamar. Aku masih belum bisa bergerak dan bersuara, kaku.
Kemudian sosok itu berhenti tepat di samping tempat tidur, berdiri menghadap ke arahku yang masih terbaring.
***
Jarak kami sangat dekat. Hanya kelambu tipis yang menghalangiku dan sosok itu.
Sosok itu perlahan mendekat..
Semakin mendekat, kemudian tangannya mulai membuka kelambu. Pada saat itu aku belum juga belum bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya terlihat hitam legam.
Aku menoleh ke arah kanan, Om Heri masih saja tidur dengan nyenyaknya. Aku semakin panik ketika kelambu yang memisahkan kami sudah benar-benar terbuka.
Lalu sosok itu mulai mengangkat tubuhku, membopong ku dari atas tempat tidur.
Aku masih tetap tidak bisa bergerak dan bersuara, hanya bisa menoleh ke arah Om Heri yang masih terlelap.
Aku menangis dalam diam, tak terasa air mata mulai jatuh, aku panik dan ketakutan yang amat sangat.
Sosok itu membawaku keluar kamar. Desah nafasnya terasa berhembus di wajahku dan mengeluarkan hawa panas, aku masih saja belum bisa melihat wajahnya.
Kemudian sosok itu membawaku keluar dari rumah melalui pintu depan. Sejak detik itu, aku mulai memejamkan mata dan berdoa sebisanya dalam hati. .
Aku merasa kami terus bergerak semakin jauh meninggalkan rumah, aku tidak tahu kemana kami akan menuju. Hingga beberapa saat kemudian kami berhenti, saat itu aku memberanikan diri untuk membuka mata.
Aku masih ada di dalam gendongan makhluk itu. Aku melihat sekeliling, ternyata kami berada di tengah-tengah pepohonan, tapi bukan pohon karet. Tapi pohon-pohon besar dan rindang. Aku seperti berada di tengah hutan belantara.
Keadaan saat itu sangat gelap, hanya cahaya dari langit yang menembus di sela-sela pepohonan yang sedikit membantu penglihatanku.
Perlahan sosok itu menurunkan ku dari gendongannya.
Memposisikan ku di sebelah kirinya. Sejauh itu aku masih belum bisa bergerak dan bersuara.
Cukup lama kami berdiri diam dalam hening. Hingga pada akhirnya..
Ada yang bergerak dari kejauhan, bergerak mendekat ke arah tempat kami berdiri.
Ketika sudah cukup dekat, barulah aku bisa melihat dengan jelas apa itu yang sedang bergerak mendekat kearahku.
***
Ada serombongan orang yang berdiri, berbaris, datang beriringan.
Aku tersadar kalau aku pernah melihat rombongan itu sebelumnya. Beberapa orang yang berjalan didepan terlihat membopong sesuatu. Benar, mereka membopong keranda mayat.
Saat itu aku tersadar, kalau beberapa meter didepanku ada lubang di tanah yang memanjang, persis seperti liang kuburan.
Beberapa saat kemudian rombongan itu mulai berhenti tepat didepan liang kuburan itu. Beberapa orang yang menggotong keranda menurunkan kerandanya dari pundak-pundak mereka.
Diatas keranda, aku melihat ada sosok jenazah yang terbaring dengan terbalut kain kafan.
Mengerikan..
Semakin ketakutan, aku kembali menangis dalam diam.
Ketika aku menoleh ke kanan, untuk melihat sosok tinggi besar yang membawaku ke tempat ini, dia hanya diam, berdiri dan memperhatikan "rekan-rekannya".
Proses penguburan di tengah hutan, dimalam gelapitupun dimulai.
Beberapa orang mulai menurunkan jenazah dari atas keranda untuk memasukkannya ke dalam liang kubur. Jarakku dan pocong yang sedang diangkat itu hanya beberapa meter, sangat dekat.
Ketika pocong itu hendak dimasukkan ke dalam liat, aku melihat kamin kafan yang menutupi wajanya sedikit terbuka.
Disaat itu aku merasakan ketakutan yang amat hebat.
Dari pantulan sedikit cahaya dari langit, aku dapat melihat wajahnya.
Pocong itu melirikkan matanya ke arah ku dan tersenyum kepadaku.
Aku menangis. Sejadi-jadinya ketakutan paling hebat yang pernah aku rasakan selama hidupku.
Aku jatuh terduduk. Stelah itu tak ingat apa-apa lagi
***
"Jon.. bangun Jon, bangun!".
Hari masih gelap ketika aku tersadar oleh suara Om Heri dan Om Wahyu. Ternyata aku sedang ada di teras depan rumah, terbaring dilantainya.
Ketika sudah benar-benar terjaga, hanya satu kalimat yang sangat ingin aku ucapkan.
"Om aku ingin pulang, ngga tahan lagi Om..", sambil menangis pelan aku berkata pada Om Heri.
"Iya, hari ini Om antar kamu pulang ya", jawab Om Heri
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar