Rumah Di Perkebunan - Part 13
Pagi hari sekitar jam setengah tujuh, seperti pagi sebelumnya di atas meja sudah tersedia sarapan pagi. Kali ini pisang dan singkong rebus buatan Om Wahyu.
Ditemani kopi buat para Om dan teh hangat untukku, kami kembali berbincang santai diruang tengah.
Hari itu rencananya Om Heri dan Om Wahyu kembali bekerja seperti biasanya.
"Kamu nanti mau di rumah aja atau ikut ke perkebunan Jon?", tanya Om Heri.
"Ikut aja Om, pengen lihat kebun karet", jawabku dengan alasan yang sedikit dibuat-buat, padahal sebenarnya aku tidak berani dirumah sendirian, lebih baik ikut mereka bekerja.
Sekitar satu jam kemudian, satu persatu pekerja mulai berdatangan.
***
Akhirnya seharian itu aku melihat dan memperhatikan Om Heri dan Om Wahyu bekerja bersama para pekerja lainnya mengelola perkebunan karet itu.
Aku lebih banyak duduk sendirian sambil memperhatikan dari jauh. Aku duduk di beberapa titik tempat yang sepertinya sengaja di buat untuk beristirahat melepas lelah.
Ketika matahari mulai agak acondong ke barat, kami berpindah ke bagian perkebunan yang lebih jauh lagi dari rumah. Bagian ini yang kata Om Wahyu sudah lama tidak di bersihkan.
Benar kata Om Wahyu, tempat itu ditumbuhi semak-semak yang cukup tinggi di sela-sela pohon karet satu dengan yang lainnya.
Tapi ada satu yang menarik perhatian..
Aku tersadar kalau ternyata aku mengenali tempat ini. Tempat ini adalah tempat dimana aku bermimpi semalam.
Iya, tempat dimana aku melihat barisan rombongan pembawa keranda jenazah. Walaupun dalam mimpi, tapi aku masih sangat jelas mengingat detail tempat dan kejadiannya.
Ternyata tempat didalam mimpiku itu ada, nyata.
Tiba-tiba aku kembali merinding, membayangkan kembali kejadian di dalam mimpi semalam.
"Jon, jangan bengong sendiri gitu", suara Om Wahyu membuyarkan lamunanku.
"Eh, iya Om..", jawabku singkat.
***
Ketika hari semakin sore dan mulai berangsur gelap, akhirnya kami pulang.
Om Heri, Om Wahyu dan para pekerja berkumpul terlebih dahulu di halaman setelah kami tiba di rumah. Mereka berbincang dan bersenda gurau sambil berisitirahat melepas lelah.
Hingga akhirnya satu persatu pekerja pulang menuju rumahnya masing-masing.
Rumah kembali sepi seperti sedia kala, hanya tinggal kami beriga yang menjadi penghuninya.
***
"Jon, Om Wahyu ke kota ya. Mau ke rumah teman, ada keperluan", selepas maghrib Om Wahyu pamit sambil mengeluarkan motornya.
"Pulang malam ini juga atau menginap Om?"
"Kalau ngga kemalaman ya pulang malam ini juga Jon, kalau kemalaman ya pulang besok pagi", jelas Om Wahyu.
"Hati-hati Yu..", Om Heri mengingatkan.
Setelahnya Om Wahy pergi meninggalkanku dan Om Heri sendirian di rumah. Lambat laun suara motornya semakin kecil tak terdengar. Sampai akhirnya hilang dari pendengaran.
Singkatnya, malam itu aku hanya berdua saja dengan Om Heri. Kami berbincang diruang tengah hingga sekitar jam sepuluh malam. Sampai akhirnya Om Heri menyuruhku untuk tidur duluan, dia bilang aku sudah kelihatan mengantuk.
Memang benar apa yang di kata Om Heri, saat itu aku sudah benar-benar ngantuk dan capek.
Aku langsung masuk kamar dan mengambil posisi tidur. Sementara Om Heri, masih duduk di ruang tengah sambil membaca majalah.
Tidak lama dari itu, aku pun terlelap.
***
Aku membuka mata pelan-pelan. Kemudian melirik kearah jam dindng yang menempel di tembok kamar.
Jam setengah satu malam. Lalu aku menoleh ke kanan, ternyata Om Heri tidur di posisi dekat dengan tembok, kami bertukar posisi.
Sebelum tidur tadi aku lupa buang air kecil lebih dulu. Akibatnya rasa ingin buang air itu muncul ditengah malam begini.
Om Heri tampak sudah sangat nyenyak, dia mendengkur halus. Aku jadi tidak tega untuk membangunkan dan minta di temani ke kamar mandi.
Akhirnya dengan berat hati aku memberanikan diri untuk melangkah ke luar kamar dan menuju kamar mandi.
Ruang tengah masih cukup penerangan karena lampu petromak yang masih menyala, walaupun sudah agak redup.
Motor masih belum ada, berarti Om Wahyu belum pulang. Begitu pikirku dalam hati.
Aku melanjutkan langkah ke kamar mandi yang berada di belakang. Kamar mandi dan dapur di rumah ini letaknya berhadap hadapan. Keduanya dan ruang tengah di batasi oleh tembok.
Dari ruang tengah harus melewati lubang pintu yang tanpa daun pintu.
Dapur yang berada di sebelah kanan dalam keadaan gelap, karena memang selalu dibiarkan seperti itu.
Aku masuk ke kamar mandi yang berada di sebelah kiri. Pintu aku biarkan dalam keadaan terbuka, karena entah kenapa aku merasakan sedikit takut.
Ketika sedang ada didalam kamar mandi, hidungku mulai mencium bau sesuatu yang aneh.
Aku mencium bau yang sebelumnya sudah pernah aku cium dirumah itu. Bau kentang rebus..
Baunya sangat menyengat. Kalaupun ada sumber baunya, aku yakin sumber bau itu sangat dekat.
Tidak mau ambil pusing, aku melanjutkan aktifitasku di kamar mandi.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar lolongan panjang anjing hutan. Aku mulai merinding, lalu bergegas untuk menyelesaikan aktifitasku dan kembali ke kamar.
Sementara itu bau kentang rebus itu semakin kuat tercium.
Selesai dari kamar mandi, ketika melewati depan dapur, aku tidak berani melihat ke dalam dapur yang gelap itu. Entah kenapa tapi perasaan ku mengatakan ada sesuatu di dalam dapur, aku sangat yakin.
Aku terus berjalan perlahan menuju ke kamar.
***
"Creekkk.. crekkk.. creekkk..", aku mendengar suara itu ketika hendak masuk kedalam kamar.
Suaraya bersumber dari luar rumah, dari halaman depan rumah tepatnya.
"Crek.. crek.. crek..", sekali lagi suara itu terdengar.
Merinding dan takut aku rasakan dalam waktu yang bersamaan. Tapi rasa penasaranku mengalahkan segalanya.
Aku memutuskan untuk mencari tahu ada apa sebenarnya yang terjadi didepan rumah.
Berjalan mendekat ke jendela, kemudian membuka tirai, membuat sedikit celah untuk mengintip keluar.
Dari celah sempit itu aku sapu pandangan menyusuri setiap sudut halaman, walaupun gelap namun aku tetap bisa melihat keadaan diluar.
Ternyata tidak ada apa-apa. Mataku tidak menangkap sesuatu yang mencurigakan. Halam depan rumah kosong.
Tapi tiba-tiba, "Crek.. crek.. crek..", suara itu terdengar lagi.
Aku terkejut, kaget.. ternyata sumber suara itu buan dari luar rumah, seperti yang aku dengar tadi.
Suara itu terdengar dari dalam rumah!
Sumber suara itu sepertinya ada dibelakangu yang masih berdiri menghadap jendela.
"Crek.. crek.. crek..".
Aku tidak berani membalikkan badan untuk melihat ke belakang. Aku ketakutan..
***
Sampai akhirnya aku tidak tahan lagi, pelan-pelan ku balikkan badanku. Aku arahkan pandanganku kebelakang rumah, tempat sumber suara itu terdengar.
Iya, akhirnya aku melihat sumber suara itu. Aku hanya bisa diam membisu sambil bersandar pada tembok disamping jendela.
Badan ini kaku tidak bisa bergerak, ketika aku melihat ada sosok pocong berdiri dilubang pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur dan kamar mandi.
Pocong itu berdiri diam dengan balutan kafan putih yang kusam.
Kain yang membungkus kepalanya sedikit terbuka pada bagian wajah, memperlihatkan wajahnya yang terlihat hitam.
Aku ketakuta, menangis pelan.
Melirik ke kamar tengah yang pintunya masih dalam keadaan terbuka. Aku melihat Om Heri masih tertidur pulas di atas tempat tidur. Ingin sekali aku berteriak memanggilnya, namun tenggorokan ini seperti tercekat, tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa.
Aku semakin ketakutan ketika melihat pocong itu mulai bergerak maju secara perlahan. Gerakannya bukan melompat, tapi melayang.
Maju melayang perlahan menuju ke arahku berdiri. Sementara aku tetap tidak bisa menggerakkan kaki untuk berlari ke kamar.
Pocong itu semakin mendekat, hingga akhirnya jarak kami hanya tinggal beberapa meter saja.
Aku menangis ketakutan. Teringat pesan Ibu dan Bapak, harus selalu berdoa meminta pertolongan kepada-Nya kalau berada di situasi yang menakutkan seperti itu.
Aku membaca doa sebisanya dalam hati, meminta perlindungan-Nya.
Tiba-tiba pocong itu berhenti, kemudian melayang perlahan bergerak mundur.
Setelah itu perlahan hilang di kegelapan dapur.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menuju masuk kedalam kamar.
"Braakkk!!", suara pintu yang aku tutup cukup kencang membangunkan Om Heri dari tidurnya.
"Ada apa Jon?", nafasku masih tersengal-sengar, belum mampu menjawab pertanyaan Om Heri.
"Om kunci pintunya", sepertinya Om Heri sudah mengerti apa yang baru aku alami.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar