Rumah Di Perkebunan - Part 12

Sosok itu berdiri tegak sambil terus menatap ke arahku dengan sinar mata yang berwarna merah menyala seperti api kecil.

Seperti terhipnotis, aku hanya bis terdiam dengan mata yang tidak bisa ku pejamkan. Benar-benar beberapa puluh detik yang terasa sangat lama. Syukurlah akhirnya aku dapat tersadar dari ketakutan yang amat sangat.

Nyaris menangis, perlahan aku menundukkan kepala dan menenggelamkan wajah ke balik tubuh Om Heri yang masih saja tertidur. Perlahan aku memegang lengan Om Heri dan menggoyangnya pelan-pelan. 

Akhirnya Om Heri terbangun.

"Kenapa Jon, ada apa?".

Aku tidak merubah posisi, masih belum berani mengangkat wajahku, hanya jari telunjukku yang menunjuk ke arah pintu. 

"Coba kamu lihat deh, ngga ada apa-apa di pintu", kata Om Heri.

Lalu aku mencoba mengangkat kepalaku dan melihat ke arah pintu. 

Benar kata Om Heri, tidak ada siapa-siapa disana. Dan anehnya lagi, pintu sudah dalam keadaan tertutup rapat. 

"Besok saja aku ceritanya Om". Jawabku ketika Om Heri bertanya apa yang aku lihat di pintu. 

Dia mencoba mengalihkan perhatianku, Om Heri tahu kalau aku baru saja mengalami kejadian yang cukup membuatku ketakutan. 

Tidak berapa lama kemudian, aku tertidur. 

***

Hari kedua..

Jam setengah tujuh pagi.

"Srek.. srek.. srek..".

Suara sapu lidi yang membersihkan halaman membangunkanku dari tidur. Suara yang sama persis dengan yang aku dengar malam sebelumnya, ditempat yang sama pula. Halaman samping rumah. 

Tapi kali ini aku berani untuk mencoba mencari tahu siapakah gerangan yang menyapu halaman. 

"Eh Jon, sudah bangun".

Om Wahyu menyapa dengan senyum selebar bahu ketika aku membuka jendela kamar. 

Dengan cekatan dia menyapu halaman menggunakan sapu lidi, mengumpulkan daun-daun kering dan sampah lainnya menjadi sebuah gundukan yang sudah cukup tinggi. 

Sungguh pemandangan pagi yang sangat indah. Embun menyelimuti pepohonan, kicau burung bernyanyi bersahutan, langit cerah dengan sinar matahari yang menelusup menembus sela-sela pepohonan. Benar-benar indah. 

"Om sudah buatkan singkong gorang dan teh manis buat kamu di meja tuh. Om mau selesaikan ini dulu ya, sebentar lagi", lanjut Om Wahyu.

"Iya Om.." 

Selanjutnya aku menuju ke ruang tengah yang sudah ada Om Heri disitu. 

***

Kami menikmati sarapan yang sudah tersedia di atas meja. Tidak lama kemudian Om Wahyu datang bergabung. 

"Gimana semalam Jon? Nyenyak tidurnya?", tanya Om Wahyu.

Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan Om Wahyu, belum berani cerita apapun. Begitu juga dengan Om Heri, di hanya senyum-senyum saja. 

Sepertinya Om Wahyu sudah mengerti arti dari senyum kami, dia langsung mengganti topik pembicaraan. 

Selanjutnya pembicaraan hanya membahas hal-hal yang menyenangkan, tidak ada sedikitpun pembicaraan yang menyinggung hal-hal yang menyeramkan. 

Aku sangat menikmati mendengarkan apa yang di bicarakan oleh kedua Om ini. Sering kali suara gelak tawa kami mewarnai suasana di hari libur itu. 

Oh iya, waktu itu hari libur, tidak ada kegiatan di perkebunan yang harus mereka lakukan.

"Nanti setelah dhuhur, kita mancing di sungai belakang ya Jon. Ikannya lagi banyak kayanya", ajak Om Heri. 

Aku senang-senang saja, kebetulan aku juga penasaran ingin melihat sungai yang mengalir di bagian belakang rumah yang katanya air nya bersih dan jernih. 

"Iya, ayo Om". Jawabku singkat. 

Benar-benar suasana pagi yang sangat menyenangkan, mungkin memang karena hari libur, mungkin juga karena kehadiranku di rumah itu, jadi semakin ramai.

***

Jam 12.30

Aku memperhatikan Om Wahyu sedang menyiapkan peralatan mancing di belakang rumah.

"Sudah lama alat-alat pancing ini ngga di pakai, syukurlah kamu datang Jon. Jadi bisa terpakai lagi semua".

Sebelum aku datang Om Wahyu dan Om Heri sangat jarang pergi memancing, bisa dihitung dengan jari satu tangan, karena memang kalau hari libur mereka banyak menghabiskan waktu untuk tidur dan beristirahat.

Ketika semua sudah siap, kami pun berangkat. 

***

Berjalan menyusuri jalan setapak yang berada di belakang rumah, jalan yang membelah pepohonan bambu yang cukup lebat. Pepohonan bambu ini terlihat sudah tua, batangnya cukup besar dan menjulang tinggi. 

Menurut Om Heri sudah beberapa lama memang tidak turun hujan, makanya banyak daun-daun yang mengering. 

Tidak beberapa lama kemudian kami sudah keluar dari pepohonan bambu.

Lalu beberapa langkah didepan aku sudah bisa melihat aliran sungai yang membentang dari hulunya di sebelah kanan hingga ke hillir. 

"Nah ini sungainya Jon, bagus kan? Kita naik sedikit dulu ke hulu". Om Heri menuntun jalan untuk melangkah ke arah hulu sungai, agak menanjak, dengan tanah yang cenderung kering. Om Wahyu berjalan sedikit di belakangku. 

Tidak sampai 15 menit kemudian, kami sampai di bagian sungai yang sisinya agak lebar. 

Kami berhenti di suatu tempat yang disana berdiri sebuah gubuk terbuka berukuran kecil. Di gubuk itu kami duduk, ternyata di situlah spot memancingnya. 

Cukup sejuk tempatnya. Pepohonan rindang menghalangi panasnya sinar matahari. Bagian sungai yang ada di hadapan kami pun cukup tenang, dengan arus yang tidak terlalu deras. Kata Om Wahyu di tempat ini banyak ikannya.

Di mulailah acara memancing kami. 

***

"Semalam kami lihat apa Jon?", Om Heri melempar pertanyaan yang mungkin sudah dia tunggu jawabannya sejak semalam. 

Akhirnya, aku menceritakan semua kejadian yang aku alami kemarin. Mulai dari sosok misterius yang menggunakan kamar mandi dan meninggalkan puntung rokok yang masih menyala, sampai sosok yang mengintip dari sela pintu pada malam harinya. Aku ceritakan semuanya. 

"Hmmm, itulah Jon. Sebenarnya Om ngga mau cerita semuanya, takut kamu ketakutan. Tapi karena sudah terjadi, ya sudah Om jelaskan semuanya".

Kemudian panjang lebar Om Heri menceritakan semua pengalaman yang dia dan Om Wahyu alami selama tinggal di rumah itu. Om Wahyu menimpali sesekali, mereka bercerita dari sisi keduanya. 

Cerita tentang suara sapu lidi di tengah malam, sosok bayangan hitam, hingga makhluk menyeramkan yang paling aku takuti, pocong. 

Sebenarnya mereka bercerita dengan cara yang santi, sesekali diiringi dengan tawa ketika sedang kembali mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah mereka alami, tapi tetap saja aku cukup terkesima mendengarnya. 

Pengalaman yang cukup menyeramkan untukku. 

"Terus kok Om Heri dan Om Wahyu betah? Kenapa ngga pindah saja ke kota?".

"Ngga lah Jon, kami ngga bisa lari dari tanggung jawab. Kami akan tetap tinggal disitu sesuai dengan kewajiban. Lagipula kami yakin kalau Allah akan terus melindungi kami. Memang terkadang takut, tapi kami ngga akan menyerah dan melarikan diri. Kecuali terpaksa. Hahahaha..", panjang lebar Om Wahyu menjawab, diakhiri dengan tawa. 

Buatku terdengar sedikit aneh, mereke menceritakan semua pengalaman seram mereka dengan cara yang santai. Aku jadi terbawa santai mendengarnya.

"Tapi kamu tenang saja Jon, kalau ada apa-apa kan ada Om Heri dan Om Wahyu. Kita hadapi bertiga", Om Heri menenangkan.

Kesimpulannya, mereka bilang kalau rumah dan perkebunan karet itu memang angker. Tapi ya sudah, mau bagaimana lagi. 

***

Jam lima sore. 

Beberapa ekor ikan dengan bermacam ukuran sudah kami dapatkan, aku sangat menikmati kegiatan mancing sore itu. 

Matahari sudah semakin hilang dari pandangan. Ketika suasana sudah semakin gelap, kami memutuskan untuk pulang. 

Melewati jalur yang sama dengan ketika kami berangkat tadi. Kami berjalan menyusuri sisi sungai, lalu memasuki pepohonan bambu untuk kemudian sampai dirumah.

***

Menjelang mahrib, dengan cekatan Om Wahyu menyalakan lampu petromak dan lampu teplok di setiap ruangan. Keadaan rumah yang tadinya temaram menjadi terang benderang, tidak ada ruangan yang dibiarkan gelap. Hanya teras depan saja yang masih gelap, Om Wahyu akan membawa lampu teplok kedepan jika diperlukan. 

Oh iya, setelah mengetahui semuanya tentang rumah ini dari cerita Om Heri dan Om Wahyu, tidak bisa dihindari kalau perasaan aku berubah, tidak seperti kemarin ketika aku baru saja sampai di rumah ini. 

Aku menjadi sedikit memiliki rasa cemas karena aku tahu ada makhluk lain yang tinggal di tempat ini juga, selain kami bertiga.

***

Selepas isya kami makan malam di ruang tengah. Makan yang terhidang malam ini adalah hasil tangkapan memancing kami seharian tadi. Hasil olahan Om Wahyu, cukup lezat ternyata.

Selesai makan kami lanjut berbincang di teras depan, ditemani kopi dan teh hangat, kami berbincang cukup seru. 

Udara cukup dingin walaupun angin tidak berhembus, pepohonan terlihat statis tanpa gerakan. Cahaya bulan yang muncul malu-malu cukup bisa menerangi kebun karet sejauh mata memandang. 

Aku sangat menikmati suasana malam itu. Ketenangan malam yang hampir tidak pernah aku dapatkan di kampung halaman. 

Ocehan Om Wahyu yang nyaris tanpa jeda tidak merusak suasana, malah semakin menambah ceria keadaan. Ditemani oleh berbatang batang rokok dan kopi hitam, dia terus bercerita tentang apapun, tidak pernah kehabisan topik bahasan.

Hingga akhirnya sekitar jam sepuluh malam, ketika kami masih terlibat obrolan seru, hidungku mencium bau sesuatu. Dan aku lihat Om Wahyu dan Om Heri seperti nya juga menangkap bau yang sama. 

"Ini bau apa ya Om?", tanyaku polos. 

"Kamu mencium juga Jon?", tanya balik Om Heri. 

"Ini bau kentang rebus Jon, biarin aja. Nanti juga hilang sendiri", kata Om Wahyu menambahkan. 

"Emang Om Wahyu sedang merebus kentang di dapur".

"Ngga..".

"Terus ini bau darimana? Siapa yang merebus kentang?", aku masih penasaran. 

Om Wahyu dan Om Heri diam, tak menjawab. 

Aku tidak menaruh curiga, kemudian kami melanjutkan obrolan ketika lambat laun bau kentang rebus itu menghilang. 

***

Tapi tidak lama, sekitar 15 menit bau kentang itu muncul lagi, kali ini lebih menyengat. 

"Yuk kita masuk aja, sudah malam", tiba-tiba Om Heri mengajak kami masuk kedalam rumah, aku dan Om Wahyu serentak menuruti ajakan Om Heri. 

Aku mulai merasakan suasana yang sedikit tidak enak, gelagat kedua Om ini juga mulai terlihat aneh, ada yang tidak beres. 

Om Wahyu membiarkan lampu petromak di ruang tengah dalam keadaan menyala, tapi dia mematikan lampu teplok yang ada di ruang belakang. 

Aku dan Om Heri segera masuk kedalam kamar, setelah Om Wahyu membereskan dan membersihkan ruangan bekan kami beraktifitas malam itu. 

"Bau kentang itu sumbernya dari mana ya?", pertanyaan itu terus ada di kepalaku, pun setelah aku merebahkan badan di atas tempat tidur. 

Posisi masih sama seperti dimalam sebelumnya, aku berada di sisi yang dekat dengan tembok, sementara Om Heri ada di sisi sebelah kiri. 

"Sudah ngga usah dipikirin, kita langsung tidur aja yuk", kata Om Heri. Mungkin karena melihat wajahku yang masih menunjukkan rasa penasaran. 

Karena malam sebelumnya aku kurang tidur dan siang harinya kami sudah melakukan aktifitas yang cukup melelahkan, pada malam itu aku tidak kesulitan untuk bisa langsung memejamkan mata. 

Rasa kantuk dan lelah yang teramat sangat membuatku langsung terlelap tanpa perjuangan. 

***

Hembusan angin dingin menerpa wajahku secara perlahan. Suara semak-semak yang bergerak bergesekan tertiup angin juga terdengar di sekitar. 

Aku membuka mata pelan-pelan. Sinar matahari menyorot tajam kearah mataku, menembus sela-sela pepohonan, cukup menyilaukan mata.

Siang itu aku terbaring diatas tanah yang ditumbuhi rerumputan yang tidak terlalu lebat, semak belukar juga terlihat disekitar pohon-pohon karet yang berbaris rapi. 

Iya, ternyata aku sedang berada di tengah-tengah perkebunan karet. Aku tersadar setelah sudah ada dalam posisi terduduk.

Sejauh mata memandang hanya ada deretan pohon karet yang berbaris lurus, kanan kiri depan belakang. Semak belukar juga terlihat di sekitaran pohon karet yang berbaris rapi. 

Suasana sangat sepi dan hening. Hanya da suara pepohonan dan semak belukar yang bergoyang ditiup angin. 

"Ini dimana?", pertanyaan itu muncul di kepalaku, karena aku sama sekali tidak mengenali tempat ini. 

Tidak terlihat adanya rumah atau bangunan lain, tidak ada orang juga di sekitar, selain aku yang terduduk sendirian. 

Ketika sedang melamun dalam kebingungan, ada sesuatu juga yang terlihat di kejauhan.

Ada pergerakan. Aku langsung berdiri untuk memastikan. Apakah itu yang ada di kejauhan?

***

Ternyata da serombongan orang yang sedang berjalan mendekat. Berjalan melalui sela barisan pepohonan karet yang membentang membentuk lorong panjang. Mereka berjalan dengan kecepatan sedang, normal saja. 

Semakin lama mereka semakin mendekat, sementara aku masih diam sambil berdiri tak bergerak sedikitpun. 

Ketika sudah makin dekat, baru terlihat kalau ternyata mereka membawa sesuatu. Beberapa orang yang ada di barisan depan terlihat sedang memanggul sesuatu.

Aku terhenyak kaget, dan mulai ketakutan ketika sadar kalau ternyata mereka sedang membawa keranda mayat. 

Keranda jenazah itu dipanggul oleh beberapa orang yang berbaris di barisan paling depan.

Aku semakin ketakutan ketika mereka terus saja mendekat, berjalan perlahan ketempat dimana aku berdiri diam.

Hingga akhirnya mereka benar-benar berada sangat dekat, berjalan melintas tepat didepanku, dari arah kiri menuju ke kanan. 

Jarak kami hanya sekitar tiga sampai empat meter.

Aku tetap bergeming, terus diam dan membisu. Sambil tak henti menatap memperhatikan pemandangan yang tengah terjadi di hadapanku. 

Aku tak semapt menghitung berapa jumlah orang yang ada di rombongan itu. Tapi aku bisa memperkirakan mereka berjumlah antara 15 sampai 20 orang. Hampir semua nya berpakaian hitam gelap, dan hampir semuanya adalah laki-laki. 

***

Aku semakin terperangah, terkejut dan mulai merinding ketika melihat ada yang berbeda dari keranda jenazah yang sedang mereka bawa. 

Ternyata itu bukan keranda jenazah seperti pada umumnya. 

Keranda itu terbuat dari batang bambu. Terlihat dari batangan bambu panjang yang menjadi pegangan oleh orang-orang yang memanggulnya. 

Dan yang lebih aneh lagi, keranda itu tidak ada penutupnya. Sehingga bisa terlihat jelas jenazah yang sedang terbaring di atasnya. Jenazah itu juga nampak berbeda dari yang pernah aku lihat sebelumnya. Buka berbalut kafan putih seperti jenazah pada umumnya, tapi berbalut kain berwarna coklat dengan corak hitam. Lebih mirip seperti kain batik. 

Ukuran janazah itu sama seperti manusia pada umuya. Namun aku lihat ada sedikit basah pada bagian kepalanya yang tertutup kain tadi, dan aku tidak tahu apa itu.

Aku masih diam berdiri, tapi aku yakin ada yang aneh dari orang-orang ini. 

Mereka terus berjalan melewatiku menuju entah kemana. Berjalan seperti mereka tidak menghiraukan keberadaanku. Berjalan seperti mereka tidak melihatku ada didekat mereka. Semuanya hanya menatap kedepan, dengan wajah yang datar, tanpa ekspresi. 

Oh, ternyata aku salah. Ternyata ada yang memperhatikanku. Ada seorang perempuan yang berjalan paling belakang. Dia yang nampak memperhatikanku terus menerus. 

Setelah persis ada di hadapan, dia berhenti. Menoleh kearahku dan tersenyum.

Tanpa berkata apa-apa di amenjulurkan tangannya, seperti hendak meraih tanganku dan mengajak berjalan bersamanya untuk ikut bersama dengan rombongan mereka. 

***

Aku tidak menyambut uluran tangannya. Aku mundur beberapa langkah. 

Kenapa?

Ada apa?

Aku ketakutan, ketika sadar ada yang aneh dari perempuan itu dan anggota rombongan lainnya. Tapi apa yang aneh?

Setelah aku coba memperhatikan, ternyata kaki mereka tidak ada yang menyentuh tanah. Mereka berjalan melayang diatas tanah. 

Aku semakin mundur perlahan, menjauh. Sementara perempuan itu masih saja berdiri memperhatikanku, menatapku sambil tersenyum.

Aku membalikkan badan dan mencoba untuk berlari.

Tidak bisa. Langkahku berlari, tapi tetap pada posisi yang tidak bergerak. Tubuh terasa sangat berat untuk terus melaju melangkah, aku tidak bisa kemana-mana. 


BERSSAMBUNG







Komentar

Postingan Populer