Rumah Di Perkebunan - Part 11

 Kali ini cerita akan melihat dari sisi Jon, ponakan dari Om Heri yang menyempatkan diri untuk berlibur ke tempat kerja Om Heri selama liburan sekolah.


Libur telah tiba, inilah waktu yang ditunggu-tunggu oleh semua anak sekolah, termasuk aku. Libur yang cukup panjang, selama hampir sebulan aku ngga akan bersentuhan dengan hal-hal yang berhubungan dengan sekolah, sangat menggembirakan, walau pun belum tahu akan mengisi liburan kemana. 

Waktu itu aku masih kelas 6 SD, beberapa bulan kedepannya aku akan menghadapi liburan akhir sekolah. Tapi walau pun begitu, aku tetap ingin mengisi liburan dengan jalan-jalan, entah kemana. 

Aku lupa pastinya waktu itu hari apa, yang pasti sudah memasuki hari libur, karena aku masih berada di rumah.

Sedang asik didepan TV ketika terdengar suara ketukan dipintu depan. Aku langsung berdiri untuk menuju ke pintu depan untuk membukanya. 

Kaget bercampur senang, karena ada tamu jauh yang datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Aku gembira karena melihat salah satu sosok yang ku kagumi sedang berdiri didepan pintu. 

"Om Heri..!!!", setengah berteriak aku menyambutnya.

"Hahaha, kaget ya lihat Om datang?", sambil tertawa Om Heri menyapa sambil bertanya.

Kami langsung berpelukan..

Selanjutnya kami terlibat dalam perbincangan yang seru. Sudah cukup lama aku tidak bertemu dengan Om Heri semenjak dia pindah kerja ke Sumatra. 

***

Sebelumnya aku hanya mendengar kabar dari Bapak kalau Om Heri akhirnya mendapatkan pekerjaan yang lumayan bagus. Yaitu bekerja di salah satu perkebunan karet milik pemerintah. Hanya itu saja yang aku tahu.

"Om baru aja dari Jakarta Jon, ada pekerjaan yang harus Om selesaikan di kantor pusat. Sudah lama ngga ketemu kamu makanya Om sempatkan untuk kesini.?"

"Om kapan berangkat lagi ketempat kerja? Perkebunan karet itu kan Om?", tanyaku antusias.

"Mungkin lusa Om sudah harus kembali ke perkebunan itu, kasihan teman Om sendirian mengurus perkebunan".

Tiba-tiba terlintas dipikiran sebuah ide yang cukup cemerlang. Aku berpikir untuk ikut Om Heri ke tempat kerjanya, perkebunan karet, untuk mengisi waktu liburanku. 

Ku pikir, daripada nantinya aku tidak pergi kemana-mana, ya lebih baik ikut Om Heri ke pedalaman Sumatra kan..

"Serius kamu mau ikut Om?", tanya Om Heri ketika aku melempar ide tersebut.

"Serius Om, aku kan lagi libur panjang. Bolehkan Om? Tolonglah Om...", aku menjawab dengan sedikit memelas.

"Ya sudah, kamu tanya Bapak dan Ibu kamu dulu deh, kalau mereka kasih ijin nanti lusa kita berangkat".

Ah senang sekali aku mendengar jawaban dari Om Heri. 

Singkatnya, Ibu dan Bapak akhirnya memberi ijin untuk aku ikut Om Heri.

Tapi memang orang tua ku tidak pernah susah memberikan ku ijin untuk pergi jauh, sejak aku kecil. 

Bersama teman atau sendirian. Waktu masih SD, aku sudah bepergian ke Lampung, Palembang, Jakarta, Bandung. Ketika sudah SMP malah lebih jauh lagi petualanganku. 

***

Menurut Om Heri, perjalanan ke perkebunan karet akan memakan waktu selama 18 jam, dan kami akan pergi menggunakan bis umum. 

Singkatnya, pada hari yang sudah ditentukan, sekitar jam sebelas siang kami sudah berada di atas bis yang akan membawa kami langsung menuju ke kota kecil yang berada di Sumatra Selatan.

Sejak kecil aku memang sangat senang jalan-jalan ke tempat yang jauh dari rumah dan yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Termasuk kali ini, aku sangat senang, ditambah dengan keberadaan Om Heri, salah satu Om favoritku. 

Dalam perjalanan, kami banyak berbincang. Seperti biasa Om Heri menceritakan kisah pengalaman yang pernah dia alamii, termasuk pengalaman seramnya juga. Cerita-cerita itulah yang aku tunggu-tunggu.

Namun Om Heri belum menceritakan secara detail tentang pengalaman yang ia alami di tempat kerja yang sekarang. Dia cuma bilang kalau dia tinggal di areal perkebunan karet yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Om Heri bilang juga kalau tempatnya indah dan masih sangat asri.

"Nanti kita turun di salah satu kota, Jon. Dari kota itu kita lanjut jalan lagi naik motor. Tempatnya bagus banget, kamu pasti senang disana. Tapi..".

"Tapi apa, Om?.

Om Heri diam beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan bercerita.

"Kamu nanti ngga usah takut kalau ketemu hal-hal yang agak seram ya. Kan ada Om", lanjut Om Heri yang membuatku penasaran.

Sesuatu yang seram? Apa itu?

Orang jahatkah? Atau ada yang lain?

Ah apapun itu, aku akan tenang kalau sudah bersama dengan Om Heri. Tapi rasa penasaran masih saja aku rasakan. Ada apa di perkebunan karet itu?

***

Keesokan paginya, sekitar jam 8 pagi, bis yang kami naiki berhenti di suatu kota kecil, kami turun di kota itu. Selanjutnya bis melanjutkan perjalanan menuju kota Palembang.

Kota yang kami singgahi ini adalah sebuah kota kecil yang tidak terlalu ramai, tapi masih ada di jalur lintas Sumatera.

Pagi itu matahari mulai bersinar cukup terik, mataku sedikit terasa perih melihat sinarnya karena kurang tidur selama di perjalanan. 

"Kita jalan kaki sedikit ya, Jon. Ambil motor yang Om titipkan dirumah teman. Pak Rusli namanya".

Dibawah sinar matahari yang semakin panas kami berjalan kaki menyusuri jalanan kota kecil itu. Aku membawa tas ransel yang berisi pakaian dan perlengkapan lainnya, ukurannya cukup besar dan berat. Om Heri bilang, terserah mau berapa lama aku berlibur di perkebunan, nanti kalau sudah merasa bosan dan ingin pulang, Om Heri akan mengantarkan ku pulang lagi. 

Sekitar 30 menit berjalan kaki, akhirnya kami tiba juga di rumah Pak Rusli.

Rumahnya cukup besar, kami disambut oleh seorang ibu yang ternyata adalah istri dari Pak Rusli. 

Kebetulan Pak Rusli sedang tidak ada dirumah, jadi setelah sedikit berbasa-nasi kami langsung mengambil motor dan berpamitan. 

***

Hampir Jam sepuluh pagi ketika kami sudah berboncengan diatas motr menuju tempat kerja Om Heri, perkebunan karet. 

Matahari semakin terik, aku yang duduk di jok belakang sangat menikmati perjalanan dari atas motor. 

Awalnya motor menyusuri jalan kota. Jalanan kota kecil yang banyak terlihat toko-toko dan warung di sisi jalan. Semakin lama semakin jarang bangunan dan keramaian yang aku lihat, hingga berangsur-angsur menjadi sepi dan tinggal lahan kosong sebagai pemandangan.

Berikutnya pemandangan berganti dengan pepohonan yang besar dan rindang. Jalan yang kami laluipun yang tadinya jalan aspal, berganti dengan jalan tanah yang hanya cukup untuk dilewati oleh kendaraan roda dua.  

Disitulah aku menyadari kalau kami sudah memasuki kawasan hutan. 

***

Tidak terlihat tanda-tanda kelelahan, Om Heri terus saja berbicara memberikan penjelasana tentang apa saja yang kami lewati dan lalui selama di perjalanan.

Om Heri bilang, hutan yang sedang kami lalui ini masih termasuk kawasan hutan lindung yang dikelola dan diawasi oleh pemerintah. Masih banyak hwan-hewan liar didalamnya.

Benar adanya, hutan ini amat rindang. Sinar matahari hanya dapat menembus didalamnya hanya dalam bentuk garis-garis cahaya. Udara yang kami hirup sangat bersih dan menyejukkan, sama sekali tidak terasa adanya polusi. Aku sangat menikmati perjalanan itu, perjalanan seperti inilah yang aku sukai. 

Sekitar 30 menit kemudian, pepohonan besar dan rindang berganti dengan barisan pohon karet yang berjajar rapi. Kami mulai memasuki kawasan perkebunan karet.

"Ini sebagian wilayah tempat Om bekerja, ini ujung baratnya. Kita lanjut terus ketimur, sebentar lagi kita akan sampai rumah".

Perkebunan yang sangat luas, sejauh mata ini memandang hanya terlihat barisan pohon karet yang menjulang. Barisannya membentuk terowongan yang sangat panjang dan jauh, beralaskan rumput ilalang yang beragam panjangnya dan tingginya. 

Tidak bosan-bosannya aku memandang sekitar. Perjalanan motor itu hanya sesekali saja berpepasan dengan motor lain yang berlawanan arah. Om Heri selalu bertegur sapa dengan orang-orang itu. 

"Jon, kita mampir ketempat teman-teman Om yang sedang kerja dulu ya, sebentar kok".

"Iya Om.."", jawabku singkat. 

Kemudian motor berbelok kearah kiri jalan, mulai menembus ilalang yang tumbuh di sela-sela pohon-pohon karet. 

Matahari terlihat semakin meninggi, memandakan waktu sudah memasuki tengah hari. 

Sesaat kemudian, aku melihat ada beberapa orang yang sedang berkumpul di tengah-tengah perkebunan karet. Tapi ketika kami semakin dekat, ternyata orang-orang itu cukup banyak, mungkin lebih dari dua puluh orang.

Om Heri menghentikan motor dan memarkirnya di dekat orang-orang itu. Yang aku yakin mereka adalah teman-teman Om Heri yang juga bekerja di perkebunan karet itu. 

***
"Assalamualaikum.. maaf saya baru datang".

Om Heri menyapa para pekerja yang sebelumnya sibuk dengan kegiatannya. Lalu mereka menjawab salam dengan sumringah. 

"Siapa ini Pak?", tanya salah satu pekerja sambil melihatku. 

"Oh, ini Joni, keponakan saya. Tinggalnya di Jawa", jawab Om Heri.

"Ooo, ini yang namanya Joni, Om kamu sering cerita lho tentang kamu. Katanya kamu anak yang pemberani ya? Hehehe..", jawab Salah satu pekerja yang belakangan aku tahu namanya adalah Wahyu.

Itulah saat pertama kali aku bertemu dengan Om Wahyu. Berperawakan kurus tinggi, rambutnya agak panjang dan ikal, kulit yang tidak hitam tetapi tidak putih juga.

Walau baru beberapa menit kami bertemu dan berkenalan, aku merasa kalau Om Wahyu adalah orang yang menyenangkan.

"Semoga kamu betah di ya. Nanti malam kita makan ayam bakar, Om yang masak sendiri", begitu Om Wahyu menutup percakapan kami, sebelum ia kembali bekerja. 

Sekitar jam dua belas siang, Om Heri berpamitan ke seluruh pekerja. Dia bermaksud pulang kerumah nya untuk beristirahat. 

Setelah perjalanan jauh kami memang sangat kelelahan dan membutuhkan istirahat. 

***

Tidak terlalu lama perjalanan, ketika kemudian Om Heri menghentikan motor didepan sebuah rumah. Rumah yang hanya berdiri sendiri dikawasan itu, sama sekali tidak ada bangunan lain disekitarnya. 

"Ini tempat tinggal Om. Bagus kan rumahnya..".

Rumah yang tidak terlalu besar, tapi aku melihatnya rumah yang cukup nyaman untuk ditinggali. Halaman luas yang beralaskan rumput yang terawat, disebelah kirinya ada kandang ayam yang berdiri didepan beberapa baris tanaman singkong.

"Dibelakang rumah ini, tiidak terlalu jauh ada sungai yang jernih airnya. Nanti kita kesana ya..". 

Kata Om Heri. Aku hanya mengangguk mendengar ajakannya. Setelah itu kami masuk kedalam rumah. 

Om Heri menyuruhku untuk meletakkan tas di kamar tengah, kamar yang cukup besar dengan tempat tidur besi berkelambu. 

Aku membuka jendela kamar yang langsung dapat melihat pemandangan kebun karet. 

"Kamu tidur di kamar ini sama Om, Om Wahyu dikamar depan". Kata Om Heri.

"Kamu tidur saja dulu, capek kan. Om mau beberes rumah sebentar", benar kata Om Heri, badanku terasa amat sangat lelah dan mata ini sudah mengantuk juga. 

Tidak lama setelah merebahan badan di kasur, aku langsung tertidur lelap.

***

Jarum jam sudah lewat dari pukul empat sore ketika aku terbangun sendirian di dalam kamar. Angin sepoi-sepoi bertiup masuk melalui jendela yang masih dalam keadaan terbuka. Angin sore yang cukup menyejukkan.

Rumah dalam keadaan sepi, tidak terdengar sedikitpun ada aktifitas didalamnya. Asumsi ku saat itu adalah, rumah dalam keadaan kosong. 

Aku bangun dari tempat tidur dan berjalan ke ruang tengah, duduk di kursi yang menghadap ke bagian belakang rumah. Aku bisa melihat pintu belakang dan pintu kemar mandi dari situ. 

Di meja yang berada persis didepanku, ada beberapa majalah dan koran yang letaknya berdampingan dengan asbak yang berisi sisa puntung rokok yang masih menyala baranya.

Iya, masih ada puntung pendek rokok yang masih menyala diatas asbak itu. 

"Ah ternyata ada orang dirumah..", begitu pikirku dalam hati. 

Entah itu Om Heri atau Om Wahyu, tapi saat itu aku yakin kalau ada orang lain didalam rumah selain aku.  Aku semakin yakin, ketika terdengar suara orang mandi dari dalam kamar mandi. 

"Om Heri atau Om Wahyu sedang mandi rupanya", gumanku dalam hati.

Suara orang mandi itu cukup lama terdengar, kadang menghilang juga sesekali, lalu kemudian terdengar lagi. Begitu seterusnya hingga hampir setengah jam. 

Sementara puntung rokok yang tadinya masih menyala sekarang sudah mati. 

"Om..?", aku mencoba untuk memanggil ke arah kamar mandi. Namun tidak ada jawaban. Kemudian terdengar lagi suara air. Begitu seterusnya..

***

Sudah hampir jam lima sore, ketika akhirnya aku memutuskan untuk keluar rumah, duduk dikursi yang ada diteras rumah. 

Aku menikmati suasana sore di perkebunan itu. Masih sangat asri. Hanya terdengar suara dahan dan daun pepohonan yang bersentuhan satu sama lain akibat tiupan angin. Suara kokok ayam yang mulai mendekat ke kandangnya juga menambah indahnya suasana. 

"Itu di kamar mandi sapa ya, lama banget. Aku kebelet ini..". Aku mulai merajuk dalam hati.

tapi memang benar, selama nyaris satu jam entah itu Om Heri atau Om Wahyu yang sedang berada di dalam kamar mandi, sangat lama. 

Hingga akhirnya, dari kejauhan aku melihat ada orang yang berbondong-bondong mendekat ke arah rumah. Ada yang menggunakan sepeda motor, ada juga yang menggunakan sepeda angin. 

Setelah jarak kami cukup dekat, baru aku dapat memastikan kalai itu adalah Om Heri dan Om Wahyu, mereka datang bersamaan dengan pekerja lainnya. 

Tunggu, Om Heri? Om Wahyu?

Kenapa mereka berdua ada di luar rumah? Lalu yang sedang mandi daritadi siapa?

Yang meninggalkan puntung rokok di asbak siapa?

***

"Jon, kenapa bengong?", tanya Om Heri ketika baru saja turun dari atas motor.

"Gak apa Om..", jawabku singkat, masih kebingungan. 

"Maaf ya tadi Om tinggal sendirian, maksudnya supaya kami bisa beristirahat. Karena Om harus lanjut kerja di perkebunan".

"Iya, gapapa Om".

Lalu aku lihat Om Wahyu masuk kedalam rumah dan masuk kekamar mandi.

Penasara, aku mengikuti masuk kedalam rumah dan menuju ke kamar mandi. Didepan kamar mandi daku berdiri diam, menunggu Om Wahyu keluar. 

"Ahhhh.. lega sekali. Daritadi di motor, Om sudah kebelet pipis Jon..", kata Om Wahyu sambil cengengesan setelah keluar dari kamar mandi. 

"Kamu mau ke kamar mandi juga?".

"Iya Om..".

Di dalam kamar mandi, aku masih bingung memikirkan hal yang baru saja terjadi. 

Siapa yang mandi tadi?

***

Om Wahyu terus saja bicara, seperti tidak pernah kehabisan topik bahasa. Berbicara dengan gayanya, dengan logat Sumatera Selatan nya yang kental. Aku sangat senang mendengarnya bercerita, sepertinya dia juga senang dengan kehadiranku di rumah ini. 

Sementara Om Heri haya sesekali menimpali Om Wahyu yang terus saja bicara sambil sesekali meghisap rokok di tangannya yang entah sudah batang keberapa yang dia habiskan. 

Seperti yang Om Wahyu janjikan pada siang hari sebelumnya, kalau malam ini kami akan menikmati ayam bakar hasil olahan tangannya sendiri. Kami menikmati ayam bakar malam itu.

Sekitar jam sembilan malam kami sudah selesai makan malam dan melanjutkan perbincangan di teras rumah. 

Suasana perkebunan yang memang berada tepat di hadapan terlihat sangat gelap. Kebetulan juga langit sepertinya tertutup awan, tidak ada sinar sama sekali yang menerangi sekitar, hanya mengandalkan lampu teplok yang menempel pada dinding rumah. 

Tidak ada suara kecuali suara jangkrik yang bersahutan dan katak yang sepertinya sedang meminta hujan. Pada saat itu, aku belum menceritakan kejadian yang aku alami sore hari tadi, belum. Walaupun berkecamuk perasaan ini memikirkannya. Nanti sajalah, pikirku saat itu.

Kami terus berbincang seru sampi hampir jam sepuluh malam. Hingga akhirnya rintik hujan mulai turun dari langit, meskipun belum terlalu deras. Kami memutuskan untuk masuk kedalam tumah. 

***

Aku tidur bersama dengan Om Heri di kamar tengah, sementara Om Wahyu di kamar depan. Petromak di diruang tengah dibiarkan tetap menyala, sementara di makar hanya ada lampu teplok kecil.

"Kalau kamu mau ke kamar mandi, bangunin Om ya Jon, jangan sendirian". Begitu kata Om Heri. 

"Iya Om".

Aku tidur pada sisi tempat tidur yang dekat dengan tembok, sementara Om Heri ada di sisi yang satunya lagi. Kelambu menutupi seluruh bagian tempat tidur, karena malam itu memang sedang banyak-banyaknya nyamuk.

Aku yang memang cukup lama tidur siang, belum merasakan kantuk sedikitpun ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sementara Om Heri sudah terlelap dengan nyenyaknya. Aku hany amenghabiskan waktu dengan memperhatikan seluruh ruangan kamar, sambil mendengarkan suara rintik hujan yang terdengar dari luar. 

Melamun tidak jelas.. jam dua belas malam, aku masih saja terjaga tanpa merasakan kantuk sedikitpun.

Hujan sudah berhenti, suara alam berganti dengan suara singgungan dahan dan daun pepohonan yang tertiup angin. Selain itu tdak ada suara lain, agak mengerikan memang. 

Jam setengah satu dini hari.. Angin berhenti berhembus, suasana sangat hening dan sepi. Tidak ada suara sedikitpun. Sepi. Hening. Hingga pada akhirnya aku mendengar lolongan panjang anjing di tengah hutan. 

Sebelumnya aku belum pernah mendengar teriakan, suara lolongan anjing yang seperti itu. Baru saat itu kali pertam akau mendengarnya.

***

Entah kenapa tapi perasaanku mendadak menjadi tidak enak ketika suara lolongan itu menjadi semakin sering dan semakin dekat. Keadaan itu membuat aku semakin tidak bisa memejamkan mata. 

"Srek.. srek.. srek..".

Tiba-tiba muncul suara seperti ada orang yang sedang menyapu dengan sapu lidi. Suaranya seperti bersumber dari sebelah kanan rumah, tidak jauh dari jendela kamar. 

"Siapa yang menyapu tengah malam begini? Om Wahyu kah? Sepertinya tidak mungkin", banyak pertanyaan di kepalaku saat itu.

Aku lebih merasa takut lagi ketika sayup-sayup terdengar suara cekikikan perempuan dari luar jendela. 

Suaranya sangat dekat.

"Itu siapa?", aku masih belum berniat untuk membangunkan Om Heri yang masih saja tertidur pulas.

Cukup lama "perempuan" itu menyapu dengan sapu lidinya, ditambah dengan sesekali suara tawa cekikikan menyertai aktifitasnya.

Untunglah setelah beberapa saat kemudian suara menyapu dan tawa itu menghilang dengan sendirinya. Aku menjadi sedikit tenang, walaupun masih ada perasaan was-was dalam hati.

Tapi tetap saja, aku masih belum merasakan kantuk sama sekali. Kembali aku melamun ditengah keheningan malam itu. Hingga tiba-tiba..

Pintu kamar terbuka, terbuka dengan sendirinya. 

Aku kaget, langsung mengarahkan pandangan ke arah pintu. Pintu benar terbuka, tapi tidak terbuka lebar. Hanya sejengkal celah kecil. Tapi meski hanya sejengkal celah kecil, sudah cukup untuk ku melihat ke ruang tengah. 

***

Runag tengah terlihat temaram, tampaknya lampu petromak yang menggantung hanya tinggal menyisakan sisa-sisa cahayanya yang terakhir. 

Sambil ketakutan, aku terus saja memperhatikan celah pintu itu, memperhatikan dengan seksama keadaan diruang tengah, karena aku merasa ada aktifitas di luar sana. 

Iya, ada aktifitas di ruang tengah. Aku merinding, ketika melihat sekelebat bayangan yang lewat didepan pintu. 

Hanya sekelebat, tapi aku sangat yakin itu bukan Om Wahyu. Tidak hanya satu kali, bayangan hitam itu lewat kembali dalam rentang waktu yang berdekatan.

Hingga akhirnya ruang tengah tiba-tiba menjadi gelap gulita, lampu petromak nampaknya sudah kehabisan bahan bakarnya. 

Aku langsung mengalihkan pandangan kearah lain, tidak berani menatap ke arah pintu itu lagi

Ditengah perasaan ku yang campur aduk, aku mendengar suara nafas seseorang. Bukan, bukan suara nafas, tapi lebih seperti suara orang yang sedang menggeram. 

Aku kambali yakin kalau itu bukan suara Om Heri yang masih terlelap pulas. Pelan-pelan aku kembali mengarahkan pandangan ku kearah pintu lagi. Hanya gelap, tidak terlihat apa-apa.

Lolongan panjang anjing kembali terdengar, semakin menambah kencang degup jantung. Cahaya lampu teplok didalam kamar memantulkan sedikit cahaya, membantu penglihatanku yang mash menatap kearah pintu. Barulah aku bisa mellihat sesuatu.

Aku melihat ada sosok yang aku pikir adalah sosok yang tadi mengeluarkan suara geraman. Sosok hitam dengan tinggi tubuh sama seperti manusia normal.

Sosok itu hanya bediri diam didepan pintu. Sepertinya sosok itu berdiri menatapku yang terdiam terpana ketakutan.

Sosok itu menatap dengan mata yang lambat laun mengeluarkan cahaya berwarna merah. 

Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku terdiam tidak bisa bergerak..


BERSAMBUNG 


Komentar

Postingan Populer