Tersesat di Borobudur - 2
Kecuali.. benar, kecuali rombongan yang sedang berkumpul di bagian barat tadi sekumpulan orang yang aku lihat sejak dari tempat parkir. Kenapa mereka ada? Sementara tidak dengan orang-orang yang lain? Termasuk rombongan teman-teman kampusku, kemana mereka semua?
Lelah ditambah dengan panik, aku berniat untuk bergegas turun dari candi itu dan menuju rombongan itu atau ke pintu keluar.
Tangga yang menurun panjang tadi adalah tujuan pertamaku. Sesampainya di tangga itu, lalu aku menuruninya selangkah demi selangkah. Beberapa turunan tangga bentuknya seperti lorong kecil, aku harus masuk sebentar ke lorong kecil itu untuk kemudian menuju ke tingkat selanjutnya. Tapi entah di tingkat keberapa aku terhenti, heran, ada rasa takut yang mendadak aku rasakan.
Beberapa detik sebelumnya, langit masih terang, masih sore, sama sekali belum gelap, itu adalah keadaan sebelum aku masuk ke lorong kecil yang mengelilingi tangga. Sekeluarnya aku dari lorong itu, suasana sudah berubah menjadi sangat gelap, layaknya malam.
Langkahku terhenti. Heran, takut, takjub. Semua perasaan itu bercampur jadi satu.
Kenapa tiba-tiba sudah menjadi gelap?
Tidak berhenti sampai disitu, ternyata ada keanehan lainnya.
Aku yang masih terkaget-kaget karena tiba-tiba hari menjadi gelap. menjadi semakin keheranan karena ternya candi ini sudah tidak sepi lagi, candi ini kembali menjadi ramai.
Ya, candi ini kembali menjadi ramai, tidak sepi seperti sebelumya. Aku masih diam ditempat, di ujung anak tangga, diujung lorong, belum bergerak sedikitpun. Terus memperhatikan sekeliling yang sungguh sangat membuatku keheranan.
Aku semakin tidak habis pikir, ketika sadar kalau ternyata walaupun ramai orang tapi tidak ada satupun yang aku kenali. Tidak ada teman rombongan kampusku yang wara-wiri, tidak ada. Tidak hanya itu yang membuatku heran, ternyata semua orang yang ada disini berpenampilan sangat khas.
Mereka semua tidak ada yang berpakaian masa kini, mereka semua berpakaian layaknya orang-orang Jawa pada jaman dulu.
Sontak aku jadi teringat rombongan orang-orang yang aku lihat di parkiran tadi, mereka masuk kedalam lingkungan candi, lalu berkumpul di bagian barat candi, sebelum hari tiba-tiba berganti malam. Kenapa aku ingat? Karena perawakannya sama, pakaiannya sama, bahkan beberapa wajahnya aku bisa mengenalinya.
Orang-orang itu hanya bercelana pendek, bertelanjang dada, dan tanpa alas kaki. Bertampang dekil penuh dengan keringat, adalah wajah-wajah yang paling banyak terlihat. Sementara beberapa orang lainnya berpenampilan rapi. Mengenakan pakaian lengkap dengan blangkon atau tutup kepala, mereka hanya diam, memperhatikan orang-orang bercelana pendek itu bekerja.
Iya, aku bisa berkesimpulan kalau orang-orang yang bertelanjang dada itu dan tubuh dengan peluk keringat itu adalah pekerja. Aku bisa melihat diantara mereka ada yang sedang mengangkat batu, ada yang memukul-pukul batu, ada yang beramai-ramai sedang menarik sebuah batu besar dengan tali tambang. Aku yakin mereka ada pekerja yang sedang diawasi pekerjaannya dengan "mandor" mereka yang berpakaian lebih rapi dan bersih.
Ada beberapa pekerja yang melintas didekatku, berjalan ke arah kanan atau kiri dengan memanggul batu-batu besar, entah mau di bawa kemana.
Semuanya sangat nyata, ini sama sekali tidak seperti mimpi. Aku melihat semuanya, aku merasakan semuanya. Ini nyata!
Aku terus memperhatikan hingga akhirnya ada satu laki-laki bertubuh besar dan tegap yang datang mendekati. Laki-laki itu berkumis, mengenakan pakaian khas Jawa dengan ikatan kain berwarna hitam melilit dikepalanya. Laki-laki itu berbicara dalam bahasa Jawa yang sama sekali tidak aku mengerti, satu katapun aku tidak paham apa yang dia bicarakan. Tapi aku yakin kalau di bicara menggunakan bahasa Jawa dengan logat kental yang khas.
Laki-laki itu terus saja berbicara. Wajahnya menatapku, matanya tajam, sambil sesekali tangannya menunjuk ke arah bawah. Oh baiklah, aku mengerti, sepertinya dia menyuruhku untuk menuruni tangga, turun dari candi, aku berpikir seperti itu.
Aku menganguk lalu menuruti "perintahnya" untuk turun menuruni tangga. Satu persatu anak tangga aku turuni. Dalam perjalanan turun, aku terus memperhatikan sekitar, menyaksikan kesibukan para pekerja yang sedang melakukan pekerjaannya masing-masing.
Sebenarnya apa yang sedang mereka kerjakan?
Nanti setelah aku tiba di bawah, mungkin aku akan mengerti semuanya.
***
Tidak ada rasa takut, tidak ada perasaan was-was lagi yang aku rasakan. Aku hanya merasa aneh dan takjub dengan semua pemandangan yang aku lihat dan rasakan. Dan akhirnya ketika aku sudah sampai di bawah, ketika kaki sudah menginjakkan rumput di lahan sekitar candi, aku akhirnya bisa melihat semuanya.
Berdiri di atas rerumputan yang letaknya di bawah, beberapa belas meter dari dinding candi terluar, aku bisa menyaksikan semuanya.
Mereka semua sedang melakukan proses pambangunan Candi Borobudur!
Yang aku lihat, Borobudur hanya baru setengah berdiri. Hanya bagian bawah sampai tengahnya saja yang sudah selesai pembangunannya. Sedangkan bagian atasnya masih belum terbentuk.
Itulah mengapa aku melihat banyak pekerja yang mengangkat batu-batu dengan berbagai ukuran, membawanya ke atas untuk diletakkan lalu di susun membentuk lingkaran.
Aku takjub melihat semuanya. Mereka semua bekerja di malam gelap hanya di bantu dengan penerangan dari cahaya api menyala dari sebuah benda-benda besar yang bentuknya seperti obor.
Semua kejadia yang aku alami ini hanya sebentar, hanya sekitar 30 menit lamanya. Sampai aku tersadar kalu ini bukan tempatku. Aku "tersesat" di Borobudur. Aku harus mencari jalan supaya bisa keluar dari sini.
Perlahan aku mencoba untuk memperhatikan sekitar, ternyata semuanya gepal. Keramaian hanya ada di sekitar bangunan candi ini saja. Membuatku bingung kemana harus melangkah.
Tapi sebentar, sambil berusaha menajamkan penglihatan di dalam gepal, aku melihat ada jalan setapak. Jalan setapak yang tidak jauh di ujungnya ada gerobak kayu yang sedang bergerak menjauh.
Aku melihat ada gerobak kayu di kejauhan.
Aku memutuskan untuk mengikuti gerobak itu, dia pasti menuju ke suatu tempat. Begitu pikirku dalam hati.
Terus menyusuri jalan setapak dalam gelap, aku semakin kesulitan untuk melihat. Mata terhalan pekatnya malam yang sama sekali tanpa penerangan. Sial, lambat laun aku mulai kehilangan jejak gerobak yang sedari tadi aku ikuti. Sampai akhirnya gerobak kayu itu sama sekali hilang dari pandangan, meninggalkan aku sendirian di dalam gelap. Berjalan entah kemana, tak tentu arah.
Di momen ini aku kembali merasakan panik, tidak tahu harus melangkah kemana.
Lelah. Kakiku sudah sangat berat untuk dibawa melangkah.
Badanku terasa lemas..
Lalu semuanya
Menjadi gelap
Aku tak sadarkan diri..
***
"Udah sadar mas, udah sadar.."
"Jibran, Bran.. bangun kau!"
Aku mendengar suara-suara itu, saat aku baru saja tersadar.
Pelan-pelan aku membuka mata, ternyata aku sedang terbaring di atas kursi panjang di satu ruangan besar, entah ruangan apa dan dimana.
"Kalau kau sudah bisa duduk, duduklah, minum air ini dulu"
Melvin lah yang pertama kali aku lihat, lalu Dendi, lalu satu orang dosenku, dan ada beberapa orang yang tak aku kenal.
Jadi, aku terbangun di salah satu ruangan yang ternyata masih ada di sekitar Candi Borobudur.
Menrut mereka, ternyata aku hilang sejak maghrib tadi, aku tidak ditemukan dimana-mana. Padahal pencarian sudah dilakukan di segala sudut candi. Samapi akhirnya aku baru ditemukan di jam setengah 12 malam oleh salah satu penjaga.
Ketika ditemukan, aku sedang tak sadarkan diri di bawah satu pohon besar di sisi barat Borobudur.
Selama lebih dari enam jam aku menghilang tanpa jejak. Padahal aku sangat yakin kalau aku hanya sekitar setangah jam saja "tersesat" .
Cuma sebentar saja...
Komentar
Posting Komentar