Bogor - Part 1
"Sahuuurrrrrr.. Sahuurrrr.. Sahuurrrrr..!!!!"
Teriakan anak-anak kecil diiringi dengan suara tetabuhan bertalu-talu terdengar dari luar, ramai.
Pada jam setengah tiga dini hari akhirnya aku bisa bernafas lega, selesai semuanya. Walaupun mungkin hanya untuk sementara.
Setelah sudah cukup waktu untuk menenangkan diri, aku bangkit dari duduk dan melangkah keluar kamar.
Tapi tetap saja langkahku masih sedikit tertahan, keberanian masih berpacu melepas dari belenggu ketakutan yang satu atau dua jam lalu memenuhi pikiran dan perasaanku.
Ruang tengah yang besar ini, sepi dan kosong seperti seharusnya. Ruang tengah yang menyambung jadi satu dengan meja makan serta dapur kering.
"Seperti seharusnya" tadi kubilang? Iya, sepi dan kosong seperti seharunya. Memang sudah seharusnya sepi dan kosong. Kerena di dalam rumah besar ini hanya ada aku saja, ngga ada orang lain.
Dua jam sebelumnya, aku mengalami peristiwa seram disini. Kejadian yang cukup membuat goyah hatiku.
Aku mendengar langkah kaki tak bertuan, yang seperti berjalan kesana kemari ke stiap sudut lantai atas dan bawah. Ditambah dengan sesekali ada suara pintu yang terbuka. Aku yang sedang sendirian di rumah besar ini jadi semakin tenggelam kedalam rasa ketakutan di situasi yang mencekam.
Untungnya malam cepat bergulir menjadi dini hari, kemudian tiba waktu sahur dan situasi mendadak kembali tenang.
***
"Giman Ron? Aman kan? Hehe.."
"Aman Om, amaannn.. Hehe. Udah sampai rumah nih?"
"Ah, syukurlah. Udah Rin, ini baru aja sampai. Jangan lupa kasih makan Leon ya"
"Ok, Om. Tenang aja, ngga usah mikirin rumah dan kucing. Selamat menikmati mudik dikampung halaman Om". Itu percakapan telponku dengan Om Gilang, adik dari Ibuku yang nomor empat.
Beliau ini adalah seorang pengusaha yang cukup sukses, di usianya yang baru saja masuk ke 40 an.
Bersama istri dan seorang anak perempuannya, Om Gilang tinggal di satu rumah besar di daerah Bogor, di salah satu rumah di perumahan Baranangsiang. Rumah ini baru sekitar satu tahun dimiliki oleh Om Gilang, jadi masih terhitung rumah baru.
Oh iya, aku Roni. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta, akan menceritakan satu kejaidan yang terjadi baru beberapa tahun lalu.
Pertengahan tahun 2018, bertepatan dengan bulan ramadan, aku yang sedang libur kuliah diminta tolong oleh Om gilang untuk menjaga rumahnya karena dia sekeluarga harus segera pelang kampung ke Palembang karena ada keperluan mendadak.
Aku tentu saja ngga bisa menolak, ngga enak hati untuk jawab "engga" Ya sudahlah, dengan sedikit agak berat, aku menyanggupi permintaan Om Gilang.
***
"Kamu berani Ron tinggal di rumah Om sendirian? Coba kamu ajak salah satu temen kamu, siapa gitu".
"Rumah Om Gilang kan jauh Bu, ngga akan ada temenku yang mau. Ngga apa lah, aku sendirian aja".
"Ngga takut Nak?".
"Takut apa B? Ibu ini ada-ada aja.."
"Ya udh gapapa kalau kamu berani. Jangan tinggal sholat ya. Kalau bisa sempatkan sholat malam dan ngaji disitu, biar ngga terlalu kosong".
Begitulah percakapanku dengan Ibu melalui telpon, ketika beliau menanyakan tentang kabarku yang dimintai tolong oleh Om Gilang. Menangkap ada keanehan dalam kalimat-kalimat yang beliau lontarkan, aku kurang lebih bisa menangkap apa yang hendak Ibu sampaikan walau ngga secara langsung.
Pada intinya aku sudah pernah mendengar cerita dari keluarga besar mengenai rumah yang ditinggali oleh Om Gilang dan keluarga selama satu tahun belakangan itu. Aku juga sudah dua kali datang untuk berkunjung. Menurutku rumahnya sangat besar, bertingkat. Walaupun halamannya ngga terlalu luas dan jarak dengan rumah sebelahnya cukup rapat, tapi tetap saja rumah yang besar,
Ngga thu persis gimana menjelaskannya, menurutku suasana rumah ini ngga begitu enak. Beberapa bagian dari rumah itu terasa "mati", ngga ada pergerakan udara dan juga sepertinya jarang dilalui oeh penghuninya. Dua kali datang berkunjung pun aku ngga pernah mau menginap dengan berbagai alasan. Tapi yang utama karena waktu itu aku merasa kurang nyaman kalau harus tidur dikamar atas.
Ngga nyaman kenapa? Karena Om Gilang baru saja pindah dan menempati, keadaan rumahnya masih belum "tersentuh" sepenuhnya, apalagi lantai atas. Dengan alasan itulah aku memaksakan diri untuk pulang ke Jakarta walaupun hari sudah malam. Berhembus juga cerita di keluarga besar, katanya rumah Om Gilang itu angker.
Om Gilang sudah berganti ART sebanyak tiga kali selama setahun menghuni di rumah itu, dengan alasan yang semuanya ngga jelas. Malah ART terakhir pergi tanpa pamit, padahal baru dua minggu kerja.
"Ah ngga papa kok, cuma perasaan kalian aja itu. Hehe..", begitu kata Om Gilang ketika di tanya tentang keangkeran rumahnya.
Ya begitulah, mungkin karena Om Gilang dan keluarga sudah kadung jatuh cinta ke rumah itu, jadinya ya biasa-biasa aja.
Sampai akhir nya pada suatu ramadan aku harus tinggal selama beberapa hari dirumah itu, dan merasakan langsung keganjilan dari yang biasa sampai dengan yang benar-benar menguji keimanan.
***
Pintu kamar aku biarkan terbuka sedikit, karena Leon selalu mengeong keras-keras kalau aku menutupnya. Kalau pintu terbuka seperti ini, dia bisa riwa riwi masuk kamar dengan bebas, lucu, senang aku melihatnya.
Leon adalah kucing kesayangan Om Gilang sekeluarga, kucing gemuk corak hitam putih. Leon termasuk kucing yang mudah jinak dengan semua orang.
Masih jam setengah 10, sesampainya dirumah sepulangnya dari masjid aku sempatkan diri untuk bersantai di tempat tidur sambil memainkan ponsel.
Nasi bungkus yang aku beli dalam perjalanan pulang tadi sudah daku taruh di meja makan, belum berhasrat aku untuk memakannya. Dari awal sebelum masuk ramadan, seperti ramadan-ramadan sebelumnya, aku berniat untuk memperbanyak ibadah di bulan suci ini. Salah satu yang aku maksimalkan adalah sholat malam dan mengaji setelahnya.
Makanya apapun yang terjadi disini, dirumah ini, aku ngga boleh kalah, kalah dengan ketakutan akan hal-hal yang menyeramkan, ngga mau rasa takut ke "mereka" jadi melebihi ketakutanku akan dosa, atau malah menghalangi untuk beribadah mendapatkan pahala. Itu ngga bolhe terjadi di bulan suci ini.
Makanya malam ini aku berniat untuk sholat malam nanti.
Padahal jam 10 pun belum, tapi tiba-tiba kantuk datang menyerang. Dengan ponsel yang masih ditangan, akhirnya aku tertidur.
***
"Meoonggg.. meoonnggg.."
Leon berteriak keras, dia duduk persis didepan pintu kamar yang masih terbuka, membuatku terjaga.
Tapi, Leon tidak mengahadap kekamar. Dia duduk menghadap kearah tangga, seperti terus memperhatikan sesuatu dan terus berteriak.
Aku bertanya-tanya, apa yang sedang Leon lihat? Ada apa ditangga?
"Leon, ada apa?", aku coba memanggilnya.
Mendengar suaraku, Leon menoleh kearahku dan langsung berlari pelan menghampiri. Lalu lompat kepangkuan.
Wajahnya kelihatan panik, ada kegusaran.
"Udah, jangan takut". Setelah itu Leon berangsur tenang.
Ah. lapar. Karena ketiduran tadi aku jadi belum sempat untuk makan malam.
Sudah jam 12 lewat tengah malam, aku melangkah menuju ke meja makan. Nasi bungkus masih terikat rapi diatas piring. Leon masih setia menemani dengan terus ada didekatku. Tapi masih ada yang aneh, dia masih memeperhatikan dengan seksama kearah tangga, seperti ada yang sangat menarik perhatiannya. Kepalanya menoleh bolak balik kearahku dan ketangga, begitu terus.
Aku terus lanjut menghabiskan makanan sambil memperhatikan tingkah aneh Leon. Aku tahu, ada yang membuat Leon bertingkah aneh seperti itu, sesuatu yang mungkin hanya dia yang bisa melihatnya.
Tapi aku berusaha untuk mengabaikan, walau merinding sudah sesekali timbul. Tentu saja rasa takut mulai hinggap dikepalalku.
***
"Duk.. duk.. duk.. "
Tiba-tiba terdengar bunyi itu lagi, dari lantai atas. Sama seperti kemarin, suaranya seperti langkah kaki yang sedang berjalan.
Au bergegas menyelesaikan makanku, lalu meninggalkan meja makan yang letaknya persis didepan tangga. Setelah itu aku langsung menyalakan TV, berharap perasaanku bisa teralihkan, menghilangkan kekhawatiran.
Ketika sudah duduk di atas sofa runag tengah depan TV, ternyata Leon masih diam ditempatnya, duduk dekat meja makan, menghadap dan terus memperhatikan tangga. Telinganya bergerak-gerak seperti sedang menangkap suara. Sementara itu suara seperti orang berjalan itu masih sesekali terdengar.
Aku terliahat seperti ngga takut, seperti pemberani, padahal sama sekali ngga seperti itu. Aku juga penakut, sangat penakut malah. Ngga akan berani jika haru benar-benar menghadapi atau melihat "mereka". Tapi tetap berusaha sebisa mungkin ketakutan itu ngga menggoyahkan iman
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar