Rumah Di Perkebunan - Part 5
"Sreekkk.. sreekkk.. sreekkk..."
Sekali lagi, nenek dengan sapu lidinya menunaikan aktivitasnya seperti biasa. Dipekarangan disebelah kanan rumah. Aku mendengarkan dengan seksama. Suaranya kadang menjauh, kadang mendekat. Malam itu aku terjebak didalam rumah ini sendirian.
Iya, malam ini aku ada dirumah sendirian. Tanpa Wahyu.
Wahyu tidak ada.
"Pak saya ke kota dulu ya. Sebelum maghrib saya sudah ada dirumah lagi" pamit Wahyu yang siang itu akan ke kota untuk berbelanja keperluan kami sehari-hari. Belanja rutin bulanan kalo ini hanya dia yang melakukannya, aku terpaksa tidak ikut karena sedang sedikit tidak enak badan.
Seharian hanya berbaring lemas diatas tempat tidur. Hari itupun aku tidak bekerja. Semua pekerjaan dilakukan oleh Wahyu.
"Iya Yu, hati-hati ya.." jawabku. Wahyu langsung bergegas pergi. Terdengar suara sepeda motor yang dihidupkan dihalaman. Selanjutnya suaranya terdengar menjauhi rumah. Tanda bahwa Wahyu sudah pergi meninggalkan aku sendiri dirumah ini.
Aku tidak berpikir macam-macam, karena yakin Wahyu akan pulang sebelum maghrib. Aku hanya ini beristirahat saja seharian dirumah. Fisikku tidak akan mampu kalau harus memaksakan diri mengikuti Wahyu ke kota.
Jam sudah hampir pukul enam sore tetapi Wahyu belum juga nampak batang hidungnya. Aku memaksa tubuh yang masih dalam keadaan demam tinggi untuk beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kehalaman depan. Duduk dikursi sambil menunggu kedatangan Wahyu. Berharap kalau Wahyu sebenarnya sudah sampai dirumah ketika aku masih tidur tadi, tapi ternyata tidak, Wahyu memang belum pulang.
Suasana rumah dan sekitar sudah mulai gelap. Segera aku mulai menyalakan lampu petromak di ruang tengah dan lampu teplok di setiap kamar. Setelah keadaan didalam rumah sudah cukup terang, ak menyalakan radio. Radio ini adalah hiburan kami satu-satunya dirumah ini. Yang selalu setia menangkap siaran AM. Untuknya frekuensi radio yang tertangkap siarannya sering memutarkan lagu-lagu yang sedang hits di kala itu.
Dengan tidak adanya masjid atau mushola didekat rumah kami dan bahkan di dekat perkebunan karet ini, untuk mengetahui waktu sholat pun kami sangat bergantung pada radio ini, yang akan menginformasikan ketika tiba waktu sholat dengan mengumandangkan adzan. Radio yang kami miliki sebenarnya bukan radio tua. Radio yang cukup baru malah, tapi sering kali kami harus menggerakan atau mengubah antenanya yang panjang supaya dapat menangkap siaran. Radio dua band berwarna hitam yang kami beli dikota saat awal pertamakali tinggal dirumah ini. Kami letakkan radio itu ditengah meja ruang tengah, dikelilingin oleh kursi tamu panjang dan pendek.
Kumandang adzan belum juga terdengar, mungkin memang belum waktumya, walaupun jam sudah lewat dari pukul enam sore.
Aku membuka pintu depan dan melihat kearah luar, Wahyu belum juga nampak datang bersama motornya.
"Ah mungkin dia lupa waktu karena bertemu dengan temannya di kota dan akan sampai di rumah selepas maghrib atau isya" aku mencoba membesarkan hati dengan berbicara sendiri.
Beberapa saat kemudian terdengar adzan maghrib dari radio, aku langsung menutup pintu dan mematikan radio. Kemudian berjalan kebelakang untuk berwudhu dan melaksanakan sholat.
*
Kamis malam jumat, aku melanjutkan mengaji setelah selesai sholat maghrib sambil menunggu waktu isya tiba. Dalam benakku, masih terussik memikirkan Wahyu yang belum datang juga meski waktu sudah hampir masuk ke waktu isya.
Ditengah-tengah mengaji, ada satu hal aneh yang terjadi.
Tiba-tiba terdengar suara radio. Iya, radio itu menyala dengan sendirinya. Padahal aku ingat betul kalau aku sudah mematikannya saat aku berjalan menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Melirik keruang tengah, aku melihat radio itu masih ada ditempatnya. Tidak ada yang aneh, hanya ada suara yang keluar dari speakernya. Radio itu menangkap siaran yang belum pernah aku dengar sebelumnya, siaran radio yang cukup aneh.
Aku mendengar lagu keroncong khas Jawa yang kualitas rekamannya terdengar jauh lebih tua dari tahun ini. Atau bahkan jauh lebih tua lagi. Intinya aku seperti mendengar siaran radio dari stasio radio jaman dulu, antara tahun 1950 - 1960 an. Selama ini kami tidak pernah menangkap siaran radio yang memutar lagu-lagu keroncong dengan kualitas rekaman yang se jadul itu. Aku langsung berdiri dan berjalan menuju ketempat radio itu berada, kemudian mengubah frekuensinya.
Berdiri diam didepan radio, aku menggeleng-geleng kepala sendiri.
"Siaran radio apa yang baru saja aku dengar? Aneh.."
Tidak lama kemudian terdengar suara adzan isya.
*
Aku semakin khawatir dengan keberadaan Wahyu. Disatu sisi lagi aku mulai merasa was-was. Kenapa? Karena jika sampai Wahyu tidak pulang malam ini, itu artinya aku harus menghabiskan malam juman ini sendirian dirumah ini. Ditengah perkebunan karet yang jauh dari mana-mana.
Sudah jam 10 malam, Wahyu belum datang juga. Gelas teh hangat yang ada diatas meja sudah kosong. Aku sudah merasa tidak sanggup untuk berjalan kedapur dan menyeduh teh lagi. Rasanya deman yang aku rasakan ini semakin tinggi, walaupun aku sudah mencoba untuk meminum obat penurun panas.
Aku menggigil meringkuk, berbalut sarung diatas kursi ruang tengah, belum terpikir untuk masuk kekamar. Takut jika sewaktu-waktu Wahyu datang.. Radio masih dalam keadaan hidup, penyiar radio stasiun AM tengah memutar lagu-lagu barat kesukaan.
"I know that she's waiting, for me to say forever.." suara merdu Mike Tramp yang diiringi petikan gitar berkarakter memecah kesunyian malam itu. Pikiranku langsung melanglang buana ke masa pacaran di Semarang. Sedikit banyak membantuku untuk melupakan kesendirian malam itu. Ketika aku sedang menikmati lagi itu, tiba-tiba lagu itu berhenti ditengah jalan.
Kemudian berganti ke musik keroncong tempo dulu, dengan kualitas rekaman yang juga retro. Musik keroncong yang sama persis dengan musik yang mengalun dari radio sewaktu maghrib tadi. Aku coba mendengarkan dan memperhatikan dengan seksama, musik keroncong itu ternyata mengiringi lagu yang dinyanyikan oleh seorang wanita.
Saat lagu selesai, suara yang keluar dari radio bergantin dengan suara penyiar yang sedang membawakan acara. Penyiar laki-laki dengan suara berat, tipikal penyiar radio jaman dulu. Dia berbicara layaknya penyiar radio yang sedang menemani pendengarnya pada malam hari, dengan lancar mengeluarkan kalimat dengan tutur kata yang rapih dan terdengar jelas.
Aku mencoba mendengarkan dengan semakin fokus ketika dia terus berbicara panjang lebar. Aku menunggu informasi yang mungkin dapat menjawab banyak pertanyaan yang sudah ada didalam benak.
Ini radio apa?
Apa nama acaranya?
Kenapa terdengar seperti radio yang ada di puluhan tahun lalu?
Kenapa baru kali ini ada frekuensi ini yang tertangkap di radioku?
"Para pendengar, berjumpa lagi dengan saya. Di malam ini saya akan menemani pendengar semuanya. Pada hari ini 18 Maret seribu sembilan ratus enam puluh delapan, bertepatan dengan hari..."
Aku terhenyak kaget, ketika penyiar radio itu menyebutkan tahun 1968. Aku terkejut, karena pada saat ini sudah ada di tahun 90 an.
"Ini radio apa?" kembali kucoba untuk mendengarkan ocehan sang penyiar yang terus menginformasikan berita-berita yang sedang terjadi pada saat itu, tahun 1968.
Tiba-tiba aku berpikir kalau siaran radio itu bukanlah siaran radio biasa. Seketika saja badanku merinding. Aku langsung mematikan radio itu dan masuk kedalam kamar. .
Pintu kamar sudah dalam keadaan terkunci ketika aku masih saja memikirkan tentang siaran radio itu tadi. Disamping itu aku juga masih memikirkan keadaan Wahyu, takut jika terjadi apa-apa dengannya. Sedangkan aku dalam keadaan terjebak didalam rumah tanpa bisa pergi kemana pun. Aku hanya bisa berbaring diatas aksur sambil berharap semoga Wahyu segera datang. Namun harapan tinggal harapan, hingga nyaris jjam dua belas malam Wahyu belum juga datang.
Demam tinggi ini semakin menyiksaku. Aku menggigil kedinginan. Berselimut tebal dan menutup kelambu tidak juga membuat badanku membaik. Pada saat itu aku berpikir, kalau saja kondisi tubuh ini dalam keadaan sehat, aku akan beranjak pergi, aku akan mencoba untuk berjalan kaki mencari keramaian, aku akan meninggalkan rumah ini. Tapi nyatanya kondisiku tidak memungkinkan. Untuk berdiri saja rasanya aku lemah. Tapi untunglah, setelah meminum obat pereda panas, tubuhku mulai berkeringat, suhu tubuh mulai berangsur turun.
Suasana diluar rumah terdengar mencekam. Sempat berharap kalau itu hanya sekedar halusinasi ku karena kondisi ku yang sedang tidak fit. Suara binatang malam terdengar bersahut-sahutan. Ditambah dengan suara pepohonan karet yang tertiup oleh angin yang pada malam itu bertiup kencang. Yang membuat suasana mencekam adalah, kadang suasana menjadi sangat hening dan sempi, semua suara seperti menghilang. Entah apa penyebabnya.
Pada saat itulah aku mulai merasa ketakutan. Dalam kegelisahan itu aku berharap malam itu tidak terjadi apa-apa, berharap malam itu tidak ada lagi teror. Tapi sekal lagi, harapan tinggal harapan. Kenyataan yang akan terjadi tidak seperti itu.
Lewat tengah malam, aku masih belum bisa juga memejamkan mata. Perasaan dan isi kepala terus berputar kesana kemari. Kegelisahan yang terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Aku tidak lagi memikirkan Wahyu. Yang ada di kepalaku saat ini adalah bagaimana secepatmungkin aku bisa melewatkan malam itu. Tapi yang membuat sedikit tenang, sudah hampir jam 1 dini hari tidak terjadi apa-apa. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi hal-hal yang menyeramkan.
Hmmm.. salah. Seharusnya aku tidak berpikir seperti itu. Kerena beberapa saat kemudian..
"Sreekkk.. sreekkk.. sreekkk.."
Suara nenek dengan sapu lidinya terdengar lagi sedang menyapu pekarangan disebelah kanan rumah. Aku langsung mendengarkan dengan seksama. Suara itu kadang terdengar menjauh, kadang mendekat. Ketika suara itu terdengar dekat dengan jendela kamar, terdengar juga suara pelan cekikikan dari nenek itu. Cekikikan yang terdengar seperti sedang mengolok-olok ku yang sedang sendirian dirumah. Aku hanya bisa terdiam di atas tempat tidur. Sama sekali tidak ada niat untuk mengintip dari jendela dan melihat kearah luar.
Seperti biasanya aku mengacuhkan nenek sapu lidi itu. Walaupun aku terbiasa dengan kehadirannya, tapi tetap saja setiap kemunculannya selalu menimbulkan rasa ngeri. Cukup lama nenek itu menyapu halaman, hingga akhirnya beberapa saat kemudian dia menghentikan aktivitasnya. Aku tidak mendengar lagi suara tawa dan suara sapu lidinya. Sedikit merasa lega, selanjutnya aku berharap semoga rasa kantuk akan segera datang sehingga aku bisa secepatnya tertidur.
Kondisi tubuh yang sudah sedikit membaik, demam yang sudah mulai turun, membuat pada akhirnya aku merasakan juga rasa kantuk. Sepertinya aku akan tertidur sebentar lagi. Tapi ternyata tidak semudah itu..
Suasana menjadi kembali hening dan mencekam. Aku terhenyak, bulu kudukku tiba-tiba berdiri, merinding ketika aku mendengar suara lantunan musik. Suara yang bersumber dari ruang tengah. Aku yakin kalau itu adalah lantunan musik keroncong, dan itu berasal dari radio yang aku tinggalkan diruang tengah. Dan aku juga yakin kalau aku sudah mematikan radio itu sebelum aku memutuskan untuk masuk kedalam kamar.
Radio itu menyala dengan sendirinya. Musik keroncong terdengar semakin jelas. Mengalun syahdu dengan volume suara yang tidak terlalu keras. Saat itu lagu yang terdengar adalah lagu yang sangat terkenal. Dinyanyikan dengan bahasa Indonesia oleh seorang penyanyi perempuan. tentu saja aransemen lagunya adalah aransemen tempo dulu. Menjadikan lagu itu terdengar menyeramkan.
Aku hanya bisa terdiam diatas tempat tidur sambil terus mendengarkandengan seksama lagu tersebut. ketika lagu selesai, suara laki-laki ganti terdengar di radio. Suara laki-laki yang sama dengan penyiar yang aku dengarkan sebelumnya.
"Selamat malam para pendengar yang setia. Pada malam yang syahdu ini saya akan menemani pendengar semua dengan lagu-lagu keroncong yang sangat anda gemari.."
Di sela-sela "siaran radio", anjing hutan terdengar melolong dikejauhan. Suara lolongan yang biasanya menendakan akan terjadi sesuatu tidak lama lagi.
***
Sudah sekitar tiga lagu keronconf diselingi dengan suara penyiarnya yang terdengar dari ruang tengah. Aku masih saja terjaga tanpa merasakan kantuk sedikitpun.
Ketika lagu terakhir diputar, ada sesuatu aneh yang terjadi. Aku mengernyitkan dahi, menajamkan pendengaran, ketika lagu keroncong kali ini tidak bersumber dari suara radio melainkan aku lagu itu dinyanyikan langsung oleh penyanyinya di ruang tengah. Hanya suara perempuan yang menyanyikan lagu keroncong, tanpa ada iringan musik.
Aku merasa semakin ketakutan, lolongan anjing hutan yang terdengar dari tengah hutan menambah kengerian saat itu. Wanita itu masih saja menyanyikan lagu keroncong dari ruang tengah, kali ini dalam bahasa Jawa.
Aku masih dalam posisi berbaring, tanpa berani bergerak sedikitpun. Aku tidak mau menimbulkan suara yang dapat menarik perhatian sang "penyanyi" di ruang tengah.
Namun tiba-tiba kulihat gagang pintu kamar bergerak-gerak, seperti ada yang hendak membukanya dari luar.
Aku masih saja terdiam menatap kearah pintu dalam ketakutan yang amat sangat. Pintu yang aku yakin seharusnya dalam keadaan terkunci, ternyata pelan-pelan mulai terbuka. Ada yang membukanya dari luar.
Pada saat itu suara lagu keroncong masih terdengar dinyanyikan oleh suara seorang wanita.
Pintu yang tadinya aku yakin dalam keadaan rapat dan terkunci, perlahan pintu itu mulai terbuka. Mulai tercipta celah yang semakin lama semakin lebar.
Dan pada akhirnya pintu terbuka sepenuhnya. Ketika itu, barulah aku dapat melihat dengan jelas penyebab kenapa pintu itu bisa sampai terdorong. Terbuka..
Dengan bantuan sinar lampu dari dalam kamar, aku melihat sosok perempuan yang tengah berdiri didepan pintu. Perempuan bertubuh agak gemuk dengan mengenakan kebaya berwarna merah dan kain berwarna coklat, lengkap dengan sanggul nya.
Perempuan berumur sekitar 40 tahunan itu nampak sangat cantik, sambil terus menyanyikan lagu keroncong dengan matanya yang terus menatap ke arahku yang masih berbaring diatas tempat tidurku.
Rasa takut aku rasakan lebih dalam dialiran darahku. Aku tidak mengenal perempuan itu sama sekali. Baru malam ini aku melihatnya ada didalam rumah ini.
***
Namun pada akhirnya ia mulai menghadapkan tubuhnya ke arah kiri. Dan berjalan pelan menuju sisi belakang ruang tamu. Suara nyanyiannya tetap terdengar walaupun sosoknya mulai hilang dari pandangan.
Sambil masih menahan takut dan tangis yang nyaris menetes, aku memaksa tubuh untuk bangun dari tempat tidur dan berniat untuk keluar dari rumah. Entah akan kemana, yang penting aku harus pergi dari rumah itu segera.
Aku sudah tidak tahan lagi. Nyanyian perempuan itu masih terdengar dari ruang tengah. Tapi aku tidak peduli, aku harus meninggalkan rumah ini. Aku paksa tubuh ini untuk berjalan terlebih dahulu keluar kamar. Baru selanjutnya pergi keluar rumah.
Ketika sudah berada tepat di pintu kamar, barulah aku bisa melihat keadaan di ruang tamu. Selain ada radio yang berada dalam keadaan mati yang terletak diatas meja, aku juga melihat sesuatu yang menyeramkan.
Ada sesosok bayangan yang ada di ruang tengah, dan bukan hanya ada satu sosok. Tapi dua!.
Perempuan yang mengenakan kebaya dan bersanggul, berdiri diam tanpa suara, pada akhirnya dia berhenti menyanyi. Dia berdiri disebelah kanan kursi, sedangkan kursi yang satu lagi diduduki oleh sosok yang satu lagi.
Perempuan itu ditemani oleh sesosok laki-laki yang hanya duduk diam, mengenakan pakaian serba hitam dengan penutup kepala berwarna hitam juga. Kumis laki-laki itu sangat tebal dan melengkung pada bagian ujungnya.
Yang menyeramkan, dia tersenyum lebar kearahku dengan mata yang melotot mengerikan.
Mereka berdua menatapku dengan tajam. Aku hanya bisa terperangah ketakutan.
Tidak mau semakin membuang waktu, aku mencoba buru-buru berlari kearah pintu dan mencoba membukanya. Sama sekali tak berani menoleh kebelakang, ketempat dua sosok itu berada.
Pintu berhasil kubuka, aku langsung berlari keluar rumah dan menjauh secepatnya.
***
Ditengah malam buta tanpa penerangan sedikitpun dan dengan kondisi tubuh yang sedang sakit, aku mencoba membelah perkebunan karet.
Sampai pada akhirnya dari kejauhan aku melihat ada samar-samar kilatan cahaya. Setelah semakin dekat barulah aku tahu bahwa itu adalah cahaya lampu motor.
Ternyata itu adalah Wahyu. Aku langsung terduduk lemas, bersandar pada pohon karet yang ada disisi jalan setapak.
"Pak, maaf Pak. tadi motor dipinjam teman, dan baru kembali jam sebelas tadi. Pak Heri kenapa ada disini malam-malam?", Wahyu meminta maaf sambil memberikan penjelasan ketika sudah berada di hadapanku. Aku tidak menjawab.
"Kita kembali ke kota saja Yu, menginap dirumah temanmu saja..", tanpa banyak bertanya, Wahyu langsung memutar motornya dan tancap gas kearah kota kembali.
Akhirnya aku sudah duduk diatas jok motor. Malam itu akhirnya kembali kami harus menginap di rumah teman Wahyu.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar