Rumah Hutan (Part 2) - "Tanah Kuburan"

 Sudah sebulan semenjak aku tinggal di rumah Bu Ranti. Awalnya aku juga agak cengeng tapi setelah semiinggu disini, aku mulai bisa membiasakan diri. Suasana disini cukup ramai selain karena banyak anak-anak dan hampir semua kegiatan kita lakukan bersama-sama. 

Jadwal disini cukup padat. Bangun jam 5 pagi utuk mandi, sarapan dan pukul 06.30 sudah harus berangkat ke sekolah. Iya, sekolah. Sekolah yang kemarin kita datangi dengan pohon beringin besarnya. Sekedar informasi, bahkan dari tempat kosku pohon beringin itu masih bisa terlihat dengan jelas. 

Ada kebiasaan menarik di sekolah ini. Setiap guru-guru datang ke sekolah, murid-murid berlarian menyambut di tangga gerbang utama, berebutan untuk bersalaman dan membawakan tas dan payung yang di bawa oleh para guru. Selama aku di Jakarta, tidak pernah aku melihat pemandangan seperti itu. 

Sepulang sekolah, segera kami ganti baju, makan siang dan ketika jarum jam menunjukkan pukup 14.00 maka semua anak wajib masuk kamar untuk tidur siang. Ibu kos akan mengecek apakah ada yang tidak tidur dan menegur apabila ada yang melanggar. 

Sebenarnya ada hal yang membuatku cukup merasa kurang nyaman dilingkungan ini. Setiap masuk ke kampung ini di beberapa tempat aku mencium seperti bau tanah yang terkena hujan namun ada sedikit aroma busuk diantaranya. 

Pernah aku tanya ke Bu Ranti dan teman-teman disini, tapi mereka tidak mencium apapun seperti yang aku cium. Sampai suatu ketika seusatu terjadi. 


***


Waktu sudah menjelang maghrib, baru kali ini aku pulang seterlambat ini. Kegiatan pramuka di sekolah mengajak kami untuk mengenal wilayah di sekitar sekolah dan asrama. Tentunya kegiatan ini sepengetahuan Bu Ranti.

Aku berjalan pelan melalui tanjakan-tanjakan untuk menuju kerumah. Struktur jalan di desa ini memang berbukit-bukit, bahkan sepeda motorpun pasti akan sedikit kesulitan untuk melaluinya. 

Akhirnya langit mulai gelap, namun bukan karena menjelang malam. Tapi karena mendung dan tetesan hujanpun mulai turun.

"Sial, aku ngga bawa jas hujan atau payung.." gerutuku.

Spontan aku berteduh dipinggir sebuah rumah yang memiliki atap sedikit berlebih. Beberapa orang yang membawa payung masih bersliweran menembus hujan. Aku masih menunggu, berharap hujan cepat berhenti. 

"Crik.. crik.." terdengar suara genangan air yang diinjak oleh seseorang. Aku tidak merasa tertarik dan tetap bermain dengan tetesan-tetesan hujan yang jatuh dari atas atap. 

Tapi sesuatu mulai menggangguku, bau tanah itu.. Entah kenapa bau itu tiba-tiba menjadi sangat pekat sampai aku sedikit menutup hidungku. 

Tanpa kusadari hari mulai malam dan hujanpun semakin deras, tak mungkin rasanya menembus hujan sederas ini namun kondisi jalan sudah sangat sepi. Sebagai seorang anak kecil, sudah sewajarnya aku takut dengan suasana seperti ini. 

Ada sesal yang aku rasakan. Mengapa tidak kuterobos saja hujan ini saat tadi masih belum sederas ini. 

"Crik.. crik.." suara itu terdengar lagi. 

"Deg..!" Mendadak aku teringat kejadian di pohon beringin saat aku pertama kali datang kesini. Seketika badanku bergetar, mulutku tiba-tiba terkatut, membisu.

"Jangan.. tolong jangan sampai ada kejadian seperti itu lagi" Harapku dalam hati.

***

Tidak seperti harapanku, suara itu semakin terdengar dan itu berasal dari kebun di sebelah rumah tempatku berteduh. Aku menoleh dan aku tak bisa mempercayai apa yang aku lihat. 

Sesosok makhluk besar yang kira-kira tingginya dua kali manusia biasa. 

Mataku tak bisa berhenti terkejut. Tanpa sadar aku sudah dalam posisi terduduk dengan lutut yang terasa lemas untuk bisa kembali berdiri. 

Itu darah.. makhluk itu sedang mengunyah sesuatu dengan darah merah segar menetes diatara taring-taringnya yang terlihat keluar dari mulutnya.

"Lari, aku harus lari!" ucapku dalam hati.

"Toloonnggg..!!" Aku berteriak sambil sekuat tenaga berlari menjauh dari makhluk itu, namun sepertinya derasnya hujan membuat teriakanku tidak terdengar oleh siapaun. Kecuali makhluk itu. 

Teriakanku memancingnya untuk mengejarku. 

Aku berlari sekuat tenaga tanpa henti. Deras air hujan membuatku tak bisa membedakan mana jalan dan mana tanah.

"KRAK!" Suara ranting terjatuh seperti tersapu oleh benda besar. Akupun terjatuh. Sepertinya kakiku terluka namun aku sudah tidak peduli. Kejadian ini tidak pernah sedikitpun kubayangkan akan terjadi dalam hidupku. Aku masih terus berlari tanpa peduli apapun.

***

Nafasku habis, kakiku tak lagi dapat menahan luka yang terbuka. Aku menangis sejadi-jadinya. Namun entah kenapa aku semakin jelas mencium bau tanah itu. Seketika aku terjatuh, tersandung sesuatu. Aku sudah tak memiliki daya lagi untuk bangkit.

Suara kaki yag terseret terdengar mendekat perlahan.

Aku tidak bisa membayangkan, apa aku akan bernasib sama seperti sesuatu tadi yang dimakan oleh makhluk itu? 

Semakin dekat, ditengah hujan aku semakin bisa melihat seperti apa makhluk itu. Mata yang besar sebesar kepalan tangan. Aku terpaku melihat darah yang tak berhenti menetes dari sela-sela mulutnya. 

"Kesini!" Suara orang yang entah siapa memanggilku sembari menarik seluruh badanku.

Aku tak ingat apa yang terjadi setelahnya. Yang aku tahu aku dipeluk telungkup di tengah badan seorang pria tua dan samar terlihat bambu-bambu kuning di sekitarku. 

Anehnya makhluk itu lewat begitu saja seolah tak menyadari keberadaan kami. 

***

"Sudah aman" Kata bapak tua itu.

Aku tak membalas. Aku masih menangis sesegukan merasakan kejadian tadi.

"Kalau sudah malam jangan main hujan hujanan, apalagi disekitar kebun sini" Katanya dengan nada sedikit lebih tinggi.

"Baik pak" Balasku tanpa berani melawan. 

"Makhluk tadi itu namanya Lelepah. Seriing berkeliaran disekitar kebun sini saat malam dan hujan deras" Jelas bapak itu sedikit. 

Aku tak tertarik, yang aku mau hanya pulang. 

"Sudah tenangin dulu, nanti saya antar pulang. Ngga perlu cerita kejadian ini sama orang rumah ya, nanti satu desa jadi geger. Biar saya nanti yang ajak warga untuk mengurus makhluk itu" lanjutnya. 

Akhirnya akupun pulang, Bu Ranti sangat khawatir dengan keadaanku. Aku melihat jam di dinding, ternyata baru jam 7 malam. Tapi kejadian itu terasa semalaman. 

Aku berasalan kehujanan, tergelincir dan dibantu oleh seseorang bapak tua untuk diantar pulang sampai kerumah. Segera kubersihkan badanku dan segera pergi tidur. 

***

Walau takut, tapi rasa penasaranku masih membekas. Saat berangkat sekolah keesokan harinya, aku ajak anak-anak yang lain untuk lewat tempat dimana kejadian semalam terjadi. Aku melihat sekeliling, dan akhirnya mataku terhenti, tertuju pada pada benda yang kemarin menyandung kakiku hingga terluka. 

Ternyata itu adalah batu nisan. Benar, disitu ada kuburan. Tidak cuma satu, tapi tiga.

Segera aku memperbaiki posisi nya dan kembali berjalan menuju ke sekolah. 

Apa mungkin keberadaan makam-makam ini ada hubungannya dengan makhluk mengerikan bernama Lelepah itu?


BERSAMBUNG




Komentar

Postingan Populer