Rumah Di Perkebunan - Part 4
Tidak terasa sudah hampir enam bulan om menjalani hidup dan bekerja di tempat terpencil ini, tempat yang mau ngga mau om harus terbiasa dengan segala keadaannya.
Wahyu juga begitu, dia tetap menjalani semuanya dengan ikhlas dan gembira, disamping harus melakukan kewajiban sebagai pekerja perkebunan.
Kami bentuk lingkungan rumah kami seperti yang kami mau. Membuat senyaman mungkin dan seindah mungkin, agar kami dapat berangsur betah tinggal ditempat itu.
Ngga ada pagar sama sekali disekeliling rumah, jadi sama sekali ngga ada batas pemisah diantara rumah dan lingkungan disekitar perkebunan. Halaman depan kami tanami rumput jepang secara merata, disela-selanya kami tumbuhi tanaman hias yang sedap dipandang mata.
Disebelah kanan rumah kami tanami pohon singkong yang cukup banyak, dan beberapa pohon cabe juga. Sebelah kiri rumah, kami bangun kandang ternak kecil-kecilan. Beberapa ekor ayam dan bebek menjadi penghuni tetapnya.
Ujung paling belakang rumah ada toilet dan kamar mandi. Toilet dan kamar mandi ini berhadapan dengan ruang kosong yang biasanya kami gunakan untuk gudang. Tepat ditengah-tengah antara kamar mandi dan gudang ini ada pintu belakang yang langsung menuju keluar rumah, yaitu halaman belakang.
Halaman belakang ini adalah bagian rumah yang paling jarang kami kunjungi, karena memang kami sangat jarang ada keperluan di tempat itu. Bagian belakan rumah ini berbentuk tanah merah yang beberapa bagiannya tertutup rumput liar, dan juga banyak daun bambu kering yang berserakan. Iya, daun bambu kering. Pohon-pohon bambu tumbuh berkelompok. Beberapa meter di depan pintu belakang rumah.
Daun-daun kering itu tentu saja berasal dari deretan pohon bambu, yang memang banyak tumbuh dihalaman belakang rumah. Mereka tumbuh berkelompok layaknya pohon bambu tumbuh dan berkembang. Banyaknya pohon bambu yang tumbuh cukup rapat itu membuat suasana di sekitar halaman belakang menjadi rindang, bahkan gelap bahkan disiang hari.
Apabila angin bertiup, akan terdengar daun-darund ari pohon bambu yang saling bergesekan. Semakin kencang anginnya, semakin keras suara gesekan yang ditimbulkan. Kadang suara gesekan itu terdengar cukup seram apabila angin yang berhembus cukup kencang, apalagi pada malam hari.
Pepohonan bambu ini cukup luas, sekitar 100 meter persegi luasnya. Apabila kita berjalan terus menyusurinya, pada ujungnya akan menemui tanah yang agak menurun. Dan dibawahnya mengalir sebuah sungai kecil yang cukup jernih airnya.Sungai ini akan berubah menjadi sungai yang cukup besar ketika musim penghujan tiba.
Seperti yang sudah sempat om ceritakan diawal tadi, wilayah ini adalah wilayah yang cukup jarang om dan wahyu kunjungi. Karena memang bukan termasuk dari wilayah perkebunan. Disamping itu juga karena wilayah ini cukup menyeramkan, siang maupun malam hari. Kecuali dengan sangat terpaksa, baru kami mau mendatangi tempat ini.
*
Pada suatu sore menjelang maghrib, Wahyu dengan terksa harus masuk ke wilayah pepohonan bambu itu dengan tujuan untuk mencari beberapa ayam kami yang belum juga pulang ke kandangnya. Waktu itu om ngga ikut Wahyu, om hanya duduk menunggu di kursi kayu yang ada disebelah kiri rumah, didepan kandang ayam.
"Hati-hati Yu, jangan lama-lama. Udah mau gelap ini" pesan om kepada Wahyu.
"Iya pak, sebentar saja kok.."
Kemudian Wahyu bergegas masuk kedalam hutan bambu itu.
Kira-kira setengah jam berselang, hari sudah semakin gelap. Wahyu belum juga nampak batang hidungnya. Om sudah sedikit mulai khawatir, tapi belum juga ada niatan untuk mencarinya. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba muncul beberapa ayam yang seharusnya di cari oleh Wahyu. Ayam-ayam itu muncul bebarengan dari arah belakang rumah. Tapi hanya ayam-ayam itu saja yang muncul, tapi ngga dengan Wahyu.
Om langsung bergegas memasukkan ayam-ayam itu kedalam kandangnya. Setelah selesai memasukkan ayam-ayam itu kekandangnya, om kembali duduk dikursi seperti semula. Om mulai merasa khawatir ketika hingga hari makin gelap tapi Wahyu belum juga nampak. Akhirnya om memutuskan untuk mencoba mencari Wahyu ke halaman belakang.
"Wahyuuu... Wahyuuuu..!!!!" teriakan om memanggil Wahyu memecah keheningan senja itu, tapi belum ada jawaban dari Wahyu.
Akhirnya om memutuskan untuk masuk kedalam hutan bambu untuk meneruskan mencari Wahyu. Langkah kaki om yang bergesekan dengan tanah yang tertutup dengan daun bambu kering adalah satu-satunya suara yang terdengar, tetap ngga ada suara sahutan dari Wahyu.
Angin yang cukup kencang bertiup menerpa tubuh om, menggerakkan daun-daun bambu dan menghasilkan suara yang cukup menyeramkan. Batang-batang bambu itu bersinggungan satu sama lain. Disaat itu perasaan om mulai ngga enak, tapi om harus terus berjalan menyusuri hutan bambu itu untuk mencari Wahyu yang masih belum jelas keberadaannya.
Hingga pada akhirnya om sampai di ujung wilayah hutan bambu, didepan omm sudah ada sungai kecil yang pada waktu itu airnya mengalir cukup deras. Wahyu belum juga kelihatan, belum juga ada tanda-tanda keberadaannya.
Beberapa menit om berdiri di pinggir sungai dan melemparkan pandangan ke seluruh wilayah itu untuk mencari Wahyu, sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan kembali ke rumah, karena hari sudah semakin gelap. Om takut jika nantinya akan kesulitan kembali kerumah karena om ngga membawa satu penerangan pun.
Ketika om berjalan kembali ke rumah, om berharap Wahyu sudah ada dirumah. Berjalan menyusuri pepohonan bambu, langkah om melambat karena keadaan yang sudah semakin gelap, berbeda ketika tadi om berjalan berangkat mencari Wahyu.
Angin masih bertiup cukup kencang. Suara gesekan daun-daun semakin terdengar riuh di dalam gelap itu, membuat om memutuskan untuk mempercepat langkah kaki, supaya cepat sampai dirumah. tapi tiba-tiba om menghentikan langkah kakinya ketika om melihat sesuatu didepan mata om. Seketika badan om merasa lemas, kaki om mendadak kaku ngga bisa digerakkan.
Ada sosok yang cukup tinggi besar. Berambut lusuh dan kotor, seluruh tubuhnya berwarna hitam, termasuk wajahnya. Hanya matanya yang nampak merah menyala, menatap tajam kearah dimana om berdiri mematung. Beberapa detik kami saling berpandangan, beberapa detik yang terasa seperti beberapa jam.
"Assalamualaikum.." om memberanikan diri mengucap salam kepada sosok itu.
Sosok itu tetap berdiri diam, ngga bersuara.
Ketika nyali sudah sedikit terkumpul dan suasana sudah bisa dikendalikan, om mencoba menyeret kedua kaki untuk bisa melangkah, berjalan menghindarinya, berjalan memutar supaya ngga berpapasan langsung. Makhluk itu hanya diam berdiri, hanya kepalanya saja yang terus bergerak mengikuti pergerakan om yang mencoba melangkah menjauhinya.
Om semakin mempercepat langkah kaki ketika rumah sudah telihat hanya tinggal beberapa meter saja didepan, ngga sekalipun om berani untuk mmenoleh kebelakang.Alhamdulillah, akhirnya om tiba juga dirumah. Masuk dari pintu belakang, om langsung masuk dan mengunci pintu dari dalam.
"Dari mana pak? tadi saya datang bapak ngga ada" dengan memakai sarung dan peci, Wahyu muncul dari dalam kamar. Kemunculannya cukup mengagetkan om.
"Kamu tadi kemana Yu? Tadi saya cari kamu sampai sungai belakang"
"Saya kan cari ayam pak, tapi ngga ketemu. Waktu saya pulang ternyata ayamnya sudah ada dikandang, tapi pak Heri yang malah hilang. Hehehe.."
"Ya sudah saya mandi dulu, terus kita sholat.." om menutup percakapan pada sore yang cukup aneh itu.
*
Malam itu hujan turun cukup deras, disertai dengan hembusan angin yang cukup kencang. Angin juga yang bertanggung jawab menggerakkan dedaunan pada pohon-pohon sehingga menghasilkan suara. entah dari pepohonan karet atau dari pepohonan bambu yang ada dibelakang.
Udara menjadi semakin dingin. Om dan Wahyu duduk berbincang di ruang tengah, ditemani kopi dan singkong rebus hasil dari kebun sendiri. Om belum menceritakan tentang kejadian yang om alami di belakang rumah sore tadi, ngga terlalu penting juga untuk diceritakan. Wahyu juga bercerita tentang kejadian kalau tadi siang dia kedatangan tamu, seorang teman lamanya yang berkunjung, Nandar namanya.
Nandar ternyata tinggal dikampung yang letaknya ngga jauh dari perkebunan karet tempat kami tinggal. Wahyu bilang, Nandar salut kepada kami berdua, salut dengan nyali kami yang berani tinggal ditempat terpencil seperti ini. Om hanya tersenyum kecut mendengarnya.
"Kalau bisa milih, aku akan meninggalkan tempat ini secepatnya" begitu kira-kira ucap om dalam hati.
Sudah hampir jam 11 malam, hujan deras masih saja turun tanpa berkurang sedikitpun intensitasnya. Beberapa sudut rumah nampak bocor, air menetes dari atap. Beberapa tempat sudah kami sediakan ember-ember dibawahnya untuk menampung air hujan yang menetes. Entah sudah berapa kali Wahyu memompa lampu petromak supaya cahaya nya ngga mati tertiup angin yang sesekali masuk melalui lubang-lubang yang berada diatas jendela maupun pintu.
Suara pepohonan bambu terdengar lebih keras daripada suara-suara yang lainnya, menandakan kalau angin bertiup lebih kencang dihalaman belakang.
"Trookkk.. trookkk.. trookkk.." suara batang bambu yang bersinggungan satu sama lainnya juga terdengar bersahut-sahutan, menambah suasana menjadi semakin mencekam. Kami lebih banyak diam ketika sudah mulai kehabisan bahan perbincangan. Hanya suara hujan dan pohon yang tertiup angin yang terdengar dari luar. Sesekali dibummbui dengan suara petir yang kadang mengagetkan.
"Yuk kita tidur aja Yu.." om akhirnya mengajak Wahyu untuk masih ke kamar, mencoba untuk tidur. Wahyu mengangguk setuju.
"Petromak biarkan saja Yu"
kembali Wahyu mengangguk setuju ketika om menyuruh dia untuk ngga mematikan lampu petromak yang ada diruang tengah. Ketika sudah ada didalam kamar, kami mencoba untuk tidur walaupun sebenarnya kami belum terlalu mengantuk, dan mata masih terasa segar untuk dipejamkan. Sesekali kami berbincang diatas kasur kapuk yang terasa sangat dingin malam itu. Sesekali juga tawa kami terdengar ketika ada satu dua topik bahasan yang menurut kami luccu.
Hujan sudah sedikit mereda, ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari, hanya rintik gerimis yang tersisa, angin juga sudah berhenti bertiup. Suara diluar berganti dengan suara katak dan suara binatang malam yang terdengar bersahutan.
tiba-tiba kami berdua terdiam.. Kami mendengar ada sesuatu yang aneh. terdengar sayup-sayup suar bambu, suara batang bambu yang saling bersinggungan.
"Trok.. trok.. trok.."
Aneh, padahal angin sudah berhenti bertiup, seharusnya sudah ngga ada lagi yang sanggup menggerakkan batang-batang bambu itu.
"Suaranya seperti didalam rumah pak, dari belakang" Wahyu berbisik pelan.
"Kita cek yuk Yu, takutnya pintu belakang terbuka karena angin kencang tadi" om mengajak Wahyu kebelakang untuk memeriksa keadaannya, om khawatir pintu belakang terbuka akibat dari angin besar yang tadi timbul selama hujan turun.
Kami membuka pintu kamar dan berjalan ke belakang, ngga lupa Wahyu membawa lampu petromak dari ruang tengah untuk penerangan kami berdua. Ruang belakang dalam keadaan gelap karena kami memang sengaja ngga memasang satu pun lampu disitu.
Sesampainya di belakang, ternyata pintu belakang sudah dalam keadaan tertutup, suara yang tadi dengar dari dalam kamar juga sudah ngga terdengar lagi. Sudah terlanjur dibelakang, om memutuskan untuk sekalian ke toilet, om meminta Wahyu untuk menunggu didepan pintu toilet karena masih ada perasaan ngga enak di hati om.
Didalam toilet, sekali lagi om mendengar suara batang bambu yang saling memukul satu sama lain.
"Trok.. trok.. trok.."
Suara itu makin terdengar jelas. Dan suara itu bukan dari dalam rumah, tapi dari luar rumah. Secepatnya om keluar dari toilet, Wahyu masih menunggu diluar dengan wajah yang nampak mulai pucat.
"Pak suara itu terdengar lagi. Pak Heri dengar juga kan?" bisik Wahyu sangat pelan.
Om mengangguk, dan memberi isyarat agar kami cepat-cepat kembali ke dalam kamar. Didalam kamar, kami mencoba untuk ngga memikirkan suara itu lagi dan kembali mencoba untuk tidur. Tapi ngga berapa lama kemudian, suara itu terdengar lagi.
"Trok.. trok.. trok.."
Rasa cemas dan takut kami rasakan ketika akhirnya kami menyadari kalau suara itu ngga hanya diam di satu tempat, tapi berpindah. Suara itu seperti berjalan dari halaman belakang ke depan. Sumber suara makin jelas terdengar kearah kamar kami, mendekat kearah jendela kamar. Suasana semakin mencekam. Kami berdua semakin cemas menyadari kalau malam ini kembali muncul teror yang sebenarnya sudah sering kami alami dan lalui.
Suara yang terdengar seperti bambu yang dipukul-pukul itu berjalan semakin mendekati jendela kamar kami, bergerak seperti berjalan perlahan.. Kami semakin diam seribua bahasa ketika sumber suara mulau terdengar dari luar kamar kami, persis didepan jendela kamar.
Ngga berani untuk berdiri dan memeriksa keadaan diluar, kami hanya diam mendengarkan dan berharap suara itu menjauh dan menghilang. Syukurlah, ternyata sumber suara itu ngga hanya berhenti didepan jendela kamar kami, tapi lanjut berjalan kearah depan rumah.
Suara itu terdengar menjauh, tetapi masih disekitar rumah. Kali ini bergerak ke halaman depan, kemudian berbelok kearah kiri. Kami mengikuti terus semua pergerakan suara itu dengan seksama, sambil terus berharap agar suara itu cepat menjauh dan menghilang. Tapi kejadian ternyata jauh dari harapan..
Setelah terdengar melewati halaman depan rumah, suara itu sayup-sayup terdengar kembali berbelok kearah kiri, ke sisi kiri rumah yang ada kandang ayam disitu. Kami terus mencoba mengikutinya dengan terus menajamkan pendengaran. Melewati sisi kiri rumah, kini suara itu berjalan pelan kearah belakang rumah. Ya, suara itu ternyata bergerak mengelilingi rumah kami.
Om dan Wahyu semakin ketakutan ketika menyadari akan hal itu. Dan kami juga belum berani melakukan hal apapun. Suara-suara binatang malam yang tadinya bersahutan tiba-tiba menghilang, hanya sesekali terdengar lolongan anjing hutan dikejauhan.
Kembali, suara itu kembali berjalan perlahan mendekati jendela kamar kami, dan terdengar bergerak palan ketika jaraknya sudah semakin dekat.
Om dan Wahyu menahan nafas, berusaha untuk ngga menimbulkan suara sekecil apapun, ketika sumber suara itu terdengar berhenti tepat didepan jendela kamar kami. Kenapa kami bisa merasakan hal itu? Karena selain suara bambu yang dipukul-pukul, terdengar jelas juga ada suara nafas dari balik jendela kamar kami. Jendela yang terbuat dari katu itu bergoyang pelan, seperti ada yang mencoba membukanya dari luar. Perlahan kami mulai merubah posisi menjadi duduk, kemudian mundur merapat kearah tembok kamar, menjauhi jendela.
Pelan tapi pasti jendela itu mulai terbuka..
Perlahan kami mulai bisa melihat siapa yang menimbulkan suara mengerikan itu. Diluar jendela kami melihat ada beberapa sosok yang berdiri diam menatap kearah kami. Sosok yang persis sama wujudnya dengan sosok yang om liat sore sewaktu mencari Wahyu di hutan bambu dibelakang rumah. Tapi kali ini bukan satu, tapi ada lebih dari tiga sosok.
terlihat tinggi hitam dengan mata yang merah menyala. berdiri menatap kami dingin dari luar jendela. Masing-masing memegang dua batang bambu yang cukup panjang. Sesekali mereka masih memukul dua batang bambu itu, dengan mata tetap melepaskan pandangan ke arah kami berdua.
Dengan rasa takut yang amat sangat, om bergerak perlahan menuju pintu kamar. sambil menarik tangan Wahyu yang nampak jauh lebih ketakutan lagi. Kami bergerak perlahan, berharap makhluk-makhluk itu tetap berada ditempatnya.
Hingga pada akhirnya kami berhasil keluar dari kamar. Wahyu menutup pintu dan mengunci dari luar.
"Ayo pak, kita pergi saja dari sini"
Wahyu membuka pintu depan ddan buru-buru mengeluarkan sepeda motor. Dan om sudah ngga punya pilihan lain, selain mengikuti kemauan Wahyu.
"Ayo pak, cepat pak..!!!" Wahyu memaksa om untuk cepat naik keatas motor ketika om terlihat mengalami kesulitan untuk mengunci pintu rumah.
"Sudah, biarkan saja pak" Wahyu menaikkan nada bicaranya.
Akhirnya om meninggalkan pintu dalam keadaan ngga terkunci.
"TROK!!!"
Tiba-tiba suara itu terdengar lagi dengan semakin keras. Ternyata makhluk-makhluk itu sudah ada di halaman rumah, tepat disebelah kanan Wahyu yang sudah ada diatas sepeda motor. Itulah alasan kenapa Wahyu sangat panik.
Om meloncat keatas motor, dan Wahyu langsung tancap gas. Kami pergi ke kota, meninggalkan rumah pada tengah malam buta.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar