Rumah Di Perkebunan - Part 3
"Allahuakbar! Ada apa Yu?" Om terkejut dengan pengereman mendadak Wahyu, karena itu kami nyaris terjatuh dari motor. Wahyu ngga menjawab pertanyaan om, dia hanya menunjuk kearah depan, tepatnya kearah rumah kami yang sudah berjarak sektira 30 meteran lagi. Om melepaskan pandangan ke arah yang Wahyu maksud. Masih tetap dengan posisi duduk diatas motor, dengan bantuan lampu motor yang menyala yang ngga terlalu terang, om melihat pemandangan yang cukup aneh dan menyeramkan yang nampak samar didepan rumah kami. Pada awalnya om ngga bisa melihat dengan jelas kejadian apa yang sedang terjadi, tapi ketika mata sudah bisa beradaptasi dengan gelap, barulah om bisa melihat semuanya.
Om melihat, ternyata segerombolan orang yang membawa keranda tadi berhenti tepat didepan rumah kami. Mereka berhenti, berdiri diam didepan pintu rumah. Beberapa sosok yang berdiri paling depan tetap dengan posisi memanggul keranda pada pundaknya.
"Matikan lampu Yu..!" om berbisik ke Wahyu untuk segera mematikan lampu motornya.
Seketika itu pula suasana menjadi semakin gelap ketika Wahyu sudah mematikan lampu sepeda motor. Tapi kami masih bisa melihat pemandangan yang ada didepan rumah kami. Dengan bantuan siraman cahaya langit malam dan sinar bulan yang muncul sebagian dari balik awan.
Dalam keadaan gelap om turun dari motor, Wahyu segera mengikuti. Kami langsung berjalan mendekat kearah pohon karet yang ada di sebelah kiri. Disitulah tempat kami bersembunyi. Mengintip dari kejauhan. kami memperhatikan dengan seksama "kegiatan" yang sedang mereka lakukan.
Beberapa sosok yang memanggul keranda di pundaknya, perlahan menurunkan keranda, kemudian meletakkannya diatas tanah. Sosok yang ada di baris belakang, mulai menyebar membentuk lingkaran kecil. Ditengah-tengah lingkaran yang mereka buat ternyata sudah ada lubang yang kira-kira berukuran 1x2 meter. Iya, lebih nampak seperti liang kubur daripada lubang. Dan kami ngga tahu siapa yang menggali sebelumnya.
Beberapa dari mereka mulai membuka kain keranda yang berwarna gelap. Didalamnya ada seonggok jenazah yang sudah berbalut kain putih. Bentukan pocong seukuran manusia normal terbaring di atas keranda. Kami berdua masih berdiri, mengintip dan memperhatikan dalam diam. Memperhatikan detik demi detik kejadian yang terjadi. Mereka mulai menurukan pocong itu dari dalam keranda dan perlahan memasukkannya kedalam liang kubur itu. Setelah jenazah itu sudah masuk, beberapa lainnya mulai menutup liang itu dengan tanah. Rasa takut mulai kami rasakan menyaksikan pemandangan yang mencekam itu. Banyak pertanyaan yang timbul di benak kami.
Siapa mereka?
Siapa yang mereka kuburkan?
Kenapa di depan rumah kami?
Ngga beberapa lama, prosesi aneh itu selesai. Sosok-sosok itu mulai mengangkat keranda kembali keatas pundaknya. Kemudian mereka membalik badan, mengarah ketempat kami sedang berdiri. Selama beberapa detik mereka diam ngga bergerak, hanya berdiri diam terpaku dalam gelap.
Om dan Wahyu semakin ketakutan, ketika mereka perlahan-lahan mulai bergerak, berjalan. Bukan, bukan berjalan tapi melayang..! Mata kami mengikuti arah pergerakan mereka, yang berjalan semakin mendekat ke tempat kami. Berdiri berjajar di balik pohon, kami ngga bisa lari, kaki seakan terpaku, amat sangat berat untuk bisa digerakkan.
Mereka semakin mendekat. Tiba-tiba Wahyu jatuh terduduk, menunduk, menangis.
Om membaca semua doa yang om ingat. Badan om gemetar, ketika perlahan rombongan hitam itu pengangkut keranda itu mulai lewat persis didepan tempat om dan Wahyu berada. Ngga ada angin yang menggerakkan dedaunan, tidak ada suara, tidak ada bau atau wangi apapun. Dan yang pasti.. ngga ada satu suarapun yang terdengar ketika mereka melintas. Mereka melayang dalam diam dengan tatapan mata yang lurus kedepan.
Sekali lagi om hanya bisa diam ketika mereka melintas didepan om. Tak terasa jantung berdegup kencang. Kami hanya berjarak sekitar 3 hingga 5 meter. Hanya beberapa detik peristiwa itu terjadi, kemudian mereke menjauh. Anehnya, mereka menghiraukan kami berdua. Seolah-olah kami tidak ada di hadapan mereka, Padahal kami berdua bisa melihat mereka dengan jelas.
Mata om tetap mengikuti arah pergerakan mereka, yang kemudian perlahan mulai menghilang didalam gelapnya perkebunan karet.
Lega.. Om kemudian terduduk disebelah Wahyu.
"Sudah selesai Yu, sudah aman" Wahyu mengangkat kepalanya, membasuh matanya dari air mata.
"Maaf pak, saya ngga kuat. Badan saya lemas, saya ketakutan. Kita kembali ke kota saja gimana pak? Saya ngga berani masuk rumah. Kita menginap dirumah teman saya saja pak"
Om ngga tega kalau harus memaksa Wahyu masuk kedalam rumah setelah kejadian yang kami lihat tadi. Jadi terpaksa om mengangguk setuju.
"Tapi biar saya yang bawa motor nya Yu, km saya bonceng" Wahyu setuju. Kami langsung naik keatas motor dan pergi meninggalkan tempat itu
Cukup kencang om mengemudika motor itu, dengan maksud agar cepat pula keluar dari perkebunan karet itu. Sesekali mata oom melirik ke kaca spion, berharap ngga ada yang mengikuti kami dari belakang.
Akhrinya sekitar satu jam perjalanan, kami sampai di kota dan langsung menuju ke tempat tinggal teman Wahyu, tempat kami menumpang malam itu.
Keesokan paginya kami berjalan kembali pulang kerumah. Ketika matahari baru saja terbit, kami sudah berada diatas motor. Sepagi mungkin berangkat supaya ngga terlambat sampai ke perkebunan. Sinar mentari mulai bersinar menembus sela-sela pohon karet. Hangatnya perlahan hangatnya mulai menyingkirkan kabut pagi, menyisakan embun pagi diatas rerumputan. Suasana sangat berbeda dibandingkan ketika kami melintasi jalan yang sama di malam sebelumnya. Suasana kali ini jauh dari kata menyeramkan.
Satu jam perjalanan, kami sampai ditujuan kami. Pandangan kami langsung tertuju kehalaman depan rumah, tempat dimana tadi malam kami melihat banyak sosok yang sedang melakukan prosesi pemakaman.
Wahyu terlihat berjalan agak berputar, menghindari titik dimana kira-kira kuburan yang di gali semalam. Anehnya, sama sekali ngga terlihat bekas-bekas ada pemakaman atau kuburan. Hanya tanah beralaskan rumput dengan kondisi yang sama persis dengan saat kami meninggalkannya kemarin sore.Masih diam tanpa kata, kami berdua masuk kedalam rumah dan bersiap untuk melaksanakan rutinitas kami seperti hari-hari biasanya.
"Maaf pak.. semalam saya sudah ngga kuat, sangat ketakutan, lutut saya lemas. Saya ngga berani melihat mereka lagi.." kata Wahyu tiba-tiba, mengulang permintaan maafnya semalam.
"Ga apa-apa Yu, wajar kalau takut. Memang semalam itu menyeramkan. Untuk nanti kedepannya kalau bisa kita jangan keluar rumah lagi malam-malam kalau memang ngga terpaksa" ucap om menenangkan Wahyu.
Sorenya, setelah menyelesaikan pekerjaan, kami pulang kerumah. Dalam perjalanan, Wahyu sempat melontarkan ide agar kami bermalam dikota lagi, tempat tinggal temannya.
"Gak usah Yu.. kita bermalam dirumah saja. Rasa takut kita harus dihadapi. Kalu kita menghindar, mau menghindar sampai kapan?" om coba memberikan alasan agar kami tetap bermalam di rumah saja. Padahal dilubuk hati om yang paling dalam om juga takut, masihi merasa trauma dengan kejadian yang terjadi dimalam sebelumnya.
Malampun tiba.. Sekitar jam delapan malam, om dan Wahyu sudah ada didalam kamar. Ruang tengah kami biarkan terang benderang, semua lampu petromak kami biarkan menyala malam itu. Didalam kamar kami berbincang banyak hal, tapi ngga ada sedikitpun kami membahas tentang apa yang kami berdua alami dimalam sebelumnya.Kami mencoba sebisa mungkin mengalihkan pikiran takut yang masih kami rasakan.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Mata kami sudah sangat berat akibat kurang tidur dimalam sebelumnya, tapi entah kenapa pikiran ini masih belum bisa beristirahat. Masi menerawang kemana-mana. Berbaring sebelahan, hanya sesekali om dan Wahyu terlibat percakapan singkat. Itu dilakukan supaya suasana tidak terlalu hening. Om tahu, perasaan Wahyu masih ngga karuan, masih merasa ketakutan untuk melewati mmalam itu. Om juga sama, takut. Didalam hati om berdoa, berharap semoga malam ini tidak terjadi apa-apa lagi.
Malam semakin larut.. Ketika yang tadinya suara jangkrik dan binatang malam lainnya terdengar bersahut-sahutan, tiba-tiba semuanya menghilang, suasana menjadi hening dan sepi. Hembusan angin bertiup masuk kedalam kamar melalui sela-sela lubang jendela. Kami yang sudah terdiam, menjadi semakin diam. Seolah-olah kami sudahsaling mengerti apa yang akan terjadi berikutnya. Om melirik Wahyu, wajahnya sudah nampak menegang.
"Srek.. srek.. srek.." muncul suara yang sudah ngga asiing lagi buat kami berdua. Suara yang sangat kami kenal. Suara nenek yang sedang menyapu halaman di hampir tiap malam.
Kami hanya diam, mendengarkan suara itu. Ngga ada niat sedikitpun untuk bangun dan melihat keluar jendela. Kami tetap terbaring dalam diam. Walaupun nenek itu mulai mengeluarkan suara walau pelan.
"hi..hi..hi.."
Terdengar suara ringkihnya disela-sela suara sapunya yang menyentuh tananh. Kami tetap diam tak bergerak. membiarkan nenek itu beraktivitas di luar rumah, dan berharap semoga apa yang dilakukannya cepat selesai.
Jam 12 lewat tengah malam. Alhamdulillah, suara nenek sudah ngga terdengar lagi, suasana kembali hening seperti semula. Suara jangkrik dan binatang malam sudah mulai terdengar lagi. Kami menjadi agak lega, beranggapan bahwa malam ini hanya ada sedikit gangguan dari nenek itu saja. Namun ternyata kami salah, ini belum selesai..
Jam 1 kurang 5 menit. Tiba-tiba suasana menjadi hening kembali. Sepi. Dan kembali suasana mencekam datang menghampiri kami berdua. Suara lolongan anjing hutan terdengar kencang dari kejauhan. Lolongan yang sudah kami tahu apa yang akan muncul setelahnya.
Om melihat kalau lampu petromak di runag tengah tiba-tiba mati. Terilhat dari sela-sela lubang angin yang ada diatas pintu kamar.
"Mungkin minyak tanahnya habis pak, makanya petromak nya mati.." Wahyu berbisik pelan mencoba memberi penjelasan yang masuk akal. Seperti mencoba menenangkan om dan dirinya sendiri. Om hanya diam mendengarkan bisikan Wahyu
Ditengah-tengah keheningan, tiba-tiba terdengar suara. Suara seperti suara pintu yang bergeser terbuka perlahan.
"Kriieeekkkkk..."
Kami saling berpandangan, mencoba menerka pintu mana yang lira-kira terbuka.
"Sepertinya pintu depan pak" Wahyu kembali berbisik mencoba menjawab pertanyaan kami sendiri. Om ngga menjawab apa-apa, hanya diam dan mencoba menajamkan pendengaran.
Setelah suara pintu terdengar terbuka, muncul suara yang lain. Terdengar suara langkah kaki yang berasal dari ruang tengah. Langkah kaki yang terdengar bukan hanya dari satu orang saja, tapi beberapa langkah kaki. Menandakan bukan hanya ada satu orang di ruang tengah. Suara langkah-langkah itu diiringi dengan seperti suara batang besi yang bergesekan satu sama lain. Rasa takut semakin mengurung kami. Ngga ada sedikitpun nyali untuk membuka pintu kamar dan melihat apa yang terjadi diruang tengah. Hingga tiba-tiba..
Gagang pintu kamar kami bergerak perlahan, seperti ada yang membukanya dari luar. Tanpa komando, kami berdua bangun dan bergerak mundur perlahan mendekati tembok. Dengan mata yang masih menatap kepintu. Bait-bait doa terus mengalir dalam diri, meminta perlindunganNya.
Kami semakin merapatkan tubuh ke tembok ketika pintu kamar perlahan mulai terbuka. Celah pintu semakin lebar, semakin jelaslah pandangan kami kearah ruang tengah.
Ketika pintu benar-benar terbuka seluruhnya, akhirnya kami bisa melihat apa yang sedang terjadi diruang tengah. Pemandangan yang sangat mengerikan, pemandangan yang ngga akan bisa om dan Wahyu lupakan.
Dalam gelapnya ruang tengah, yang hanya tersapu sedikit cahaya bias dari lampu teplok di dalam kamar, kami dapat melihat semuanya.
Kami melihat ada beberapa orang yang berpakaian hitam-hitam berdiri mengelilingi keranda mayat. Keranda mayat tanpa penutup, yang diatasnya terbaring pocong yang dalam keadaan putih bersih seperti layaknya jenazah yang baru meninggal dan akan dikuburkan.
Pocong diatas keranda itu bisa kami lihat dari sela-sela kaki para sosok yang berdiri mengelilinginya. Om mendegar Wahyu mulai menangis pelan, ketakutan. Beberapa saat kemudian, sosok yang berdiri mengelilingi keranda mulai bergerak. Bergerak menuju pintu depan, mereka keluar meninggalkan ruang tengah. Dan mereka pergi meninggalkan keranda dan pocong itu di ruang tengah.
Kami masih duduk ketakutan di sudut tembok kamar. Duduk menghadap pintu dengan pemandangan keranda yang tergeletak begitu saja diruang tengah. Wahyu mulai menangis terisak ketika kami melihat pocong itu sedikit demi sedkit mulai bergerak. Wahyu mencengkeram tangan om dengan kuat, lalu tiba-tiba cengkeramannya melemas, terlepas. Wahyu pingsan..
Tinggalah om yang duduk bersandar sendirian berhadapan dengan pocong yang mulai bergera-gerak semakin jelas. Seketika pocong itu perlahan bangkit dari posisi tidurnya. Bergerak perlahan duduk, tetap diatas keranda.
Setelah dalam posisi duduk sempurna dengan kaki yang masih tegak lurus, pocong itu menggerakkan kepalanya, menoleh pelan ke kanan dan ke kiri. Dan menoleh ke kiri tajam kearah dimana om dan Wahyu berada. Bersandar diam di sudut tembok kamar..
Kami hanya berjarak beberapa meter saja ketika pocong itu menunjukkan bentuk wajahnya. Kami saling berpandangan. Setelah itu penglihatan om mulai kabur, menghilang dan om sudah tak ingat apa-apa lagi..
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar