Rumah Di Perkebunan - Part 2

 Hari-hari berikutnya kami jalani seperti layaknya pekerja, menjalankan tugas sebaik-baiknya. Tentu saja diiringi dengan banyaknya kejadian yang aneh dan menyeramkan. Kami jalani semuanya, sambil tetap mencoba tabah dan ikhlas. 

Hampir setiap malam nenek yang menyapu dengan sapu lidi terdengar aktivitasnya. Namun om dan Wahyu sudah tidak pernah menghiraukannya, apalagi sampaiberrniat untuk melihat wujudnya. Kami hanya membiarkan dia dan kegiatan kesehariannya. Terkadang nenek itu menyapu sambil bersuara, kadang tertawa, kadang menangis, seperti sengaja berniat untuk enarik perhatian kami. 

*

Setelah sudah beberapa lama tinggal dan bekerja di tempat itu, om sudah mulai hapal dengan seluk beluk, bahkan hampir setiap sudut perkebunan. Ada satu sudut yang sering menarik perhatian om, ketika om sedang berpatroli di wilayah itu. Sudut perkebunan yang cukup mengerikan ini berbatasan langsung dengan hutan rindang yang berada di luar batas perkebunan. Jadi hanya beberapa meter kemudian kami ngga akan menemui lagi pohon karet, hanya ada pepohonan yang besar-besar dan rindang. Saking rindang nya bahkan sinar matahari pun hanya sedikit yang bisa menembus ke dalam hutan itu. 

Seram melihatnya, walaupun pada siang hari sekalipun. Dan wilayah itu termasuk cukup jauh dengan tempat tinggal kami yang ada di tengah perkebunan karet. 

Tapi mau ngga mau kami harus selalu berpatroli hingga ke semua wilayah perkebunan karet,  termasuk ke salah sastu sudut itu. Jika berparoli pada siang hari. om lebih sering sendirian. Tapi beda cerita jika harus berpatroli pada malam hari, om selalu mengajak wahyu untuk menemani. 

Pada suaru sore yang biasa dan normal, om berjalan kaki untuk mengelilingi perkebunan sendirian. Semua para penyadap yang bekerja sudah menuntaskan pekerjaan mereka. Suasana sudah sangat sepi dan hening, ngga ada orang sama sekali.

Cuaca sore itu sangat bersahabat, cerah tapi tidak terlalu panas. Om berjalan kaki menyusuri jalan tanah yang kadang diselingi rerumputan, jalan setapak yang membelah sela-sela barisan pepohonan karet. Sampai pada akhirnya, om tiba ditempat yang menurut om sangat menyeramkan itu. 

Sudah sangat sepi. Hari sudah menjelang gelap ketika om sampai disana. Angin semilir berhembus pelan, menciptakan suasana yang lebih sejuk. Perlahan om tetap melanjutkan langkah, hingga sampai ke sudut paling ujung di batas perkebunan. Berniat memeriksa keadaan sampai benar-benar pasti kalai semua nya aman. Langkah om terhenti, tepat di ujung pepohonan karet yang paling terakkhir. 20 meter didepan om berdiri sudah masuk ke wilayah hutan rimba yang sepi dan gelap itu.

Pandangan om terhenti pada salah satu sudut hutan. Ada pemandangan yang cukup menarik perhatian om. Dalam suasana sore menjelang maghrib, om melihat ada dua orang yang sedang mengerjakan sesuatu. Mereka seperti sedang menggali tanah, dibawah sebuah pohon yang besar. Penasaran, om berjalan mendekati mereka. Setelah sudah cukup dekat, barulah om dapat melihat dengan jelas penampilan mereka. 

Dua orang laki-laki, menggunakan pakaian serba hitam, mengenakan topi caping dikepalanya. Ditangan mereka masing-masing menggenggam cangkul. Dengan cangkul itu mereka tampak sedang menggali dengan fokus. Masing-masing menggali satu lubang, jadi ada dua lubang yang sedang mereka gali. Lubang-lubang itu berukuran kira-kira satu kali dua meter. Tampak lebih mirip seperti lubang kuburan. Iya, tampaknya mereka sedang menggali dua liang kubur.

Aneh.. sudah berapa lama tinggal disitu, dapat dipastikan kalau om ngga pernah melihat adanya pekuburan di daerah itu. Dua orang itu tampak ngga terganggu dengan kehadiran om yang sudah berdiri hanya beberapa meter di belakang mereka. Om masih diam memperhatikan, berusaha untuk tidak mengganggu. Lalu kembali, ada hal yang menarik perhatian om, yang membuat om semakin yakin kali mereka sedang menggali liang kubur. 

Tepat disebelah salah satu liang kubur yang mereka gali, tergeletak dua buah papan kayu berbentuk nisan. Posisi om berdiri cukup dekat untuk bisa membaca tulisan yang ada di papan itu. Papan pertama bertuliskan "SUPRI", sedangkan papan yang kedua bertuliskan "MARYONO". Tulisan itu di tulis dengan tinta hitam yang cukup besar.

Suasana sudah menjadi makin gelap. ketika kedua orang itu menghentikan aktivitasnya. Setelah itu barulah mereka berpaling dan melihat ke arah om berdiri.

"Assalamualaikum, saya Heri. Yang bekerja di perkebunan sebelah. Warga mana yang baru saja meninggal pak?" om membuka percakapan sambil memperkenalkan diri, ngga lupa menjulurkan tangan ke salah satu lelaki itu untuk bersalaman.

Salah satu dari mereka berjalan ke arah om. Lelaki berkumis tipis berumur sekitar 50 tahunan. Dia menyambut uluran tangan om. Om kaget, tangan orang itu terasa sangat dingin seperti es.

"Saya Supri, itu teman saya Maryono".

Reflek om langsung melepaskan genggaman tangan kami yang tengah bersalaman. Nama yang lelaki itu sebutkan adalah nama yang tertera pada dua buah papan kayu yang tergeletak di sebelah liang kubur tadi. Sosok lelaki yang mengaku bernama Supri tadi, di balik topi capingnya nampak sedang tersenyum menyeramkan. Sementara rekannya yang berdiri di belakangnya hanya diam tanpa kata, dengan ekspresi wajah yang juga nampak dingin. 

Om merinding ketakutan. Perlahan on bergerak mundur menjauh. Membalikkan badan dan berjalan dengan langkah yang cepat. Ketika om rasa sudah berjarak, om memberanikan diri untuk menoleh kebelakang. Mereka masih ada disana, dalam kegelapan hutan, berdiri diam menatap tajam ke arah om.

Semakin cepat langkah om untuk menjauh, hingga akhirnya mereka tak tampak lagi. Hilang dalam pandangan, dalam kegelapan. 

Kejadian yang cukup aneh itu langsung om ceritakan pada Wahyu di malam harinya. Wahyu mengatakan kalau dia belum pernah melihat kejadian seperti itu, selain itu karena Wahyu belum pernah berjalan sendirian ke tempat yang om maksud itu. Dia hanya cerita, pernah ada kisah yang beredar dari mulut ke mulut kalau dulunya ada satu wilayah di hutan dimana pernah terjadi peristiwa yang menyeramkan. Kejadian itu sudah berlalu bertahun-tahun lalu, jauh sebelum kami berdua bekerja dan tinggal disini. 

Menurut cerita, pernah ada dua orang yang dibunuh oleh sekelompok orang. Kabarnya pembunuhan itu terjadi karena ada persellisihan bisnis antar kelompok. Sebelum di bunuh, kedua orang itu disuruh untuk menggali kuburannya sendiri oleh orang-orang yang akan membunuhnya.  Cukup mengerikan kisahnya, tapi untuk kebenarannya hingga saat itu om belum tahu pasti. 

Beberapa hari setelah peristiwa itu, kami kedatangan tamu. Pak RT dari desa sebelah datang berkunjung. Pak Roni namanya. Sebelumnya, pak Roni sudah pernah beberapa kali berkunjung. Kali ada kunjungan yang kesekian kalinya. Sore itu kami berbnincang seru sambil ditemani kopi dan singkong rebus hasil menanam sendiri di halaman sekitar rumah, hasil berkebun Wahyu di sela-sela waktu kerjanya. 

Seperti biasa, beliau bercerita dengan semangat. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu diiringi dengan mimik muka dan gestur tubuh untuk menambah bumbu cerita. Seru mendengarnya..

"Jadi rumah yang kalian tinggali ini sudah lama sekali berdiri. Bebarengan dengan perkebunan ini. Sekitar tahun 1950 an. Waktu itu saya masih kecil. tapi kurang lebihnya saya paham sejarah tempat ini" pak Roni mulai membahas tentang rumah yang om dan Wahyu tinggali.

"Sebelumnya, perkebunan ini adalah desa kecil yang jumlah penduduknya ngga terlalu banyak, desa yang cukup terpencil".

"Tapi ada yang cukup meyeramkan dari desa itu".

"Apa yang menyeramkan pak?" tanya om mulai penasaran.

Dengan logat melayu yang kental beliau melanjutkan bercerita, kali ini dengan setengah berbisik. Ada raut takut yang terbaca di wajahnya.

"Ada pemakaman yang cukup besar di dalam wilayah desa itu. Sangat besar, luasnya hampir separuh dari luas desa itu sendiri".

"Kenapa bisa sampai seluas itu pak?"

"Karena pemakaman itu bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang meninggal di dekat situ, tapi juga untuk orang yang meninggal didesa-desa disekelilingnya, yang kadang jaraknya cukup jauh".

"Dan juga pemakaman itu sudah cukup tua, menurut cerita dari kakek nenek pemakaman itu sudah ada sejak tahun 1800 an. Hingga pada akhirnya desa itu digusur untuk penanaman perkebunan karet ini. Termasuk pemakaman besar itu, juga ikut digusur dan dipindahkan ke tampat pemakaman baru yang jauh dari sini".

Kemudian pak Roni mendekatkan posisi duduknya ke tempat kami duduk. Suaranya semakin kecil, disertai dengan mimik takut yang tersirat di wajahnya.

"Ceritanya, ada banyak makan yang tidak ikut terbawa sewaktu dipindahkan, karena pada saat itu kurangnya data tentang siapa saja yang dimakamkan disitu. Jadinya hanya makam-makam yang terlihat saja yang dipindahkan. Sisanya masih tertinggal di wilayah ini".

Om dan Wahyu terkejut mendengarnya. Setelah mendengar cerita beliu, kami jadi teringat satu peristiwa yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Peristiwa mengerikan yang epertinya berhuubungan dengan kisah yang tadi diceritakan oleh pak Roni.

Seperti biasa, hari itu om dan Wahyu pergi ke kota terdekat untuk membeli kebutuhan sehari hari. Biasanya kami berbelanja setiap dua minggu sekali. Perjalanan menggunakan sepeda motor,sekitar dua jam lebih hanya untuk pulang pergi. Ngga seperti biasanya, disebabkan karena satu dan lain hal kami terpaksa pergi ke kota pada sore hari dimana biasanya kami pergi pada pagi atau siang hari. 

Sekitar jam 5 sore kami baru memulai perjalanan. Dan kami tiba di tujuan tepat ketika waktu maghrib tiba. Selepas isya kami baru selesai berbelanja. Kami bertemu dengan salah seorang atasan kami ketika kami baru selesai berbelanja di toko. Kebetulan atasan kami ini baru tadi siang berkunjung ke perkebunan. Dia menyempatkan diri untuk beristirahat di kota ini sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke Palembang. 

"Wah.. kebetulan ketemu kalian lagi. Ayo kita cari makan dulu.." begitu pak Burhan bilang.

Iya.. namanya pak Burhan.

Ajakannya sangat berat untuk kami tolak, karena memang kami juga sudah sangat lapar. Kami akhirnya mampir di salah satu restoran padang yang cukup terkenal. Pucuk di cinta ulam tiba, kami makan enak malam itu. Kami berbincang cukup lama di restoran itu. Karena memang masih banyak cerita dan keluh kesah yang belum sempat tersampaikan ke beliau mengenai pekerjaan dan lainnya. Hingga pada akhirnya Wahyu memberikan kode dengan menyenggol senggol kaki om. Sadar, om langsung melihat jam tangan.  Sudah hampir jam 10 malam. Om langsung menutup pembicaraan dan pamit pulang.

"Oh ya sudah, kalian hati-hati dijalan ya. Saya lanjut ke Palembang" pak Burhan menutup pertemuan kami.

Malam itu udara cukup dingin, angin berhembus kencang menerpa wajah om yang duduk di jok belakang motor. Wahyu nampak cukup sigap mengendalikan motor dengan kecepatan yang lumayan cepat.

"Hayi-hati Yu, sudah gelap banget ini" om mengingatkan.

"Iya pak, saya ingin cepat sampai rumah".

15 menit awal perjalanan, kami masih terlibat percakapan, masih bisa berbincang seru. Walaupun dengan barang belanjaan yang cukup banyak diatas motor. Namun ketika sudah memasuki wilayah hutan, kami lebih banyak diam. 

Takut? iya.., om mulai takut. Dan om yakin kalau Wahyu juga merasakan hal yang sama. Jalan sudah mulai memasuki jalan tanah. Di kanan kiri hanya terlihat pepohonan besar yang rindang, amat sangat gelap. Cahaya yang terlihat hanya cahaya yang bersumber dari motor yang kami tunggangi, dan hanya suara deru motor yang terdengar di tengah hutan ini.

Hanya tinggal beberapa kilometer lagi kami sampai di rumah, ketika lampu motor berkedip kedip seperti hendak mati. Ditambah suara mesinnya yang mulai terdengar batuk batuk. Dan benar, mesin motorpun akhirnya mati..

Sesuatu yang sangat om takutkan akhirnya terjadi, kami terdampar ditengah hutan itu. Om turun dari motor. Wahyu mencoba memyalakan motor kami kembali. Terlihat wajah Wahyu cukup cemas.

"Apa coba kita dorong aja Yu motornya? Sambil kita jalan kaki" om menawarkan ide.

"Saya coba perbaiki dulu pak, paling cuma businya yang kotor"

Suasana mulai mencekam. Jam sudah lewat dari pukul 11 malam. Ngga ada suara sama sekali, hanya terdengar suara peralatan Wahyu yang mencoba memperbaiki motor. Sangat hening..

Semakin mencekam, ketika terdengar suara lolongan anjing hutan dari kejauhan. Lolongan yang biasanya menandakan sesuatu. Om mencoba mengalihkan perhatian dengan ikut berjongkok di sebelah Wahyu. Lolongan anjing hutan terdengar makin keras dan dekat. Om melihat ke arah Wahyu, ketika tiba-tiba di mencolek tangan om dan menunjuk kearah hutan.

Ditengah gelapnya malam itu, om mencoba melihat kearah yang ditunjuk oleh Wahyu. Tapi om nggamelihat apa-apa, cuma deretan pohon dalam gelap gulita.

Suara lolongan anjing masih terus terdengar, ketika om pada akhirnya bisa melihat apa yang di maksud oleh Wahyu. Dari kejauhan, om melihat ada beberapa orang yang berjalan berbaris. Saking gelapnya orang-orang itu hanya terlihat dalam siluet hitam. 

Mereka berjalan dari dalam hutan menuju tempat dimana kami berdua berada. Ketika sudah semakin dekat, barulah terlihat semakin jelas kalau mereka berjalan dengan membawa sesuatu. 

Beberapa orang yang paling depan memanggul keranda mayat. 

Iya, mereka berbaris dengan membawa keranda mayat. Berjalan pelan. Suasananya sangat mencekam. Kami hanya bisa terdiam tanpa ada satu patah kata pun yang bisa terucap. Sangat menyeramkan, ketika tengah malam, ditengah hutan, melihat sekumpulan orang yang berjalan dengan membawa keranda mayat.

Ketika jarak kami sudah cukup dekar, baru nampak lebih jelas kalau orang-orang itu menggunakan pakaian yang serba hitam. Berbaris memanjang..

Ah, ternyata kami salah. Mereka bukan berjalan, tapi melayang. Walau kaki mereka nampak seperti melangkah, tapi jelas terlihat kalau mereka melayang yang mungkin hanya sejengkal dari permukaan tanah.

Kami semakin terdiam..

Untunglah, ketika jarak sudah menyisakan beberapa meter lagi, mereka berbelok ke arah kanan, seperti menghiraukan keberadaan kami berdua. Tapi ke kanan? Itu adalah jalan dimana letak rumah kami berada.

Tak lama barisan orang-orang itu hilang di gelapnya hutan malam itu. 

Setelah sudah mulai hilang rasa takut kami, Wahyu kembali mencoba untuk menyalakan motor. Menyala!

Buru-buru kami melanjutkan perjalanan. Masih tanpa kata yang keluar dari mulut kami berdua.

Kali ini Wahyu lebih pelan dalam mengendarai motor. Tak sampai 15 menit kemudian, Wahyu menghentikan motor dengan mendadak?

"Ada apa Yu? Kok berhenti?"


BERSAMBUNG

Komentar

Postingan Populer