Rumah Di Perkebunan - Part 1
Ini adalah salah satu cerita dari salah seorang keluargaku yang terjadi di awal tahun 90an. Dan menjadi cerita legenda di keluarga kami. Sosok OM akan menceritakan dari sudut pandangnya sendiri.
***
Waktu itu om bekerja di pedalaman Sumatra, tempat yang sangat terpencil, jauh dari mana-mana, benar-benar ditengah hutan, hutan karet tepatnya.
Iya, alhamdulillah, setelah sempat bekerja sebagai supir jenazah pada waktu itu, om diterima bekerja di sebuah perusahaan perkebunan, yang letaknya di daerah sekitar Martapura, Sumatra Selatan. Om bekerja sebagai pengawas di perkebunan karet yang total luasnya mencapai ribuan hektar. Tapi tentu saja om ngga mengawasi keseluruhannya, hanya beberapa puluh hektar saja yang jadi tanggung jawab om.
Perusahaan itu mempekerjakan banyak pekerja, dan yang jumlah nya paling banyak adalah buruh lepas yang bertugas menyadap karet dari pohonnya, setiap hari. Salah satu pekerjaan om adalah mengawasi para buruh itu bekerja.
Mengawasi para buruh bekerja menurut om bukanlah pekerjaan yang terlalu berat, om senang melakukannya. Kerena waktu itu perusahaan tempat om bekerja ini masih kekurangan orang. Maka om ditugaskan juga untuk mengawasi dan menjaga wilayah perkebunan agar tidak ada pencurian.Tugas inilah yang agak berat, karena harus berpatroli pada malam hari, berdua dengan teman menggunakan sepeda motor, mengelilingi perkebunan yang cukup luas itu.
Selain itu juga, yang om ngga kuat adalah harus menghadapi kejadian dan pemandangan seram yang sering terjadi didalam prosesnya.
Perusahaan ini memberikan beberapa fasilitas, dan juga gaji yang lumayan besar pada waktu itu. Salah satu fasilitas yang diberikan adalah tempat tinggal. Ada mess berbentuk rumah, yang disediakan perusahaan lengkap dengan isi dan segala penunjangnya, dan om diharuskan untuk tinggal disitu.
Rumah yang besar, yang terdiri dari empat kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, dapur dan satu kamar mandi. Letak rumah ini cukup "menantang". Terletak di tengah-tengah perkebunan karet, ngga ada rumah lain disekelilingnya, benar-benar sendirian. Jarak menuju desa terdekat sekitar satu jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Kebayang kan? Betapa terpencilnya rumah itu. Rumah ini juga ngga berpagar, langsung dihadapkan pada hutan karet. Dan yang paling seru adalah, dirumah ini belum ada aliran listrik. Penerangan satu-satunya hanya mengandalkan petromak dan lampu teplok minyak tanah.
Ketika pertama kali datang, pada pagi hari itu, om disambut oleh wahyu. Yang nantinya ditugaskan untuk menjadi asisten om selama bekerja disitu. Wahyu berumur sekitar 22 tahun. Pemuda asal Palembang yang kebetulan juga baru tiga bulan bekerja.
Wahyu menyambut dengan ramah. Kemudian kami berbincang. Dia menceritakan keadaan dan suasana tempat itu.
"Jadi selama tiga bulan pertama kerja, kamu tinggal disini sendirian?" tanya om penasaran.
"Ngga pak, sasya cuma sempat tinggal disini satu minggu pertama kerja. Ga betah saya sendirian pak"
"Terus selebihnya kamu tinggal dimana?"
"Saya kos di desa terdekat pak. Setiap hari pulang pergi ke perkebunan naik motor" Wahyu menjelaskan.
"Tapi setelah pak Heri datang, saya berani tinggal disini lagi. Kan sudah ada temannya" lanjutnya.
Berani? Berarti sebelumnya Wahyu ngga berani tinggal dirumah itu? Hmmm...
Nantinya kami juga hanya akan tinggal berdua dirumah itu.
*
Hari pertama kerja, Wahyu mengajak untuk berkeliling wilayah perkebunan yang nantinya menjadi wilayah tanggung jawab om, sekaligus memperkenalkan om dengan semua buruhu karet yang bekerja disitu.. Wilayah perkebunan yang sangat luas, sepanjang jalan berkeliling menggunakan sepeda motor kami hanya menemui barisan pepohonan karet yang berjajar rapi. Dipinggiran perkebunan terlihat hutan yang cukup rindang.
Cukup melelahkan hari itu, selama seharian kami hanya berkeliling melihat keadaan perkebunan. Sekitar jam 5 sore kami pulang..
Malam menjelarng. Wahyu dengan cekatan menyalakan lampu petromak dan semua lampu teplok diseluruh ruangan. Suasana rumah yang tadinya gelap, menjadi cukup terang. Sekeliling rumah mulai gelap, menutup semua pandangan ke arah hutan karet. Sangat sepi..
Selepas isya, kami berbincang diteras depan rumah. Ada dua kursi dan satu meja yang menjadi tempat kami mengobrol. Pemandangan depan rumah sangat gelap, hanya ada siluet pohon-pohon karet dan rumput-rumput liar di sela-selanya. Suara binatang malam juga terdengar mengiringi suasana.
"Pak Heri nanti tidur dikamar tengah aja pak, biar saya dikamar depan. Kamar tengah lebih besar dari kamar lainnya" ucap Wahyu ditengah perbincangan. Om hanya mengiyakan saja. Hingga sekitar jam 9 malam kami masuk ke kamar masing-masing. Cukup melelahkan hari itu, om mencoba untuk bisa tidur lebih awal.
Persis didepan kamar om adalah ruang tengah. Kamar Wahyu ada disebelah kanan, dua kamar lainnya ada di belakang bersama dapur dan kamar mandi. Wahyu mematikan petromak yang ada diruang tengah, hanya lampu teplok didalam kamar yang dibiarkan menyala.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam, ketika om belum juga bisa memejamkan mata. Ngga ada yang bisa dilakukan dikamar itu. Om hanya melamun sambil menunggu kantuk datang. Hembusan angin malam menghembus jendela kamar yang berbatasan langsung dengan perkebunan karet diluar. Angin terasa dingin menusuk tulang. Terdengah juga suara binatang-binatang malam yang bersahutan.
Ngga lama kemudian, dari kejauhan terdengar suara lolongan anjing hutan, melolong panjang. Lolongan yang memiliki banyak arti. Om mulai merasakan hal yang ngga lazim, ketika lolongan anjing itu intensitasnya menjadi lebih sering.
Tiba-tiba lolongan mereka berhenti. Om terdiam, mencoba fokus mendengarkan. Suasana tampak menjadi lebih sepi. Keheningan itu berlangsung cukup lama. Sudah hampir pukul 1, ketika om kembali mendengar suara. Suara yang cukup menarik perhatian.
"Sreeekkk... sreekkk.. sreeekkkk..." kira-kira seperti itu bunyinya.
Dengan tubuh yang masih terbaring di tempat tidur, om mencoba untuk menajamkan pendengarannya. Suara itu terdengar makin jelas.
"Sreeeekkkkkk... sreeekkkkkkk.. sreeeeeekkkkkkk.."
Om langsung terkesiap. Ketika mmeyadari kalau itu seperti suara sapu lidi yang disapukan ke tanah. Terdengar seperti ada orang yang sedang menyapu di luar menggunakan sapu lidi, didekat jendela kamar. Siapa yang menyapu ditengah malam begini? Wahyu kah? Sepertinya ngga mungkin
Perlahan om bangkit dari tempat tidurnya, dan berjalan mendekati jendela, mencoba kembali memastikan keberadaan suara itu. Setelah sudah berdiri di samping jendela, suara itu makin jelas terdengar.
"Sreekkk.. sreekkk.. sreeekkkk..."
Penasaran, om mencoba untuk mengintip di sela-sela lubang jendela. Tidak ada siapapun, hanya gelap yang ada didepan mata. Tapi suara sapu lidi itu masih tetap terdengar. Masih penasaran, om mencoba untuk membuka jendela.
Perlahan jendela mulai terbuka. Saat itulah ketika om sudah bisa melihat keluar dengan lebih jelas, om melihat sosok yang menurut om sosok itu adalah sosok dari sumber suara. Ada sosok perempuan dengan rambut panjang berwarna putih semua. Badannya sedikit membungkuk dengan posisi membelakangi om, sedang menyapu. Perempuan itu menggunakan kebaya dan kain panjang yang menutupi kakinya.
Perlahan om merasa merinding melihatnya. Perlahan om mulai menutup jendela. Dan di momen itulah om meliihat perempuan itu mulai bergerak, membalikkan badannya. Tanpa aba-aba, tiba-tiba tangan om berhnti bergerak menutup jendela, wajah perempuan itu pelan-pelan mulai terlihat meski ditengah gelap. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh, sangat mungkin om bisa melihat wajah perempuan itu.
Wajah pucat, berkeriput di sana sini, nenek-nenek.
Sambil berdiri menyamping, nenek itu menatap om yang berdiri di balik jendela, lalu tersenyum.
Bukan..
Nenek itu bukan tersenyum tapi menyeringai dan mengeluarkan suara tawa kecil yang terdengar ringkih. Mengerikan..
Spontan, om langsung menutup jendela dengan kencang dan menguncinya. Om bergegas kembali ketempat tidur, menutup seluruh tubuh dengan selimut sampai ke kepala.
Suara sapu lidi nenek itu masih terdengar, ditambah sesekali suara tawa ringkihnya yang terdengar pelan. Lolongan anjing hutan mulai terdengar lagi dari kejauhan, bersahut-sahutan. Om mencoba untuk membaca doa sehapal dan sebisanya, mengharap perlindunganNya, berdoa semoga teror ini cepat berakhir.
Peristiwa malam tadi ngga om ceritakan pada Wahyu. Om mencoba untuk menyimpannya sendiri, om ngga ingin membuat Wahyu ketakutan. Disamping itu juga, om sudah mulai sibuk dengan pekerjaan yang mulai melelahkan.
Malam-malam berikutnya, suara nenek yang menyapu itu tetap sesekali terdengar, tapi om mencoba untuk tidak terpengaruh. Dalam ketakutan om memaksakan diri untuk ngga menghiraukannya, dan membiarkan hingga suara itu menghilang dengan sendirinya.
Satu bulan tinggal dirumah itu, ketika om dan Wahyu sudah semakin akrab, kami sudah bisa berbincang dalam hal apapun, sudah tidak terlalu formil lagi.
"Pak, memang pak Heri bisa tidur nyenyak dikamar itu sendirian?" tanya Wahyu suatu ketika.
"Nyenyak-nyenyak aja Yu, memangnya kenapa?" tanya om balik.
"Ngga apa-apa pak.." Wahyu menggantung pembicaraan.
"Memangnya kamu ngga bisa tidur nyenyak Yu?" tanya om.
"Bisa pak.. bisa.." jawab Wahyu sedikit gelagapan.
Om ngga terlalu ambil pusing dengan percakapan itu, hingga pada akhkirnya ada peristiwa yang terjadi di satu malam Jumat. Dan peristiwa itu yang akhirnya membuat om menjadi tahu alasan dibalik pertanyaan Wahyu.
*
Seperti biasa, malam Jumat itu, seperti biasa selepas isya kami berbincang diteras rumah.
Wahyu dengan sisa energi yang terlihat masih banyak, tampak masih bersemangat berbincang. Segala hal kami perbincangkan, tentang pekerjaan, keluarga dan lain sebagainya.
Sebenarnya Wahyu menhindari satu topik obrolan, yaitu yang berhubungan dengan mistis, hantu dan hal-hal aneh yang berhubungan dengan rumah itu. Ketika perbincangan sudah menjurus kearah sana, Wahyu langsung mengalihkan topik pembicaraan. Dia langsung memperlihatkan gelagat yang aneh, aneh seperti orang yang ketakutan.
Ngga terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kami sudah semakin lelah dan mengantuk, bahan obrolanpun sudah semakin sedikit.
Malam itu cukup dingin seperti biasanya, walaupun ngga ada angin yang bertiup. Suara jangkrik bersahut-sahutan. Gelap gulita rasanya mulai menjadi teman akrab ketika malam tiba. Kami juga terbiasa dengan pemandangannya.
Dalam keheningan kami yang masih terdiam, terdengar suara dari kejauhan.
"Crek.. crek.. crek.."
Kami saling berpandangan, menerka-nerka suara apa gerangan.
Suara yang awalnya terdengar sangat jauh, lama-kelamaan semakin kencang pertanda suara itu mendekat kearah teras, tempat kami duduk.
"Pak kita masuk aja yuk.." ajak Wahyu tiba-tiba.
Om mengangguk setuju. Bergegas kami masuk kedalam rumah.
Wahyu seceepat kilat bergerak mengunci pintu dan jendela, wajahnya terlihat ketakutan.
"Ada apa Yu? Kok kamu seperti ketakutan?"
"Ngga ada apa-apa kok pak, mungkin karena kecapekan"
Setelah mematikan petromak di ruang tengah, Wahyu langsung pamit menuju kamarnya. Entahlah tapi malam itu memang sudah mulai mencekam sejak kami mendengar suara aneh itu diluar rumah.
Masih dalam keadaan penasaran, memikirkan suara apakah gerangan tadi, om mencoba untuk memejamkan mata.
Sudah jam 11 malam tapi om belum bisa tidur juga. Rasa gelisah diatas ranjang besi dan kasur kapuk. Nyamuk-nyamuk yang semakin ganas, memaksa om untuk memasang kelambu mengelilingi tempat tidur. Hanya bisa melamun, guling ke kanan dan ke kiri. Tapi kantuk tak juga datang. Hingga jam 12 malam..
"Crek.. crek..crek.." suara yang sama persis terdengar lagi. Dan kali ini suaranya terdengar sangat dekat. Dari dalam rumah!!!
"Creekkk.. creekkk.. creekkk.."
Om mulai merasa ketakutan ketika om menyadari suara itu berasal dari ruang tengah. Ruangan yang persis ada didepan kamar om. Tak bisa dan tak berani berbuat apa-apa, om hanya bisa terdiam menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
Tak berapa lama kemudian, suara itu hilang. Suasana kembali hening. Sangat hening..
Jam sudah hampir pukul 1 dini hari, ketika tiba-tiba ada suara pelan, hampir berbisik dari ruang tengah, didepan pintu kamar om
"Pak.. pak.. pak Heri..!!" terdengar seperti suara Wahyu.
Perlahan om beranjak dari tempat tidur, melangkah pelan menuju pintu. Pelan membuka gagang pintu dan membukanya perlahan. Setelah pintu terbuka sebagian, tida ada siapa-siapa. Tidak ada Wahyu atau siapapun disana. Kosong..
"Crek.. crek.. crek.." suara itu kembali terdengar. Kali ini terdengar jauh lebih jelas dan keras. Menandakan kalau sumber suaranya sangat dekat.
Om melirik ke arah sumber suara, ke pojok ruang tengah yang gelap.
Sama-samar dalam gelap mata om menangkap sesuatu. Sesuatu yang berdiri tegak di pojok ruang tengah. Jaraknya hanya berkisar selemparan batu dari tempat om berdiri di bibir pintu kamar. Badan om seketika menjadi lemas, tatkala om menyadari bahwa yang dilihat adalah sosok pocong.
Pocong yang berdiri diam disudut ruangan. Meski gelap, tapi warna putih kafannya cukup bisa menjelaskan warna dan tinggi sosok itu. Om menunduk, bergerak mundur dan perlahan menutup pintu kamar. Kembali kedalam kamar, om buru-buru naik keatas tempat tidur, bersembunyi di dalam kelambu. Berharap semoga pocong itu tetap berada di luar kamar.
Tapi harapan tinggal harapan, ketika pelan-pelan pintu kamar terbuka. Om hanya bisa memandang ke arah pintu tanpa bisa berbuat apa-apa. Pocong itu bergerak, melayang masuk kedalam kamar om. Berhenti tepat ditengah kamar, masih dalam posisi melayang. Posisi kami hanya terpisah oleh selembar kelambu tipis transparan.
Sekarang mulai nampak wajah dari pocong itu. Hitam dan ngga karuan. Setelah itu om sudah tidak mengingat apa-apa lagi. Om pingsan..
Ketukan pintu membangunkan om dari tidur/pingsan? Suara Wahyu memanggil-manggil dari luar kamar.
"Pak.. pak Her.. Bangun pak, sudah subuh.."
Om langsung bangun dari tempat tidur dan keluar kamar. Lalu kami sholat subuh bersama, seperti hari-hari sebelumnya. Setelah sholat, om melihat wajah Wahyu layu, nampak seperti orang yang kurang tidur.
"Kamu kurang tidur ya?"
"Iya pak. Nanti saja diluar saya ceritanya ya pak" jawab Wahyu setengah berbisik.
Om mengangguk pelan. Sepertinya om agak paham dengan apa yang akan Wahyu ceritakan.
*
Siang itu, ketika sedang mengawasi para pekerja, Wahyu mulai bercerita.
"Tadi malam saya ngga bisa tidur pak, saya ketakutan" Wahyu membuka cerita.
"Dari awal kita dengar suara crek.. crek.. crek.. diluar rumah itu saya sudah mulai ketakutan" lanjutnya.
"Karena saya tahu itu suara apa. Itu suara pocong" Wahyu mengagetkan om.
"Makanya saya ajak pak Heri untuk langsung masuk rumah. Yang saya takutkan kalau pocong itu masuk kedalam rumah"
"Dan benar saja pak, saya dengar suaranya ada didalam rumah ketika kita sudah dikamar masing-masing. Untungnya pocong itu ngga masuk kekamar saya" lanjutnya
"Karena itulah saya ngga bisa tidur semalaman pak. Pak Heri dengar juga semalam?" tanya Wahyu diujung cerita.
Om langsung menhela nafas panjang, dan menceritakan kejadian yang om alami semalam, dan malam-malam sebelumnya, semuanya.
Wahyu hanya diam mendengar om bercerita. Ternyata itulah alasannya kenapa Wahyu hanya satu minggu waktu tinggal dirumah itu sendirian.
Setelah hari itu, om dan Wahyu memutuskan untuk tidur bersama dalam satu kamar, setiap malah hanya untuk mengurangi rasa takut.
Teror berakhir? Belum. Teror tetap berlanjut dan semakin seram..
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar