Astana Ratu - ANJANI (PART 3/Jani)
Ah, aku belum sempat dan belum berani cerita ke Rama. Gimana ya? Haruskah aku cerita ke dia sekarang? Apakah Rama akan marah? Pikiran itu berputar-putar dikepalaku.
"Hmm. saslah liat kayanya kamu dek" jawab Lale Nonik ragu. Rama lalu melihat kearah Bang Yon. Namun Bang yon segera mengangkat bahu, tanda bahwa ia pun tidak tahu.
"Permaisuri apaan sih, halusinasi aja kamu. Aku ngga liat apa-apa juga tadi di bandara" kataku cepat mencoba mengalihkan pembicaraan.
Lale Nonik segeera melihat kearahku, dan menegurku dengan halus. "Hati-hati bicaranya dek. Nanti kamu ketemu beneran sama Ratu Mas Prawira lho.." kata Lale sambil menyentuh tanganku.
Aku refleks memnendang kaki Rama di bawah meja lalu bertanya, "Kenapa?" karena aku tidak merasa ada ucapanku yang aneh. Rama mengangkat alis, tanda ia pun tidak mengetahuinya.
"Dek Jani memang kenapa ingin ketemu Ratu Anjani?" tanya Lale Nonik.
Aku menghentikan makan dan melihat kearah mereka. Lalu mulai bercerita alasan kenapa aku begitu ingin bertemu dengan Ratu Anjani walaupun sebenarnya kemungkinan itu akan sangat kecil. Secara aku bukan anak indigo atau sejenisnya.
Ayah pernah tinggal di Mataram. Semasa mudanya dulu, ayah sering main ke daerah Rinjani bersama dengan taman-temannya. Namun suatu ketika, ayah terpisah dari rombongannya dan tersesat. Saat mencari jalan keluar dari rimbanya hutan belantara, ayah bertemu dengan seorang perempuan yang berpakaian tak lazim pada zaman itu.
Perempuan itu lalu menemani ayah mencari jalan. Tapi kata ayah perempuan itu tidak banyak bicara, hanya sesekali tangannya menunjuk arah sambil berucap "Sepertinya kesana". Hal itu terjadi berulang-ulang sampai akhirnya ayah berhasil menemukan jalan untuk turun ke sabana.
Anehnya saat itu juga perempuan tadi ijin pamit untuk kembali lagi ke atas. Saat ditanya siapa namanya, perempuan itu tadi megaku bernama Anjani dan tinggal "disini", di Gunung Rinjani.
Ayah yang pada saat itu masih muda tidak begitu menangkap maksud perempuan tersebut dan hanya mengiyakan saja lalu meneruskan perjalanannya pulang tanpa sedikitpun berpikir ada yang aneh.
Sesampainya dirumah, ayah dengan santainya menceritakan kejadian itu kepada Eyang, ibu dari ayahku. Ayah bercerita jika tadi ia sempat tersesat dan beruntung bertemu dengan seorang perempuan bernama Anjani yang menuntunnya hingga ke sabana.
Mendengar hal itu eyang langsung bersujud syukur dan dengan suara lemah berkata,
"Terima kasih ratu sudah mengantarkan anak saya pulang".
Ayah menperhatikan eyang dengan bingung "Kenapa bu?" tanya ayah.
Lalu saat itulah eyang menceritakan tentang sang Ratu Anjani, yang konon bersemayam di Gunung rinjani dan sering membantu masyarakat yang hidup di lereng Rinjani. Adapun apakah Ratu Anjani adalah seorang manusia atau bukan, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan dan perdebatan kala itu.
Kisah yang begitu berkesan dan pengalaman yang tidak terlupakan yang di alamai oleh ayah tadi akhirnya menjadi alasan ia memberi nama Anjani kepada anak perempuannya, aku, sebagai bentuk rasa kagum dan terima kasih ayah kepada Ratu Anjani yang telah menolong ayah kala itu.
"Nah kerena itu, aku kepengen banget bisa berdiri di puncak Rinjani dan kalau bisa ketemua sama Ratu Anjani. Aku mau bilang terima kasih juga sudah menyelamatkan ayah saat itu" jelasku panjang lebar.
"Sebenarnya tahu lalu Jani juga udah naik ke Rinjani si Le, tapi bukannya ketemu Ratu, malah ketemu sama Rambo satu ini" lanjutku sambil meledek Rama.
"Masyaallah.." balas Lale Nonik sambil tersenyum.
"Tapi Lale, emng bener ya Ratu Anjani itu salah satu tokoh penyebar Islam disini? Cerita dikit dong" pintaku.
"Sepemahamku dari orang-orang tua Lale sih begitu dek. Ratu Mas Prawira, itu julukan dari Ratu Anjani. Beliau konon bangswan dari bangsa jin dan diubah jadi bangsa kita, lalu dikembalikan kembali ke bangsa jin" jelas Lale Nonik.
"Beliau konon bangsawan dari bangsa jin dan diubah menjadi manusia lalu dikembalikan lagi ke bangsa jin. Ketika beliau menjadi manusia, beliau memiliki dua saudara kandung, Raden Mas Abdul Malik dan Raden Mas Abdul Rauf. Beliau semua memang dikenal sebagai penyebar Islam di Tanah Sasak ini" lanjutnya.
Aku dan Rama menyimak dengan antusias. Hal seperti inilah yang akhirnya membuatku dekat dengan Rama. Kami berdua sama-sama penikmat sejarah. Cara penyampaian Lale yang luwes namun juga dengan hati-hati membuat kami yakin Lale Nonik memang seorang yang cerdas.
Belakangan, dari Bang Yon, kami tahu Lale masih keturunan bangsawan Lombok. Namun Lale memilih menyembunyikan identitasnya sebagai seorang bangsawan dan berbaur sebagai masyarakat biasa. Aku semakin salut dengan sosok Lale Nonik. Berharap bisa sepintar dan se merakyat itu.
Seusai makan dan bercerita seputar Ratu Anjani, kamu bergegas ke Senaru. Tujuan awal kami di Senaru adalah rumah pak Saat. menurut cerita Rama padaku, pak Saat adalah warga lokal Senaru yang dia kenal waktu pertama kali ke Rinjani. Waktu itu rute yang di pilih Rama adalah lintas Rinjani, diawali dengan naik dari Sembalun dan turun di Senaru. Saat itulah dia sempat mampir di warung beliau. Pak Saat dan istrinya memang memiliki warung makan dan usaha souvenir khas Lombok disana.
Selain itu diwarungnya terdapt sebuah kamar sederhana yang sering ia tawarkan secara cuma-cuma bagi para pendaki lokal untuk sekedar beristirahat. Saat pendakian pertama itu, Rama sempat menumpang di kamar tersebut dan sejak itu mereka menjadi akrab bahkan seperti orang tua dan anak sendiri.
"Assalamualaikum.." sapa Rama ketika tinggal beberapa langkah lagi kami sampai di warung pak Saat.
"Waalaikumsalam.." sambut suara parau dari dalam warung. Tak lama kemudian muncul seorang pria paruh baya dari rumah itu dan melihat ke arah kami, terutama ke arah Rama.
Sambil setengah berlari, Rama mendekati pria itu sambil mengangkat satu tas kresek yang sedari tadi ia tenteng untuk diberikan kepada beliau.
"Ada pete niihhhh... ahahahaha.." teriak Rama sambil membuka tangan dan memeluk erat beliau. Pak Saat membalas pelukan Rama dan tertawa renyah.
Rama langsung mencium tangan beliau, sementara pak Saat mengelus pundak Rama sambil matanya memperhatikan bungkusan putih yang saya bawa.
"Buuu, ada anakmu nih" teriak pak Saat pada istrinya. Tak lama keluarlah seorang wanita yang juga separuh baya dengan tangan yang basah dan di lap kan ke bajunya sendiri.
Wajahnya berbinar ketika melihat Rama dan mereka berpelukan layaknya seorang ibu dan anak yang lama tidak bertemu satu sama lain.
Bang Yon, Lale Nonik dan aku yang tertinggl di belakang akhirnya menyusul. Bang Yon menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Rama dan keluarga Pak Saat. Sementara aku dan Lale Nonik tersenyum melihat mereka.
"Nonik, Yon ayo masuk" ajak bu Saat yang sepertinya sudah mengenal Lale Nonik dan Bang Yon. Aku jadi satu-satunya orang yang belum beliau berdua kenal. Keduanya lalu menghampiri bu Saat dan mencium tangan beliau.
"Eh ini satu lagi siapa? Masya Alla cantiknya.." tanya bu Saat padaku, yang kini merasa malu karena mendapat pujian seperti itu. Sebenarnya aku sudah terbiasa mendapatkan pujian semacam itu dari laki-laki di Jakarta, dan rasanya biasa saja. Tapi entah kenapa, ketika di puji oleh beliau, aku justru merasa malu dan canggung.
"Kenalkan, saya Jani bu.." kenalku sambil ikut mencium tangan beliau.
"Jani? Istrinya Rama?" tanya bu Saat singkat. Aku tersentak kaget. Begitu juga Bang Yon dan Lale monik yang melotot sambil menahan tawa. Sementara itu bisa kurasakan wajahku berubah merah karena malu.
"Eh?? Bukan, bu.. bukaannn? jawabku canggung. Ah sial, kenapa aku jadi terjebak disituasi seperti ini. Rama pasti seneng melihatku salah tingkah seperti ini. Sial..
"Doain aja dulu bu.." sahut Rama seenaknya. Membuatku semakin tenggelam dan terjebak dalam kecanggunganku sendiri.
"Aamiin.. pasti kami doain Ram. Iya kan pak?" tanya bu Saat ke suaminya yang di balas hanya dengan anggukan. Oke, wajahku kini benar-benar kurasakan sudah lebih mirip seperti tomat rebus karena lebih menahan malu. Setelah semua masuk ke dalam warung, aku berjalan cepat menghampiri Rama dan berbisik di telinganya..
"Monyet.."
Komentar
Posting Komentar