Astana Ratu - ANJANI (PART 2/Jani)

 Langkahku yang tengah bergerak turun seketika terhenti ketika berhadapan dengan mahkluk aneh itu. Spontan kembali kubaca doa-doa sebisaku. Karena pergerakanku yang berhenti tiba-tiba itu, sepertinya membuat sosok itu menyadari kalau aku bisa melihatnya. 

Dia yang tadinya sedang sibuk memakan sesuatu, tiba-tiba berhenti dan berbalik menatapku. Mataku dan matanya bertemu. Sejurus kemudian, sosok itu menyeringai, menampakkan deretan giginya yang tak beraturan yang berwarna gading dengan liur yang menetes dari untuk bibirnya. 

DEG!

Jantungku berhenti seketika. Seluruh tubuhku gemetaran dan entah bagaimana, aku kehilangan seluruh sisa tenagaku. Aku tejatuh dengan posisi terduduk, pandanganku mulai kabur, kepala sakit, mual. Dengan sisa-sisa tenaga, masih berusaha kurapalkan doa-doa sebisaku. 

Sosok itu tertawa melihatku dalam kondisi seperti itu. Tawa yang aneh. Seperti kakek-kakek terkekeh tapi dengan intonasi yang tinggi. Telingaku berdengung karea tawanya menggema di kepalaku. 

Belum selesai ketakutanku, tiba-tiba entah dari mana muncul satu mahkluk lagi. Berbentuk kuda dengan corak coklat pekat dan putih yang abstrak. Namun dengan kepala anjing dengan dua titik putih diatas matanya yang berwarna merah seluruhnya dan bertanduk abu-abu seperti unicorn. Telinganya berdiri tegak dan kaku dengan rambut halus di ujung-ujungnya. Sosok ini tiba-tiba saja keluar dari rimbunnya pohon-pohon dan bergerak pelan mendekatiku.

Aku mulai menangis. Badanku sudah tidak bisa lagi ku kendalikan, aku semakin bergerar tetap dengan posisi duduk. Aku hanya bisa merapatkan kakiku. Mahkluk seperti kuda itu mulai mengeluarkan suara yang aneh. Melolong tapi dengan ringikan kuda. Aku semakin pasrah dikelilingi dua mahkluk aneh yang baru pertama kali aku lihat seumur hidupku.

Aku semakin putus asa melihat dua sosok itu berjalan perlahan mendekat dengan tatapan yang mengintimidasi, seoalah aku adalah santapan lezat bagi mereka. Tangisku semakin deras, tapi anehnya tidak ada suara yang keluar dari tenggorokankku. Dalam hati aku berharap kejadian ini hanya mimpi, tapi ternyata aku salah. 

Ditengah keputusasaanku, lagi-lagi muncul satu sosok yang paling besar di antara yang lainnnya. Bertubuh tinggi besar. Dari bentuknya, sepertinya sosok ini adalah sosok perempuan. Berwarna kulit merah darah dengan kerutan berwarna hitam. Aku tidak akan pernah lupa akan wajahnya. Memiliki tanduk kecil di keningnya dan menyeringai dengan deretan gigi yang berupa taring semua. Membuatku semakin lemah dan menelungkupkan kepalaku diantara kedua lututku. 

Aku bisa merasakan kalau makhluk itu melayang mendekatiku. Anehnya, tanpa aku melihat, aku bisa merasakan jika dua sosok diawal tadi pergi menjauh ketika muncul sosok wanita ini.

Aku semakin mengigil hebat. Entah karena kedinginan atau saking ketakutannya. Belum pernah seumur hidupku aku merasakan takut seperti ini. Doa sudah semakin tak beraturan, ayat-ayat suci seketikan hilang dari ingatanku.

Lalu tiba-tiba saja..

"Mbak.. mbak,," sayup-sayup kudengar suara seorang laki-laki diiringi dengan tepukan lembut dipundakku. Aku masih tidak bergeming.

"Mbak.." suara itu terdengar lagi beberapa kali. Seketika kesadaranku perlahan mulai kembali. Walaupun badanku masih teteap menggigil. Aku mulai mengangkat kepalaku. Saat itu kulihat wajah seorang lelaki dengan raut wajah khawatir berada dihadapanku. Rasa takutku hilang dalam sekejap berganti dengan perasaan lega bahwa akhirnya aku bertemu dengan manusia.

"Mbak sendirian?" tanyanya masih dengan wajah khawatir.

Aku ingin menjawabnya, tapi sepertinya aku masih shock dengan kejadian yang baru saja aku alami. Suaraku tercekat, tertahan di tenggorokan. 

"Mbak mau naik atau turun?"

"Turun.." jawabku lirih namun kembali tak ada lagi suara yang keluar dari mulutku walau aku sudah mencoba, memaksa untuk berbicara lebih banyak. Dengan sigap laki-laki itu melepas jaketnya dan menyelimutkannya ke badanku. 

"Mbak maaf ya.. saya bantu turun ya. Saya gendong aja ngga papa kan? tanyanya lembut. 

Tanpa terasa air mataku meleleh. Aku hanya bisa mengangguk pelan. 

Laki-laki itu langsung membalik badannya memunggungiku. Dengan sisa tenaga, aku berusaha naik ke punggungnya. Ia pun bangkit dan tanpa banyak bicara langsung berjalan membawaku turun. Ada rasa bersalah yang menyelinap dalam hatiku karena sudah menyusahkan orang lain. Ditengah perjalanan turun itu,  kulihat dia mengambil handie talkie yang sedari tadi terselip dipinggangnya.

"Cek, tim.. Sorry, aku balik dulu ke Plawangan. Ada yang hipo di jalur. Sorry ngga bisa nemenin. Bang Yon, nitip anak-anak ya. Take care.." laki-laki itu mengabari tim nya. 

"Mbak kalo mau nyender kepalanya, gapapa nyender aja" kata lelaki itu singkat. Aku tersenyum. Kurebahkan kepalaku di pundaknya. Kamipun terus turun di keheningan Rinjani. 

"Maaf ya mbak, sementara ditenda tim saya dulu. Saya ngga tahu tenda nya mbak yang mana. Nanti kalau teman-temannya sudah turun, baru saya anter ke tendanya mbak ya. Tenang aja, saya ngga ada niat macem-macem kok" jelasnya panjang lebar berusaha menenangkanku yang masih menggigil.

Lantas ia membungkusku dengan sleeping bag. Dia juga membuatkan air hangat dan meminumkannya berkali-kali sambil mengusap-usapkan tangannya ke tanganku.

"Maaf ya pinjem dulu tangannya" katanya sambil terus mengusap jari jemariku.

'Minta maaf mulu nih orang, selow aja kali..' batinku. Ingin rasanya aku bilang seperti itu ke dia, tapi akhirnya aku hanya mengangguk lemah. beberapa menit berikutnya, perlahan kondisiku mulai stabil dan suhu tubuhku terasa mulai hangat kembali.

"Udah mendingan? Saya tinggal kedepan bikin perapian sebentar ya" tanyanya ramah beberapa saat setelah merawatku. 

Aku mengangguk, kali ini kusertai dengan sebuah senyuman. Dia kemudian berinisiatif membuat perapian kecil untuk sekedar menghangatkan lingkungan sekitar tenda. Kondisi badanku kini sudah semakin baik. Setelah kurasa tenagaku kembali pulih dan tidak semenggigil tadi, aku bangun dan mengeluarkan kepalaku keluar tenda. 

"Eh mbak, kenapa keluar? Diluar dingin. Dalem aja. Bentar saya lagi bikin susu, nanti diminum ya"

"I'm fine.." jawabku singkat. Seingatku itu kalimat pertama yang kuucapkan sejak pertemuan kami tadi. Dia pun tersenyum. 

Setelah perapian jadi dan susu hangat pun siap, dia kembali masuk ke dalam tenda dan memberikan susu itu padaku. 

"Makasih ya mas. Maaf saya jadi ngerepotin. Karena saya, mas jadi gagal muncak kan.." kataku berterimakasih msih dengan suara yang bergetar.

"Oh.. santai. Saya udah pernah muncak kok disini" jawabnya ringan. 

"Oh ia, Jani" kataku singkat sambil mengulurkan tanganku. 

" Rama" jawabnya sambil menerima uluran tanganku. 

Menit-menit berikutnya kami habiskan untuk mengobrol didepan perapian yang tadi dibuatnya. Dia bertanya kenapa aku bisa sendirian disana, kemana teman-temanku dan lain-lain. Aku bilang kalau pacarku dan teman-temannya memutuskan untuk terus lamjut summit dan meninggalkan aku di jalur pendakian. 

Itulah awal pertemuanku dengan Rama. Sebuah pertemuan yang penuh kesan yang sudah diaitur semesta. Kini, aku dan Rama akan kembali mendaki gunung dimana pertama kali kami bertemu. Untuk membalas remediku sekaligus melakukan misi lain yang tidak aku jelaskan ke Rama. 


Lombok - Seminggu kemudian

Kami berdua mendarat di Lombok. Kami berjalan ke pintu keluar dan disambut oleh kenalan Rama. Rama langsung memeluk keduanya dan memperkenalkanku pada mereka. Bang Yon dan Lale Nonik.

Kata Rama, Bang Yon dan Lale Nonik adalah warga asli Lombok yang dari dulu selalu support dia setiap kali berkunjung ke Lombok. Rama bilang, dia mengenal keduanya saat pendakian pertamanya ke Rinjani beberapa tahun sebelum pertemuan pertama kami yang tadi aku ceritakan. 

Keduanya berumur sekitar empat tahun lebih tua dariku. Namun Lale Nonik menolak ketika kupanggil dia dengan sebutan kakak. "Lale saja" katanya. Kalau Bang Yon, sebenarnya aku sudah mengenalnya. Karena dia juga ada di pendakian Rinjani saat Rama menolongku waktu itu. Orang inilah yang Rama hubungi ketika menggendongku turun. 

Tujuan pertama kami, sesuai dengan permintaan Rama, adalah makan plecing kangkung Taliwang. Kata Rama, ini sudah menjadi SOP baginya setiap kali berkunjung ke Lombok. Dan tidak boleh dilewatkan.

"Yaudah, yuk. Itu pacarmu suka plecing kangkung juga tah?" ajakBang Yon ke Rama sambil menunjukku dengan dagunya. 

"Pacaarr???" sahutku dan Rama hampir bebarengan dengan mimik wajah yang seolah jijik satu sama lain. Bang Yon dan Lale Nonik tersenyum melihat kami. 

Singkat cerita, kami tiba di salah satu restoran legendaris di Cakranegara, Mataram. Sambil menikmati ayam Taliwang dan plecing kangkung, kami ngobrol banyak seputar rencana pendakian dan kenapa Rama tidak jadi naik ke Kerinci padaha sudh memiliki persiapan sejak jauh-jauh hari.

Ditengah obrolan, Rama berkata pada Lale. 

"Bandara Lombok sekarang keren ya. Ada tari-tarian buat nyambut tamu gitu" katanya sambil terus menyuap nasi.

"Tarian yang mana dek? Tidak ada ah.." jawab Lale ragu.

"Loh tadi Rama liat kok waktu kita jalan ke mobil. Ada penari pake baju adat kaya permaisuri gitu" jelas Rama dengan yakin. 

Deg! Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Penari? Baju adat? Permaisuri" Apa yang Rama maksud itu sama dengan sosok yang menghantuiku di pendakian pertamaku waktu itu?


BERSAMBUNG

Komentar

Postingan Populer