Firasat Kematian Gita

 Dua minggu lagi, tepat setahun kematian Hana. Gadis itu jatuh dan ditemukan dalam keadaan meninggal, pada pendakiannya di Gunung Gede. Namun bagi Gita kenangan tragis kematian sahabatnya itu akan tetap membekas dalam. Membuat Gita tak pernah lagi mau mendaki. Dilema di hadapinya, ketika teman-teman dekatnya kembali mengajaknya mendaki. 

"Sorry, aku ngga bisa ikut:, jawab Gita dengan wajah muram.

"Sampai kapan kamu akan seperti ini?", Agung menatap wajah temannya itu lurus-lurus. 

"Entahlah, kenangan itu seperti slide yang terus muncul dikepalaku"

Hasbi datang dan bergabung. Memanggil pelayan kantin dan meminta semangkuk mie ayam dan es teh.

"Kalian naik saja berempat", lanjut Gita seraya menatap Agung dan Hasbi bergantian.

"Aku ngga jadi naik kalau kamu ngga ikut", jawab Hasbi.

"Sama, aku juga", lanjut Agung.

"Plis, jangan jadikan semua menjadi rumit", tepat saat Gita merampungkan kalimatnya, Erwin dan Nindy memasuki kantin. Mereka bergabung di meja Gita.

"Jadi gimana, Git, kali ini kamu ikut kan?", tanya Erwin, cowok jangkung dengan tinggi 180 cm dan termasuk dalam deretan mahasiswa yang di idolakan cewek-cewek. Erwin cowok yang populer di jurusan teknik sipil juga di kelompok pecinta alam. Dia cerdas, ramah dan tampan. 

"Sorry, Win, aku ngga bisa ikut", jawab Gita.

"Pliisssss!", Erwin menangkupkan kedua tangannya, matanya memohon. "Kita bisa mengenang Hana di tempatnya terakhir kali dia meninggalkan kita".

Gita tertegun, menatap kedua mata elang Erwin. Kalimat 'mengenang Hana' membuat dirinya masuk kedalam pusaran kerinduan akan sosok Hana. Gita dengan cepat mengubah keputusannya. "Ok.. aku ikut", katanya yang segera disambut dengan riang oleh yang lain.

Erwin, Nindy dan Agung berpamitan, kini tinggal Hasbi dan Gita. Hasi belum selesai menghabiskan mie ayamnya.

"Has, aku masih ngga habis pikir, kenapa Hana bisa jatuh. Darah pendaki sudah mengalir di tubuhnya sejak dia lahir. Kedua orang tuanya pendaku hebat dan Hana telah mahir mendaki sejak dia SMP", buka Gita.

"Git, kamu percaya kan sama takdir?"

"Iya sih, tapi.."

"Sudahlah. Tugas kita sekarang adalah mendoakannya. Supaya dia tenang di alamnya".

Gita mengangguk, melihat Erwin dan Nindy jalan berdua melalui jendela kantin yang terbuka. Hasbi mengikuti arah pandangan Gita.

"Aku masih ngga rela tempat Hana di sisi Erwin di gantikan Nindy", lanjut Gita

"Itu karena kamu belum move on, sedangkan Erwin sudah", jawab Hasbi seraya meneguk minumannya sampai tandas. "Atau mungkin karena bukan dirimu yang menggantikannya?", lanjut Hasbi sambil ngeloyor ke kasir.

"Gimana maksudmu?", Gita membelalakkan mata lalu segera menyusul Hasbi.

Selesai membayar Hasbi dan Gita berjalan keluar kantin. 

"Apa maksudmu tadi?', Gita mendesak Hasbi

"Udah, lupain aja..",

"Ngga bisa!", Gita mencengkeram tangan Hasbi, cowok kerempeng berkacamata minus. "Jelasin dulu!".

"Pikirkan sendiri, Git..", Hasbi melangkah menuju parkiran. Gita mematung ditempatnya berdiri. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menikam dadanya.

*****

Gita melihat Erwin berjalan paling depan. Disebelahnya ada Nindy. Hasbi ditengah, sedangkan di barisan belakang ada dia dan Agung. 

"Gung, kali ini ngga ada burung penunjuk jalan yang memandu kita"

"Aku dan Erwin sudah dua kali kesini, sudah ngga perlu lagi penunjuk jalan"

Senja sudah menua. Hujan tiba-tiba turun dengan rintik. Angin kencang datang meniup pepohonan hingga meliuk-liuk. Gita mencengkeram tangan Agung kuat-kuat. Ada desir ketakutan yang tiba-tiba menghantui. Semacam firasat akan datangnya mara bahaya. Entah bagaimana kejadiannya tiba-tiba Gita melihat Erwin yang berjalan sekitar sepuluh meter di depannya tergelincir dan jatuh ke jurang. Teriakannya membuat Gita turut histeris.

Sebuah tangan mengguncang-guncangkan tubuh Gita. Gadis itu tersentak dari tidur. Dadanya berdebar kencang. Peluhnya bercucuran. Mimpinya barusan sungguh menakutkan. Namun, mimpi itu terlihat sangat jelas, seakan nyata. 

"Mimpi apa, nak? sampai teriak-teriak gitu", tanya mama Gita yang duduk di tepi ranjang. 

"Entahlah, ma, mimpi ngga jelas. Gita ngga ingat", jawab Gita berbohong. Sejak turun dari Gunung Gede setahun yang lalu, Gita sering mendapatkan firasat melalui mimpi. Namun, ia belum pernah menceritakan hal itu kepada siapapun. Selama ini gadis berkulit kuning langsat itu sering mengabaikannya.  Ketika kejadian itu menjadi kenyataan, timbul lah penyesalan dalam dirinya. Seharusnya dia bis amencegah hal itu dengan mengatakannya. Dan kini, mimpi buruk itu tentang Erwin. Gita ingin sekali memberitahu tentang mimpinya itu, namun, ia takut akhirnya hanya akan ditertawakan teman-temannya. 

Siang harinya, saat Gita berkumpul dengan gengnya, dengan berat hati ia menceritkan tentang mimpinya. 

"Hello anak freak, hari gini masih percaya mimpi?", sindir Nindy. Entah mengapa Gita merasa sedikit emosi mendengar sindiran itu. 

"Ayolah, kumohon sekali ini aja turuti omonganku. Batalin pendakian kali ini.."

"Sudahlah, Git, jangan ngomong yang ngga-ngga", lanjut Erwin. "Semua persiapan susah matang, termasuk perijinan.  Aku sudah lama daftarin semua nama kita dari online. Jangan bertingkah konyol dengan mempercayai mimpi itu. Mimpi itu bunga tidur, ok?"

Gita terdiam. Sulit baginya untuk meyakinkan teman-temannya. Bahkan dia juga pada awalnya sulit meyakinkan dirinya sendiri. Gadis berambut sebahu itu menyerah. 

"Baiklah kalau gitu. Kita lanjutkan rencana. Sekarang aku mau pulang duluan", Gita melangkah pergi menuju tempat motornya diparkir. Pandangan mata teman-temannya mengikuti hingga gadis itu menghilang di balik perpustakaan. 

"Heran, perasaan kemarin dia masih jadi mahasiswi teknik sipil. Kenapa sekarang jadi cenayang ya?", Agung garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Hasbi dan Erwi tertawa, sedangkan Nindy hanya tersenyum sinis.

*****

Pada hari yang ditentukan, Gita dan teman-temannya berangkat menuju ke Gunung Gede. Setelah berkendara dengan mobil selama tiga jam, akhirnya mereka sampai di base camp. Mereka melewati semua prosedur yang ada, hingga saat waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi, mereka mulai berjalan meninggalkan base camp. Melewati pos penjagaan dan terus berjalan melalui rute yang pernah mereka lalui sebelumnya. Berbeda dengan perjalanan pendakian tahun lalu, ketika Hana yang ceria masih bersama, suasana pendakian kali ini terasa sepi. Tak ada candaan Hana yang spontan dan membuat suasana diantara mereka hidup.

Gita melihat kedepan. Erwin dan Nindy berjalan berdampingan, cukup mesra. Diantara kelima orang tersebut, hanya Nindy yang kuliah di jurusan yang berbeda, dia adalah mahasiswi jurusan sastra Inggris. Gadis itu memiliki bentuk tubuh yang sempurna, hampir sama dengan Hana, begitu pula kecantikannya. Namun, Nindy lebih feminin.

Kini, rombongan itu melewati perkebunan kubis dan seledri. Mereka sempat ber selfie dengan latar belakang kebun itu. Beberapa foto diambil, dan mereka melanjutkan perjalanan. Hasbi berhenti sejenak, membuat Agung dan Gita ikut berhanti. Mereka melihat wajah Hasbi yang nampak berbeda. Ada ketegangan di wajahnya.

"Ada apa?", Agung memandang Hasbi lekat. 

Hasbi menggeleng, seperti berusaha menyembunyikan sesuatu. Sekilas Gita melihat bibirnya komat-kamit. Mungkin berdoa. Karena memang Hasbi adalah yang paling religius diantara kelimanya. Gita menghela nafas panjang. Hatinya sejenak merasa tenang. mereka segera menyusul Erwin dan Nindy yang sudah cukup jauh. 

"Capek ngga, Git?", tanya Agung.

"Belum terlalu. Meskipu setahun absen manjat, aku masih rajin kok ke gym. Jangan khawatirkan badanku, khawatirkan jiwaku".

"Kenapa lagi?"

"Belum ada burung yang memandu kita"

"Itu kan cuma mitos, Git. Sudahlah berdoa aja kaya Hasbi"

Gita mengangguk.

Area perkebunan kubis dan seledri telah terlewati, kini mereka sampai di pos 1. Mereka berhenti sebentar kemudian melanjutkan perjalanan. Kali ini terlihat akar-akar besar yang menyembul keatas tanah dan mereka harus berhati-hati supaya tidak tersandung. Gita tiba-tiba merasakan bulu kuduknya berinding. Ada sekelebat bayangan yang mengikuti mereka. Ketika dia menengok, dia tak melihat siapapun di sana. 

"Kenapa, Git?', tanya Hasbi.

"Kamu ngerasa ngga, ada yang mengikuti kita?"

"Iya, aku kerasa. Mulai dari pos penjagaan"

"Kasih tahu tuh si Erwin, biar hati-hati"

"Win, berhenti dulu!", teriak Agung. Cowok bermata elang itu menoleh dan menghentikan langkahnya.

"Ada apa, sih?"

"Lebih baik ita hati-hati, ada sesuatu yang terasa mengikuti kita"

"Sesuatu? Maksudnya hantu?"

"Ssttt, jangan vulgar gitu dong ngomongnya. Jaga sopan santun kek. Semua tempat itu ada penghuninya, mau kasat mata atau ngga", jawab Gita. 

"Kamu mau nakutin aku dengan mimpi kamu yang aneh itu?"

"Gita bukan manu nakutin, ngga ada salahnya kan, kalau kita berlaku sopan", sergah Agung.

"Serah kamu aja. Ayo lanjut,  biar cepat sampai Surya Kencana", Nindy memberi kode dengan tangan agar semua kembali berjalan. 

Mereka kini telah melalui pos 2 dan jalan mulai menanjak dengan kemiringan yang cukup tajam. Banyak kerikil di jalur antara pos 2 dan pos 3 hingga bisa membuat pendaki merosot karena tergelincir kerikil. Mereka harus ekstra hati-hati melewatinya. Dari pos 3 ke pos 4 ada tiga pos bayangan. Setelah beberapa lama melewati pos 4, jalanan mulai landai, banyak batu-batu besar disana. 

Kini mereka sampai di Surya Kencana. Sebuah padang sabana yang indah, berhiaskan bunga edelweis. Gita menghempaskan ranselnya ke tanah, kemudian duduk dihamparan rumput, menatap puncak Gede yang akan mereka daki besok.

Hasbi, Erwin dan Agung mendirikan tenda, sementara Gita dan Nindy memasak. Sebenarnya Gita lebih memilih untuk mendirikan tenda saja, karena dia benci memasak dan dia benci Nindy. Meski kenyataan 'dia benci Nindy' selalu berusaha di tepisnya. 

Di ufuk barat langit telah menggoreskan warna jingga yang indah. Gita memandang dengan tatapan nanar. Senja dan hujan selalu mengingatkannya akan sosok Hana. 

"Hai, apakah kamu penyuka kopi dan senja?", Agung menggoda sembari menyodorkan secangkir kopi. 

"Gombal!", Gita tertawa kecil sambil meraih cangkir yang diulurkan Agung. 

"Aku kangen Hana"

"Aku tahu"

"Mungkin saat ini dia bersama kita"

"Mungkin saja"

"Percayakan kamu akan sebuah kebetulan?"

"Entahlah"

"Kalau aku ngga percaya. Semua yang terjadi pada hidup kita itu seperti puzzle yang ditata. Pada saatnya kepingan-kepingan itu akan saling menggenapi dan membentuk sebuah gambar"

"Berat banget mata kuliah yang harus aku dengar kali ini"

Gita tertawa sambil meninju lengan Agung. Di kejauhan, Erwin memandang kejadian itu dengan kilat mata entah apa.

Tiba-tiba dari dalam tenda terdengar teriakan Nindy. Semua segera berhambur mendekat. Gadis itu meracau tak jelas. Matanya merah dan terlihat marah. Dia kesurupan. Hasbi segera mambacakan doa. Nindy terus meracau hingga membuat bulu kuduk Gita meremang. Selesai mengucap doa, Hasbi meletakkan telapak tangannya di dahi Nindy yang membuat keduanya terpental kebelakang. Hasbi segera bangun, tapi Nindy terkulai lemas. Perlahan matanya mengerjap dan membuka..

"Apa yang terjadi?", tanyanya lemah.

"Kamu kesurupan"

Nindy berusaha duduk dengan susah payah. Rambutnya berantakan, tapi dia masih terlihat cantik. Tiga laki-laki yang ada dihadapannya mengagumi kecantikan itu. Gita mengambilkan Nindy air putih.

"Minumlah..", kata Gita seraya mengulurkan cangkir plastik yang dipegangnya. 

Malam mulai turun. Mereka duduk di luar tenda, memandang langit yang tampak sangat cerah malam itu. Bulan berbentuk bulat sempurna, menandakan tengah purnama.

Tak berapa lama, Nindy dan Gita masuk kedalam tenda. Keduanya sepakat untuk tidur lebih awal. Badan Gita terasa pegal-pegal karena sudah lama sekali ia tidak mendaki, meskipun ia termasuk rajin olahraga. Sedangkan Nindy, masih terasa lemas setelah kesurupan tadi. Tak lama, mereka berdua jatuh tertidur. Dan lagi-lagi, Gita bermimpi tentang Hana. 

"Kamu tahu, apa yang membuat aku bahagia?", tanya Hana

"Apa?"

"Ketika aku ketemu Erwin"

"Hmm.. tahulah...", Gita tertawa. "Lalu apa yang membuatmu paling sedih?"

"Erwin..", Hana berjalan menjauh, Gita mencoba untuk mengejarnya.

"Hana! Hanaaa!!!", teriak Gita yang terdengar di telingan teman-temannya yang masih mengobrol di luar.

Ketiga teman cowok Gita segera menghampiri dan membangunkannya. 

"Kenapa teriak-teriak, Git?", tanya Agung

"Aku mimpi ketemu Hana", Gita menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit. 

"Mungkin dia tahu kalau kamu kangen", lanjut Erwin. Gita mengangguk pelan, 

"Sudah, kalian keluar. Aku ngga apa-apa.."

Setelah ketiga teman cowoknya keluar tenda, Gita kembali merebahkan tubuhnya. Dengan cepat ia kembali tertidur, mungkin karena gadis itu memang benar-benar kelelahan.

Gita kembali bermimpi, kali ini tentang Erwin. Cowok itu hendak mendorong tubuh Nindy ke jurang, namun justru Erwin lah yang terjatuh. Sontak Gita terbangun. Gita terbangun ditengah malam dalam keadaan ketakutan. Keringatnya bercucuran meski malam itu sangat dingin. Apa arti semua ini? Desisnya dalam hati. 

*****

Pagi ini setelah sarapan, mereka melanjutkan perjalanan ke puncak. Tak kurang dua puluh menit berjalan mereka pun sampai di puncak. Gita merentangkan kedua tangannya, menghadang angin yang bertiup. 

"Jadi, tanpa burung itu, kita sampai disini, tidak tersesat", Agung melirik Gita. Gadis itu hanya tersenyum kecut. Seandainya dia juga menceritakan mimpinya tadi malam, pasti itu akan menjadi bahan olokan yang empuk. 

Tiba-tiba wajah Hasbi terlihat menegang. Gita pun merasakan kehadiran sosok tak kasat mata di antara mereka. Jantungnya berdebar kencang, sementara Nindy mengeluh, "Badanku terasa berat, tengkuk ku kaku.."

"Kamu sakit?", tanya Gita

"Iya, aku sakit!", Gita terkejut mendengar jawaban Nindy. Itu bukan suara Nindy, itu Hana!

"Hana, itu kamu?", tanya Gita yang membuat temannya yang lain langsung berpaling ke arahnya. 

"Gita, kamu kenapa?", tanya Hasbi yang bergegas mendekat. 

"Hasbi, Hana ada di tubuh Nindy"

Hasbi dan yang lainnya terpana, menatap Nindy yang tengah kemasukan. 

"Gita maafin aku, tapi kamu harus tahu siapa cowok yang kamu cintai", Nindy berkata dengan suara Hana.

"Maksud kamu apa?"

"Erwin bukan laki-laki baik seperti yang kamu kira. Dia yang mendorongku ke jurang waktu itu"

"Tidak! Itu bohong!!", teriak Erwin.

"Itu benar. Karena.. karena..", terdengar suara Hana terisak. 

"Kenapa Han?", Gita mengguncang-guncangkan tubuh Nindy.

"Karena dia tidak mau bertanggung jawab atas janin yang ku kandung".

"Apa?!", sontak Agung, Hasbi dan Gita terkejut.

"Jadi, kamu?!", Gita mendekati Erwin. Bibirnya bergetar, dan air matanya mulai mengalir di pipi

"Benar itu Win?", tanya Hasbi yang biasanya bicara sangat kalem. "Tak kusangka kau berbuat sekeji itu!"

"Dasar kampungan!", seru Agung dengan tatapan menyala.

Nindy semakin mendekati Erwin dengan kedua tangan terulur, bersiap mencengkeram. Erwin menjauh, berjalan mundur. "Dasar cewek sialan! Sudah mati juga masih bikin repot!"

Hana dalam tubuh Nindy tertawa. Suaranya melengking, membuat buku kuduk merinding. "Gita, dengar, cowok ini akan mencelakakan Nindy. Sama seperti saat dia mencelakai ku!"

"Apa?!", Gita terpana. Sementara Nindy yang dirasuki arwah Hana mulai menyerang Erwin. Mereka bergulat dengan cukup keras. Erwin berhasil meloloskan diri dan berlari. Namun dia kurang hati-hati sehingga kakinya terperosok dan jatuh ke jurang.  Lengkingan teriakannya sama persis seperti yang ada di dalam mimpi Gita. Gadis itu terhenyak, berdiri mematung. Ada kesedihan dan rasa sakit yang bercampur didalam hatinya. Kini dia telah kehilangan sahabat dan juga kehilangan orang yang diam-diam dicintainya. Agung mendekat dan merangkul pundaknya. Agung tak berkata apa-apa, karena dia tahu Gita hanya butuh pundak untuk menangis.

Sementara Hasbi berlari kearah Nindy yang tiba-tiba terjatuh.

"Nindy", Hasbi menepuk-nepuk pipi Nindy.

"Aku pusing"

"Kamu habis kesurupan"

Nindy berusaha duduk dan melihat sekeliling, "Mana Erwin?"

"Dia jatuh, tadi kamu mengejarnya"

"Jadi, Erwin..", Nindy berusaha berdiri dengan sempoyongan dan air mata yang berderai. "Ayo kita turun dan minta pertolongan.."

Hasbi mengangguk. "Agung kamu turun sama Gita minta bantuan. Aku disini nunggu Nindy sampai dia pulih".

"Biar aku saja yang menemani Nindy", kata Gita.

"Baiklah!", Hasbi dan Agung turun. Sekarang tinggal Gita dan Nindy duduk terdiam dengan pikiran masing-masing. Gita menoleh ketika mendengar isak tangis Nindy. 

"Jadi.. kamu sedang hamil?", tanya Gita dengan suara serak.

Nindy mengangguk. Tangisnya semakin keras. Gita memeluknya dengan duka yang tak kalah dalam. Kebencian dan cinta itu seperti dua sisi mata uang. 

Berbeda, tapi sangat dekat..


Komentar

Postingan Populer