Tragedi Andes - I Had To Survive (Part 1)
“Terima kasih”, kata Platero.
Tiba-tiba kurasakan dingin yang
terlalu. Disini aku menyadari, disekeliling kami hanyalah salju dan es. Aku
meilhat kapten rugby kami, Marcelo Perez, diikuti oleh beberapa orang lain
tampak sedang membantu seorang survivor. Kami lalu coba membersihkan kabin
pesawat dari besi-besi tajam bekas kursi penumpang juga dari barang-barang
lain. Sementara Gustavo, Daniel Fernandez dan Moncho Sabella mencoba berbicara
kepada co-pilot yang ternyata masih hidup walau mengalami disorientasi.
Tuhan, aku lelah sekali. Mengapa
susah sekali untuk bernafas?
Aku menatap kebagian belakang
pesawat. Diluar sana bagaikan dunia lain, hanya tampak putih dimana-mana. Untuk
kami yang seumur hidup belum pernah melihat salju, dunia diluar sana tampak
mencekam.
Sebenarnya dimana kami? Apa
mungkin pesawat jatuh di tengah-tengah pegunungan Andes? Bagaimana mungkin
pesawat yang penuh dengan bahan bakar tidak meledak saat jatuh dan akhirnya
terbelah?
Lalu kumelihat teman baikku,
Bobby francois, tampak sedang duduk didatas koper dihamparan salju, kepalanya
berputar melihat ke sekeliling. Dia lalu berkata padaku, “Kita mampus”.
Datanglah malam. Dalam sekejap
semuanya berubah menjadi gelap gulita. Kami berdempet-dempetan di kabin. Untuk
penerangan, kami menyalakan korek api. Ada rasa khawatir karena kami bisa
mencium bau bahan bakar pesawat di sana sini.
Udara diketinggian ini terasa
sangat tipis. Membuatku cepat kelelahan. Aku memilih tempat dipojok agak
menjauh orang-orang yang terluka, tubuh yang termutilasi dan mayat-mayat
temanku. Kulihat tanganku penuh dengan darah.
Jaring pembatas kompartemen
dengan dek penumpang, diatur sedemikian rupa, digantung kanan kirinya ke tiang
aluminium dan berfungsi menjadi hammock untuk satu orang. Ide brilian ini
dilakukan oleh orang yang baru dipesawat ini kukenal, Coche Inciarte.
Didalam kegelapan, tubuh kami
saling menumpuk untuk membantu melawan dingin, dan mencoba untuk tidur. Aku
memejamkan mata dan berpikir betapa sialnya aku. Tapi mengingat teman-teman yang
kehilangan nyawanya hari ini, aku malu sudah berpikir begitu.
Malam pertama itu terasa sangat
panjang. Aku terbangun karena mimpi buruk. Seluruh kabin tampak membeku. Apapun
benda yang kami buat sebagai blokade ditempat pesawat terbelah tampak menjadi
es. Erangan-erangan kesakitan terdengar dimana-mana. Cahaya matahari pagi yang
kami tunggu seakan tidak pernah datang. Kurasa diantara kami tidak ada yang
sanggup tidur. Seluruh tubuh kami menggigil berusaha melawan dingin. Aku
terkejut ketika melihat jam. Ternyata baru jam Sembilan malam. Entah apa kami
masih hidup hingga esok.
Lalu cahaya pagi yang mendung
akhirnya menyentuh pesawat kami yang sudah babak belur. Lalu kulihat Coche
Inciarte menatapku, tampak bingung, seolah-olah ia melihat hantu. Malam yang
kelewat dingin itu rupanya telah membuat kami tampak tua hanya dalam hitungan
jam.
Badan pesawat tampak terbaring
miring, sementara jendela pesawat disisi lain menghadap ke langit. Nampaknya
pesawat sudah patah sebelum menubruk ke tanah. Kabel-kabel Nampak lepas dan
tergantung dilangit-langit pesawat.
Aku lalu keluar dan langsung
melihat pemandangan yang mencekam. Pegunungan salju mengurung kami bagaikan
sebuah amphitheater raksasa berbentuk “U” yang terbuka di bagian barat. Disitu aku langsung merasa ingin menangis.
Pagi itu aku berdua dengan
Gustavo Zerbino. Beberapa teman yang terluka akhirnya meninggal tadi malam.
Beberapa, seperti Enrique Platero keadaannya masih stabil. Tapi Susanna, adik
perempuan Nando Parrado keadaannya tampak semakin buruk. Nando sendiri sedang
diambang kematian, dia koma.
Yang pertama kali kami lakukan
adalah memindahkan tubuh-tubuh yang sudah meninggal dari kabin dan
meletakkannya disalju.
Berbeda dari hari sebelumnya,
ketika salju disekeliling kami terasa lembut (Carlos Valeta yang salah
menginjak salju hingga terbenam sebatas leher), hari ini keras dan membeku.
Disekeliling kami diantara salju, mencuat batu-batu hitam bergerigi juga puing-puing
pesawat yang tercecer.
Beberapa mayat sudah sedemikian
kakunya hingga terasa berat. Kadang dibutuhkan hingga tiga orang untuk menarik
tubuh keluar satu tubuh membeku ini. Saat ini yang bisa kami lakukan hanyalah
mengobati yang terluka sambil menunggu pertolongan akan tiba tak lama lagi.
Harapan itu membuat kami tenang.
Sebelum akhirnya meninggal,
co-pilot, Dante Lagurara, sempat mengatakan kami baru saja melewati Curico dan
kemungkinan kami sekarang berada di kaki gunung yang masuk wilayah Chili.
Altimeter dipesawat itu menunjukkan angka 7000 kaki. Dikemudian hari barulah
kita akhirnya mengetahui, semua informasi itu salah.
Marcelo Perez membentuk sebuah
kelompok untuk mengumpulkan makanan dan barang apapun yang berguna yang dapat
ditemukan. Tapi hanya sedikit makanan yang berhasil ditemukan. Barang makanan
dan minuman yang berhasil ditemukan dijatahkan dengan sama rata. Saat itu tidak
ada perselisihan sama sekali tentang pembagian jatah makanan dan minuman.
Disini kami harus berusaha untuk
tetap tenang. Jika panik, kami mati. Apapun rasa sakit, sedih dan menyesal kami
simpan untuk diri sendiri. Semua orang tampak lesu, mungkin karena efek dari
ketinggian. Kami terus mengatakan pada diri sendiri, yang terburuk sudah lewat.
Kita harus tetap positif agar bisa terus mengobati yang terluka, dan terus memberi
mereka harapan. Mereka sekarang menjadi tanggung jawab kita.
Marcelo dan kelompoknya mengatur
bagasi kosong yang kami temukan menjadi bentuk salib raksasa, berharap
penyelamat kami bisa melihatnya dari atas. Kami juga membuat tanda S.O.S di
salju.
Tapi kenyataan yang ada jauh
diluar harapan. Tidak ada yang datang menyelamatkan kami. Lalu malam datang
lagi, kami kembali kedalam kabin pesawat, berharap dinginnya malam ini tidak
sebrutal malam yang lalu.
Pagi berikutnya dengan jelas kami
mendengar suara pesawat melintas tepat diatas kepala kami. Tidak lama
setelahnya, pesawat lain juga melintas, hanya lebih tinggi dari yang pertama.
Setiap dari kami berani bersumpah, kami melihat salah satu dari pesawat itu
memiringkan sayapnya, tanda kalau mereka melihat kami. Kami sangat gembira,
pertolongan akan segera datang. Kami sangat yakin. Satu jam kemudian sebuah
pesawat bermesin ganda juga terdengar.
Kami percaya pesawat itu dikirim untuk memastikan koordinat kami, para
survivor.
Kami berlarian kesana kemari,
berteriak dan menangis karena kami akan segera diselamatkan. Dalam euphoria itu
perhatian kami sekarang terfokus bagaimana menjelaskan kemapa keluarga, teman
kami yang sudah meninggal tentang apa yang terjadi. Tidak ada firasat
sedikitpun bahwa setengah dari kami akan segera menyusul mereka ke alam baka.
Komentar
Posting Komentar