Tragedi Andes - I Had To Survive (Part 1)

 Dimanakah batas antara hidup dan mati?

Melalui layar ultrasonografi aku mempelajari detak jantung seorang bayi yang akan lahir. Kuhabiskan waktu memperhatikan tangan dan kaki kecil itu dimonitor. Entah bagaimana tapi aku merasakan semacam komunikasi walau hanya lewat layar. Aku sangat bersemangat karena sebuah kehidupan sebentar lagi akan hadir diantara kami. Semuanya tergantung kemampuan jantung kecil ini untuk bertahan hidup.

Sesaat aku menatap layar ultrasonografi, saat berikutnya seakan aku menatap ke jendela pesawat yang buram, memperhatikan cakrawala untuk melihat apakah teman-temanku akan kembali dalam keadaan masih hidup saat percobaan mendaki gunung salju untuk mecari pertolongan. Setelah berhasil selamat dari kecelakaan pesawat yang jatuh di pegunungan Andes pada 22 Desember 1972, setelah dinyatakan hilang selama dua bulan, aku selalu mempertanyakan pada diri sendiri berbagai pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang kerap kali muncul: apakah yang harus aku lakukan ketika semua peluang untuk selamat nyaris nol?

Aku menoleh ke seorang ibu hamil, yang sedang berbaring di kereta dorong di lantai dua rumah sakit Italiano di Montevideo, Uruguay. Bagaimana cara terbaik mengatakan padanya bahwa anak yang sedang berkembang dalam rahimnya tumbuh dengan kelainan pada jantungnya? Hingga beberapa tahun lalu, anak yang baru lahir dengan kelainan jantung seperti ini, tidak akan berumur panjang. 

Kehadirannya yang singkat didunia hanya menyisakan trauma pada keluarga yang ditinggalkan. Tapi ibu muda ini beruntung, dunia kedokteran mengalami banyak perkembangan beberapa tahun belakangan. Dan ibu ini, Azucena, memiliki sedikit harapan. Namun akan ada perjalanan yang panjang dan berat bagi ibu dan anak ini., juga untuk suaminya dan dua anak lainnya. Sebuah perjalanan yang berbahaya dan belum dipetakan, seperti perjalanan yang aku lalui di Andes.

Aku dan teman-temanku cukup beruntung ketika akhirnya keluar dari pegunungan itu dan mencapai lembah hijau Los Maitenes. Disitulah aku mencoba memimpin mereka menuju lembah hijau mereka sendiri, meskipun aku mengetahui bahwa tidak semua dari mereka akan selamat dalam perjalanan. Itu juga yang menjadi dilemaku sebagai seorang dokter. 

Aku menemukan diriku terombang-ambing antara hidup dan mati saat aku melihat bayi ini, yang diberi nama oleh ibunya, Maria del Rosario. Dia hidup tenang sekarang, tersambung pada placenta ibunya di dalam rahim. Tapi bagaimana nanti? Apakah aku harus melakukan operasi marathon yang panjang hingga dia punya kesempatan hidup? Dan apakah itu setara dengan resiko juga biayanya? Aku kadang selalu merasa kewalahan dengan banyaknya kemiripan dengan kisahku.

Ketika kami akhirnya meninggalkan badan pesawat untuk melakukan perjalanan melintasi puncak dan jurang menuju lembah itu di Chili, kami menjumpai tanah tak bertuan yang sangat luas. Ketika memikirkannya lagi, rasanya mustahil untuk tetap bertahan hidup di cuaca yang sedemikian ekstrem. Minus tiga puluh derajat celcius, tanpa peralatan apapun dan tubuh yang telah kehilangan berat hampir tujuh puluh pound. 

Semua orang mengatakan tidak mungkin untuk melakukan perjalanan lebih dari lima puluh mil dari timur ke barat menyeberangi Andes, karena ringkihnya tubuh kita tidak dirancang untuk kerasnya medan Andes. 

Kami bisa saja memilih untuk tetap berada didalam badan pesawat itu, aman, sampai tiba saatnya kami kehabisan bahan makanan, dan satu-satunya sumber makanan yang tersisa hanyalah tubuh-tubuh tak bernyawa teman-teman kami. Sama seperti bayi yang mendapatkan makanan dari ibunya, kami pun bisa melaluinya berkat teman-teman kami.

Haruskan kita diam atau haruskah kita pergi? Tetap meringkuk atau maju? Satu-satunya peralatan yang kami miliki hanyalah kantong tidur yang terbuat dari sisa-sisa sistem pemanasan pesawat, yang kami jahit dengan kawat tembaga.

Anak ini, yang masih janin, masih terhubung dengan sumber makanannya, dapat bertahan hidup lebih lama, sama seperti yang kami lakukan di pesawat. Tapi suatu saat, seperti halnya kami, kabelnya akan dipotong jika dia ingin terus hidup, dan mulailah perlombaan dengan waktu. Aku adalah orang terakhir yang memutuskan untuk keluar, dan karena itulah gambaran-gambaran itu kerap kali datang, intens dan menghantui.

Flaco Vasquez yang tadinya duduk diseberangku, menatapku dan meminta bantuan. Ia tampak sangat pucat, bingung dan syok. Sebuah suara berbisik terdengar ditelingaku, seseorang sedang berusaha melepaskan diri dari kursi dan logam yang terpuntir itu. Itu adalah Gustavo Zerbino. Ia menatapku dengan pandangan seolah-olah berkata: kau juga hidup! Tanpa berkata-kata, kami bertanya pada diri sendiri: sekarang bagaimana? Dari mana kami mulai? Tapi Carlitos Paez, teman yang lain, yang juga masih nampak syok, akhirnya berhasil berbicara, "Canessa, ini bencana, bukan?"

Aku melihat disekelilingku, aku menyadari kaki Flaco Vasquez terluka parah, kami harus secepatnya menghentikan pendarahannya. Naluriku segera bergerak. Bukannya tanpa keraguan sama sekali, hanya saja aku menyadari bahwa mereka tidak akan punya banyak waktu lagi jika tidak segera ditolong. Ketika aku mulai bergerak, aku menemukan sesuatu atau lebih tepatnya seseorang. Alvaro Mangino, sedang terbaring dibawah kursinya, terjebak oleh besi yang bengkok. Gustavo mengangkat kursi dan aku menyeret Alvaro keluar. Kaki kananya terjepit dibawah logam, ketika aku berhasil membebaskannya dapat kulihat kakinya patah. 

Kukatakan pada Alvaro untuk berkonsentrasi memikirkan apapun. Baru saja di mengangguk, aku dengan cepat mematahkan kakinya agar lepas dari jepitan logam ini. Air mata mengalir dipipi Alvaro, tapi dia tidak terlalu menggerutu. Kemudia kubungkus kakinya dengan kemeja sobek yang di berikan Gustavo padaku. Sementara hanya itu yang bisa kulakukan padanya.

Kami melanjutkan pencarian diantara puing badan pesawat. Orang berikutnya yang kutemukan adalah Enrique Platero. Dia menunjukkan sepotong logam yang menusuk perutnya, seakan-akan itu perut orang lain. Seberapa dalamnya, kami tidak tahu.Gustavo menyuruhnya berbalik dan dengan cepat mencabut logam itu dari perutnya. Sepotong daging mentah merah ikut tercabut keluar. Potongan daging itu kumasukkan lagi kedalam lukanya, lalu kubalut dengan jersey.

“Terima kasih”, kata Platero.

Tiba-tiba kurasakan dingin yang terlalu. Disini aku menyadari, disekeliling kami hanyalah salju dan es. Aku meilhat kapten rugby kami, Marcelo Perez, diikuti oleh beberapa orang lain tampak sedang membantu seorang survivor. Kami lalu coba membersihkan kabin pesawat dari besi-besi tajam bekas kursi penumpang juga dari barang-barang lain. Sementara Gustavo, Daniel Fernandez dan Moncho Sabella mencoba berbicara kepada co-pilot yang ternyata masih hidup walau mengalami disorientasi.

Tuhan, aku lelah sekali. Mengapa susah sekali untuk bernafas?

Aku menatap kebagian belakang pesawat. Diluar sana bagaikan dunia lain, hanya tampak putih dimana-mana. Untuk kami yang seumur hidup belum pernah melihat salju, dunia diluar sana tampak mencekam.

Sebenarnya dimana kami? Apa mungkin pesawat jatuh di tengah-tengah pegunungan Andes? Bagaimana mungkin pesawat yang penuh dengan bahan bakar tidak meledak saat jatuh dan akhirnya terbelah?

Lalu kumelihat teman baikku, Bobby francois, tampak sedang duduk didatas koper dihamparan salju, kepalanya berputar melihat ke sekeliling. Dia lalu berkata padaku, “Kita mampus”.

Datanglah malam. Dalam sekejap semuanya berubah menjadi gelap gulita. Kami berdempet-dempetan di kabin. Untuk penerangan, kami menyalakan korek api. Ada rasa khawatir karena kami bisa mencium bau bahan bakar pesawat di sana sini.

Udara diketinggian ini terasa sangat tipis. Membuatku cepat kelelahan. Aku memilih tempat dipojok agak menjauh orang-orang yang terluka, tubuh yang termutilasi dan mayat-mayat temanku. Kulihat tanganku penuh dengan darah.

Jaring pembatas kompartemen dengan dek penumpang, diatur sedemikian rupa, digantung kanan kirinya ke tiang aluminium dan berfungsi menjadi hammock untuk satu orang. Ide brilian ini dilakukan oleh orang yang baru dipesawat ini kukenal, Coche Inciarte.

Didalam kegelapan, tubuh kami saling menumpuk untuk membantu melawan dingin, dan mencoba untuk tidur. Aku memejamkan mata dan berpikir betapa sialnya aku. Tapi mengingat teman-teman yang kehilangan nyawanya hari ini, aku malu sudah berpikir begitu.

Malam pertama itu terasa sangat panjang. Aku terbangun karena mimpi buruk. Seluruh kabin tampak membeku. Apapun benda yang kami buat sebagai blokade ditempat pesawat terbelah tampak menjadi es. Erangan-erangan kesakitan terdengar dimana-mana. Cahaya matahari pagi yang kami tunggu seakan tidak pernah datang. Kurasa diantara kami tidak ada yang sanggup tidur. Seluruh tubuh kami menggigil berusaha melawan dingin. Aku terkejut ketika melihat jam. Ternyata baru jam Sembilan malam. Entah apa kami masih hidup hingga esok.

Lalu cahaya pagi yang mendung akhirnya menyentuh pesawat kami yang sudah babak belur. Lalu kulihat Coche Inciarte menatapku, tampak bingung, seolah-olah ia melihat hantu. Malam yang kelewat dingin itu rupanya telah membuat kami tampak tua hanya dalam hitungan jam.

Badan pesawat tampak terbaring miring, sementara jendela pesawat disisi lain menghadap ke langit. Nampaknya pesawat sudah patah sebelum menubruk ke tanah. Kabel-kabel Nampak lepas dan tergantung dilangit-langit pesawat.

Aku lalu keluar dan langsung melihat pemandangan yang mencekam. Pegunungan salju mengurung kami bagaikan sebuah amphitheater raksasa berbentuk “U” yang terbuka di bagian barat.  Disitu aku langsung merasa ingin menangis.

Pagi itu aku berdua dengan Gustavo Zerbino. Beberapa teman yang terluka akhirnya meninggal tadi malam. Beberapa, seperti Enrique Platero keadaannya masih stabil. Tapi Susanna, adik perempuan Nando Parrado keadaannya tampak semakin buruk. Nando sendiri sedang diambang kematian, dia koma.

Yang pertama kali kami lakukan adalah memindahkan tubuh-tubuh yang sudah meninggal dari kabin dan meletakkannya disalju.

Berbeda dari hari sebelumnya, ketika salju disekeliling kami terasa lembut (Carlos Valeta yang salah menginjak salju hingga terbenam sebatas leher), hari ini keras dan membeku. Disekeliling kami diantara salju, mencuat batu-batu hitam bergerigi juga puing-puing pesawat yang tercecer.

Beberapa mayat sudah sedemikian kakunya hingga terasa berat. Kadang dibutuhkan hingga tiga orang untuk menarik tubuh keluar satu tubuh membeku ini. Saat ini yang bisa kami lakukan hanyalah mengobati yang terluka sambil menunggu pertolongan akan tiba tak lama lagi. Harapan itu membuat kami tenang.

Sebelum akhirnya meninggal, co-pilot, Dante Lagurara, sempat mengatakan kami baru saja melewati Curico dan kemungkinan kami sekarang berada di kaki gunung yang masuk wilayah Chili. Altimeter dipesawat itu menunjukkan angka 7000 kaki. Dikemudian hari barulah kita akhirnya mengetahui, semua informasi itu salah.

Marcelo Perez membentuk sebuah kelompok untuk mengumpulkan makanan dan barang apapun yang berguna yang dapat ditemukan. Tapi hanya sedikit makanan yang berhasil ditemukan. Barang makanan dan minuman yang berhasil ditemukan dijatahkan dengan sama rata. Saat itu tidak ada perselisihan sama sekali tentang pembagian jatah makanan dan minuman.

Disini kami harus berusaha untuk tetap tenang. Jika panik, kami mati. Apapun rasa sakit, sedih dan menyesal kami simpan untuk diri sendiri. Semua orang tampak lesu, mungkin karena efek dari ketinggian. Kami terus mengatakan pada diri sendiri, yang terburuk sudah lewat. Kita harus tetap positif agar bisa terus mengobati yang terluka, dan terus memberi mereka harapan. Mereka sekarang menjadi tanggung jawab kita.

Marcelo dan kelompoknya mengatur bagasi kosong yang kami temukan menjadi bentuk salib raksasa, berharap penyelamat kami bisa melihatnya dari atas. Kami juga membuat tanda S.O.S di salju.

Tapi kenyataan yang ada jauh diluar harapan. Tidak ada yang datang menyelamatkan kami. Lalu malam datang lagi, kami kembali kedalam kabin pesawat, berharap dinginnya malam ini tidak sebrutal malam yang lalu.

Pagi berikutnya dengan jelas kami mendengar suara pesawat melintas tepat diatas kepala kami. Tidak lama setelahnya, pesawat lain juga melintas, hanya lebih tinggi dari yang pertama. Setiap dari kami berani bersumpah, kami melihat salah satu dari pesawat itu memiringkan sayapnya, tanda kalau mereka melihat kami. Kami sangat gembira, pertolongan akan segera datang. Kami sangat yakin. Satu jam kemudian sebuah pesawat bermesin ganda juga terdengar.  Kami percaya pesawat itu dikirim untuk memastikan koordinat kami, para survivor.

Kami berlarian kesana kemari, berteriak dan menangis karena kami akan segera diselamatkan. Dalam euphoria itu perhatian kami sekarang terfokus bagaimana menjelaskan kemapa keluarga, teman kami yang sudah meninggal tentang apa yang terjadi. Tidak ada firasat sedikitpun bahwa setengah dari kami akan segera menyusul mereka ke alam baka.

BERSAMBUNG  




Komentar

Postingan Populer