Pulangnya Seorang Pemabuk - Part 2

 Malam tahun baru 1998. Hal yang mengagetkan kembali terjadi didalam keluarga itu. Gadang mengalami kecelakaan, dan meninggal di tempat. Tentu saja kejadian ini menjadi pukulan berat bagi keluarga ini. Tentunya bersamaan dengan krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998, kini mungkin Sinta lah yang akan bekerja untuk menghidupi keluarga dan ibu nya.

Malam itu, ketika masih dalam suasana berkabung, dan belum genap 40 hari Gadang meninggal, seperti biasa pada pukul 21.00 Sinta beranjak tidur. Namun.. tengah malam ia terbangun akan suara ketukan di jendela kamarnya, "Tok..tok..tok.. Sin.. bukakne lawang Sin.." (Tok..tok..tok.. Sin.. bukain pintu Sin..), terdengar suara lirih berbisik. Sinta terbangun tapi seperti enggan beranjak dari ranjangnya. Tapi kemudian suara itu terdengar lagi, dan kali ini terdengar lebih keras.

Dengan kaget Sinta yang belum sadar sepenuhnya itupun terbangun, "Oh.. mas Gadang to..", ucapnya. Sinta berjalan menuju pintu rumahnya. Tapi begitu tiba tepat didepan pintu rumahnya, Sinta tersadar, "Astagfirullaaahhhhh.... Mas Gadang..?!?!?!".

Sinta seperti tak sadar sebelumnya tentang suara itu. Sinta baru sadar ketika sudah berada didepan pintu, kalau mas nya sudah meninggal. Sinta menoleh kearah jam, disitu jam menunjukkan pukul 02.00, seketika Sinta pingsan tak sadarkan diri. 

"Ya Allah.. ngopo kowe nduk kok malah turu ngarep lawang?" (Ya Allah.. kenapa kamu nak kok malah tidur didepan pintu?) tanya sang ibu. Dalam keadaan bingung Sinta menjawab, "Oh.. ngelidur aku bu.." (Oh.. ketiduran aku bu..), jawab Sinta. Sinta sengaja menutupi akan apa yang terjadi semalam. Ia tak mau membuat ibu nya semakin sedih.

Pagi itu Sinta duduk diteras rumah sambil menyesap teh hangat. Ia mencoba menelaah apa yang terjadi semalam, berharap itu adalah mimpi, tapi Sinta sadar kalau itu bukan mimpi. Dalam hati Sinta terus bertanya-tanya, apa itu memang mas Gadang? Dan yang menjadi satu-satu nya nalarnya adalah, "Menurut kepercayaan, roh orang yang meninggal akan tetap berada disekitar orang terdekatnya hingga 40 hari", mungkin itu yang terjadi. Batin Sinta.

Malam berikutnya, kebetulan turun hujan yang cukup deras. Entah apa yang dirasa, malam itu Sinta seperti kehilangan rasa takut. "Tak enteni yen kuwi pancen mas Gadang.." (Akan kutunggu kalau itu memang benar mas Gadang), batin Sinta. Sehabis salat isya, hujan belum juga berhenti, tapi tak sederas tadi. Sinta membuka jendela kamarnya lebar-lebar, menopang dagunya sambil memandang hujan. Rasa dingin seperti tak dirasa. Memandang halaman depannya yang gelap, kini dia mulai jujur dengan dirinya sendiri, Sinta belum "ikhlas" akan kepergian kakaknya yang sangat mendadak. Sinta menjadi khawatir akan masa depannya sendiri. Sambil menghela nafas panjang,  Sinta berguman sendiri, "Piye iki.. yen oran ono mas Gadang terus aku piye?" (Bagaimana ini.. kalau tidak ada mas Gadang, lalu aku bagaimana?).

Tak terasa ia sudah cukup lama berdiri didepan jendela kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 01.30, terbesit pula dipikirannya, "Wah iki wis meh jam-jame mas Gadang mulih iki.." (Wah ini sudah hampir jam nya mas Gadang pulang..). Entah bagaimana, rasa takut Sinta mendadak sirna, dan dia terus menunggu. Namun hingga hujan reda menjelang subuh, apa yang ditunggu ternyata tak kunjung datang.

Singkat cerita, menjelang 40 hari Gadang meninggal, suara itu muncul lagi. Di jam yang sama yaitu pukul 02.00. "Tok..tok..tok.. Sin.. bukakne lawang Sin.." (Tok..tok..tok.. Sin.. bukain pintu Sin..), suara lirih berbisik. Sejenak Sinta sempat takut, tapi ia mencoba memberanikan diri, beranjak dari tempat tidurnya dan mendekat ke jendela. Suara ketukan dan bisikan itu masih ada, dan jelas terdengar, "Sin.. bukakne lawang Sin.." (Sin.. bukain pintu Sin..). Jelas itu adalah suara mas Gadang, kakaknya. Dengan sedikit keraguan, Sinta semakin mendekat ke jendela, lalu ditempel lah tangannya di kaca. Terlihat siluet bayangan hitam, yang postur tubuhnya mirip sekali dengan mas Gadang. Sambil menitikkan air mata, Sinta mencoba berbicara dengan sosok yang ada diluar jendela kamarnya itu, "Mas Gadang sing tenang, aku karo ibu wis ikhlas kok.." (Mas Gadang yang tenang, aku dan ibu sudah ikhlas kok..). Lalu perlahan bayangan itu bergerak menjauh dan menghilang. Sinta seketika roboh sambil menangis. Memang dalam hatinya, ia belum sepenuhnya ikhlas.

Setelah lewat dari 40 hari Gadang meninggal, ketukan di jendela kamar Sinta sudah tidak ada lagi.Tak terasa bulan demi bulan berganti, dan ternyata Sinta masih belum benar-benar ikhlas. Ditambah perekonomian keluarganya semakin memburuk dan terus memburuk. Namun hanya ada satu alasan di benak Sinta, "Semua ini gara-gara mas Gadang meninggal". Sekarang ia dan ibu nya untuk hanya sekedar makan saja sulit. Tentu hal itu membuat Sinta lebih tidak bisa merelakan kepergian Gadang. Sinta yang baru saja lulus SMA pun langsung bekerja sebagai buruh di pabrik. Memang hal ini sangat berat untuk di lalui nya.

Dan puncaknya di pertengahan tahun 1999, karena dampak dari krisis moneter, Sinta terkena PHK dari tempatnya bekerja. Untuk melewati bulan-bulan setelah itu, Sinta bekerja secara serabutan, dengan hasil yang tek menentu. Sembari menggunakan uang tabungannya yang tak seberapa. Di hari-hari ketika Sinta tidak mendapat pekerjaan, ia hanya melamun sembari memikirkan kakaknya. Memang, untuk gadis seumuran Sinta yang mungkin masih usia belasan tahun, pastinya berat melalui semua ini. 


BERSAMBUNG

Komentar

Postingan Populer