Diary Steve - Part 9, Om Heri dan Tante Ida
Sinar surya mengikis dan menghangatkan salju diatas helai rerumputan. Salju kapas mencair diatas atap tenda parasut kami..
Hanya..
Hangat, sehangat senyum petricia pagi itu
Tak ada yang menandingi kecantikan betaria sonata didalam televisi dikotaku, namun.. Jauh.. jauh.. dan jauh lebih cantik wanita pendaki di puncak manapun kau berada. Dalam diam aku tersenyum padanya yang telah menggendong tas ranselku, padanya yang telah tulus menyuapiku. Tak pernah seorang doni merasakan dadanya memuncah sepert ini..
"Sudah pagi don.. kita keluar dulu yu, supaya kamu bisa bebersih..", kata petricia penuh arti.
"Iya, bisa minta tolong panggilkan suko. Aku masih belum bisa menggerakkan kakiku..", jawabku meminta.
Yaa..
Dia.. dia harus, dan akan selalu menjadi pujaan hatiku kelak. Dia harus aku perjuangkan menjadi ibu dari anak-anakku nanti. Ahhh.. Semoga tuhan menjawab permohonanku ini dalam rengkuh isyarat fajar dibibir ranu kumbolo nan indah.
Digendongnya aku keluar tenda oleh suko, dengan sesekali melirik dan tersenyum padaku..
"Wahh.. kayaknya ada yang jatuh nih, tapi jatuh hati..", ucap suko menggodaku.
Tak bisa kubalas godaannya, hanya mulut yang terkunci rapat karena rasa malu namun mau. Iya.. hanya senyuman yang bisa aku jawabkan akan godaan suko temanku, mahasiswa malang itu.
Didudukkan diri ini disamping perapian yang hanya sudah menyisakan arang dan bara yang masih memanas. Kucoba untuk menghangatkan diri ini diguyuran sinar menati pagi itu, sambil aku berusaha mengingat apa yang harus aku lakukan dalam keadaan seperti ini.
Dan.. kuingat satu hal..
"Mas doni.. adakah sesuatu yang harus kita lakukan? Kok saya merasa ada sesuatu yang harus kamu lakukan.." ucap pak jono sambil meletakkan cankir stainless penuh kopi dipangkuanku.
Ya.. aku ingat sekarang..
"Bisa tolong ambilkan saya bungkusan didalam tas ransel saya, bungkusan warna putih..", balasku.
Diambilnya bungkusan itu dan ku buka..
Ternyata diluar dugaannku..
Ada beberapa bungkus dupa di dalamnya..
"Dupa apa ini?', tanyaku dalam bingung.
"Itu dupa gunung kawi mas. Sudah biasa kalau disini, dapat dari mana mas?', jawab pak iwan.
"Anu.. anu pak, saya dikasih saudara dari jakarta. Katanya boleh dipakai kalau ada sesuatu yang menyulitkan saya", jelasku ke pak iwan.
Seketika itu juga pak iwan mengambil satu biji dupa tersebut dan dibakarnya dupa itu sembari..
"Bapak biyung naliko anakmu pirangan pitulung ingkang jasad sejatine jabang bayine doni.. Waras.. waras soko kersane gusti ingkang maha agung..", pak iwa merapalkan kalimat serupa mantra.
Suasana seakan ramai, ramai akan sesuatu hal yang tak masuk dinalar. Semerbak wangi dari asap yang meninggi membuat semua demit yang menempel erat ditubuhku, melayang entah kemana. Mereka seakan berebut menikmati kepulan asap wangi itu.
Aku terkejut namun juga terpesona akan kepulan asap putih itu. Aku merasa takjub akan kebesaran tuhan dipagi itu. Bagaimana tak terkesima, menyaksikan kumpulan demit bagaikan keindahan kupu-kupu yang terbang keatas angkasa yang biru itu. Menakutkan tapi juga sangat menarik perhatian mataku.
Syukur..
Hanya itu yang sanggup dikatakan oleh manusia ketika mendapatkan kesembuhan akan sakit dan beratnya.
Krek.. krek..!!
Handy talkie pak iwan berbunyi..
Ada info yang memberitahukan bahwa kami harus menunggu di ranu kumbolo..
Karena..
Tak terasa pagipun seraya merambat menunaikan sinar siang sang surya. Apa yang kami tak pernah sempat pikirkan ternyata telah dituangkan. Dituangkan dalam perjalanan yang penuh dengan duka dan laranya..
Dari kejauhan nampak orang berjalan seraya mendekati kami yang sedari tadi hanya diam dalam lamunan.
"Hallo pak.. ini saya yang tadi kontak di HT dan meminta anda menunggu disini. Bapak ini memaksa kami mengantarkannya sampai ke anda..", kata seorang petugas muda ke pak iwan sebagai seniornya
Siapakah bapak yang memaksa minta diantar itu?
Dibukanya penutup kepala dari jaket warna orange itu..
Dan..
"Maafkan aku mama.. maafkan aku..", ucap penuh tangis airmata seorang lelaki seraya menghampiri tante ida.
Tak kulihat bahagia di raut wajah dari masing-masing mereka, hanya tangisan dan tangisan yang menyesakkan dada.
Tante ida yang menangis bersimpuh itu mengenalkannya, mengenalkan lelaki itu pada kami semua.
"Ini om heri, papanya steven.. mungkin doni dan semuanya belum pernah bertemu..", jelas tante ida penuh haru dengan mata berkaca-kaca.
Tangisan kesedihan disuguhkan dikakiNya yang agung. Tangisan dua manusia yang telah merawat dan serta menyayangimu kawan..
Tak terasa pagi bercengkerama dengan siang menuju senjanya. Suapan demi suapan kesedihan memenuhi relung kehidupan anak manusia..
"Sudahkah bincang-bincangnya? Mari kita lanjutkan perjalanan ini..", ajak pak iwan untuk kami kembali melangkah.
Sebagai seorang petugas jagawana pasti pak iwan lebih dan jauh lebih mengerti apa yang harus dilakukan. Dan yang pasti, pasti tak ada lagi kengerian yang akan kami rasakan. Namun.. Paati berjuta keping kengerian yang akan disuguhkan padaku, pada doni sipemuda yang jauh dari rasa perkasa.
Tanjakan demi tanjakan kami lalui dengan cinta. Cinta para dewata menyertai diatas kaki swarga lokamu wahai mahameru sang puncak penguasa jawa.
Di tanjakan cinta, dipadang savana, dijalur itu tak terasa tangan ini menggandeng lembut jemari seorang perawan.
Yaa.
Aku menggandengnyapenuh akan rasa bahagia. Ku gandeng jemari tangan gadis manis dari semarang itu, bukan karena apa..
Namun agar aku merasa nyaman dengan senyuman bidadari yang selalu mensupport ku walau belum mengenalku lama.
"Kamu sudah baikan kan don.. Kalau kakinya pegal, kamu bilang ya..", kata petricia manja khas perawan kota.
Aku hanya membalas dengan senyum tanpa kata. Namun aku yakin kalau itu sudah menjawab dan melebih apapun yang tersirat di dada..
"Weehhh.. ada yang sedang bahagia ini ya..", canda suko tiba-tiba.
Memang hanya suko yang selalu memperhatikan kami. Mungkin karena usia kami hampir sama, jadi dia lebih peka jika ada rasa jatuh cinta dari kami berdua.
"Ah.. biasa saja bung. Kaya ngga pernah aja.. hehehe..", balasku sambil tertunduk malu dari petricia.
Perjalanan yang kemarin menyakitkan, sekarang malah jauh dari rasa menyakitkan. Perjalanan kali ini penuh arti bagiku. Aku menemukan jejak langkahkuu, yang pasti akan aku lalui dalam kehidupanku sampai akhir hayatku.
Kau..
Kau petricia sang perawan kota..
Aku akan melangkahkan jejakku di kehidupanmu..
Itu janjiku..
Aku akan memperjuangkan semua asa padamu..
Itu janjiku..
Sampai nanti kehidupanku akan bersanding di hidupmu penuh rasa haru nan rindu dengan balutan kasih dan sayangmu..
"Sudah dekatkan mas?", tanya om heri padaku.
Kaget memang bagiku. Bagaimana tak kaget kala itu papa mu menanyakan letak dimana kau hilang kawan..
"Masih lumayan om.. Kenapa om bisa sampai sini?', tanyaku ke om heri.
Tak kudapatkan jawaban darinya. Hanya senyuman yang kulihat dari wajahnya yang dihiasi bekas jejak airmata.
Senjamu tak terasa lama..
Malam telah menggelayut diatas kepala kami..
Dan..
Tiba diatas kami semua..
Kami melihat sinar menyilaukan mata dimalam yang gelap itu..
Apakah itu? Apakah sinar senter dari para pendaki yang turun, tapi kenapa sangat menyilaukan.
"Siap-siap semuanya.. Saling berpegangan tanga, jangan ada yang terlepas..", kata pak iwan sebagai ketua rombongan kami.
Benar saja..
Secepat kilat namun melambat sinar itu menghampiri kami. Dan kami menyaksikan kepiluan mu sahabatku..
Kau steve.
Kau di bopong oleh puluhan orang, puluhan orang yang jelas bukan dari dunia nyata..
Kau menemui kami dalam balutan kain putih itu..
"Mama.. papa.. maafkan anakmu ini. Hanya ini yang bisa aku lakukan agar kalian bisa bersatu kembali. Hanya ini yang bisa memberikan rasa cinta kalian untuk satu sama lain.."..
"Padamu doni sahabatku.. terimakasih kau telah mengantarkan mama dan papaku sampai disini. Suko, aku tahu kau selalu mendoakanku walau aku tak pernah sempat mengenalmu. Dan kau petricia.. aku tahu kau adalah wanita yang baik untuk berada disamping sahabatku.."..
"Aku steven.. telah meninggalkan alam nyata ini. Aku telah bahagia dengan doa kalian semua.."..
"Kalian yang bahkan tak pernah aku kenal, kalian yang telah memberikan dukungan padanya yang telah mengangkat kisah kelamku ini. Kalian yang selalu menguatkan tekad pemuda. Pemuda penulis kisah duka namun tanpa lara.."..
"Karena diri ini tak merasakan lara lagi. Karena tubuh ini sekarang merasa sempurna, sempurna dibawah kaki sang swarga loka.."..
"Doni.. kau sahabat sejatiku bung.. Kau segalanya bagiku, kau adalah kunci dari kesempurnaanku.."..
"Pintaku yang terakhir, ceritakanlah segalanya yang mampu kau ceritakan. Tanpa harus ada kata kebohongan yang sangat kau benci itu.."..
"Papa.. apakah papa tahu, janjiku pada papa waktu itu. Aku akan membuat papa bersimpuh di kakiku. Namun.. aku tak mau kau bersimpuh, aku mau kau menjadi papa ku. Papa dari keluargaku. Papa yang akan selalu ada dan menyayangi mama untuk selama hidupnya.."..
"Selamat jalan semuanya.. maafkan aku. Aku tahu apa yang aku perbuat telah meresahkan kalian semuanya. Maafkan aku.. maafkan steven akan semua janjinya. Janji dimana bila tiba waktunya aku ingin mati di semeru.."
Kata steve pada kami semua..
Cahaya itu, cahaya yang menyilaukan itu lama kelamaan meredup bersamaan dengan hilangnya bayanganmu kawan..
Hanya menyisakan kegelapan yang membutakan mata..
Hanya tangis..
Hanya tangisan..
Hanya tangisan dari orang-orang yang ada disini yang aku pandang..
"Mari kita harus tetap melanjutkan perjalanan ini sampai kalimati. Saya sudah mendapatkan jawaban akan segala sesuatu yang saya pikirkan selama ini..", ajak pak iwan sambil mengernyitkan dahinya.
Kepiluan kembali menyertai perjalanan kami, sampai kami sampai di pos kalimati.
Dinginnya udara rasanya sadah tak sanggup kami bendung. Tanah berdebu yang berwarna putih kecoklatan menandakan pos ini jauh dari mata air. Memperlihatkan bahwa hanya kegersangan saja yang bisa disuguhkan.
"Tolong jangan ada yan gkeluar dari kelompok. Tolong bapak dan ibu steve selalu berdoa dan merelakan apapun yang sudah terjadi, dan jangan berfikiran yang macam-macam..", ucap pak jono sambil memberikan secangkir kopi pada om heri.
"Iya pak.. saya sedih tapi saya akan berusaha merelakan semua yang sudah terjadi..", balas om heri.
Pagi mengusir gugusan embun salju..
Pagi mengusir malam yang tanpa gangguan dalam gelapnya..
Suara serangga memekakkan telinga dunia..
Sinar mentari yang hangat datang tanpa ada tandingannya..
"Ok.. sekarang kita kebawah ya. Kita lihat di sumber mani.. mudah-mudahan apa yang ingin kita ketahui akan terjawab", kata pak iwan.
Kami menuruni tapak-tapak tanah menuju sumber mani. Sama persis seperti aku mengikuti suko untuk menyisir kehilanganmu kawan..
Akhirnya kami sampi pada..
Batang kayu yang menjulang kokoh tanpa daun..
Terkejut..
Aku tak percaya wahai sahabatku..
Aku menangis tak kuasa melihatnya..
Diatas sana tubuhmu kembali tergantung persis seperti waktu kami menemukanmu..
Aku ingat dan sadar, kau kami kubur dibawah pohon itu. Kini.. kenapa kau kembali menggantung diatasnya bung..
Tubuh itu bagai masih seperti kemarin saja aku tinggalkan. Masih sama persis seperti sebelum suko menurunkan mu kawan..
Disana steve masih memegang, entah apa itu. Aku pun tak kuasa melihat papa dan mama mu bersimpuh lemah dengan sejuta duka..
Tanganmu masih menggenggamnya. Apa yang kau genggam kawan? Apa??
Hingga peluh bercucuran didinginnya angin puncak jawa, kau genggam foto dirimu bersama dengan papa mama mu. Bahkan kau juga menggenggam foto gadismu yang tak punya iba dan tak punya budi sama sekali itu..
Kenapa?
Kenapa sahabatku??
Diakhir hidupmu pun kau masih mencintai wanita jalang itu. Wanita yang mencintai hanya karena materi dan hanya bisa menyisakan hati yang luka sampai akhir hidupmu yang penuh dengan nestapa..
Kau tetap menggenggamnya walau kami mencoba melepasnya..
"Kita kuburkan saja anak bapak ini bersama dengan kenangannya. Siapa tahu ini adalah salam terakhirnya agar kita semua bisa menghargai kehangatan keluarga seperti pada foto itu..", kata pak iwan pada om heri.
Papa mu nampak sangat lusuh layu..
"Iya.. silahkan..", balas om heri singkat.
Dengan hati-hati bapak-bapak petugas memanjat kayu itu dan menurukan jasadmu kawan..
"Kita kuburkan disini..", lanjut pak iwan.
Tande ida shock melihat ini semua, om heri bagaikan dicambuk dengan api neraka di wajahnya. Sampai kedua nya tak bisa berkata apa-apa, sampai keduanya bersimpuh dihadapanmu dihadapanmu seperti yang pernah kau janjikan kawan.
Semuanya bagai dejavu untukku. Bagi Suko, petricia yang juga mengalirkan derai air mata.
Tapi kami bertiga melihat sesuatau yang berbeda darimu bung. Kau tersenyum, bahagia. Seolah-olah kau bahagia telah melihat papa dan mama mu bisa bersama lagi.
"Mari kita turun.. Semoga arwahnya diterima oleh tuhan", ajak pak iwan.
Perjalanan kami lanjutkan menuruni kaki sang maha agung mahameru. Tak kuasa aku menyuguhkan cerita yang menyedihkan bagiku ini..
Akhirnya.. aku, doni. Telah dan tak nampak lagi demit disekitarku. Aku sudah menjadi normal seperti doni yang dulu.
Aku, doni.. masih berhubungan dengan om heri dan tante ida yang telah akur dan tak terpisahkan lagi.
Aku, doni.. yang telah menamatkan kuliahku dan meminang perawan semarang itu menjadi istri dan ibu dari anak-anakku.
Menarilah di kehidupan ini.. sebagai mana burung merak melebarkan serta menguncupkan helai bulu indahnya.. Tapi, tetaplah menjadi manusia yang manusia..
TAMAT
Komentar
Posting Komentar