Diary Steve - Part 8, Cinta Seorang Ibu
Aku kembali steve..
Kelangan iku abot rasane, nanging iku wis garise Gusti..
Manungso isone mung ikhlas ati masio iku nggawe loro ati..
(Kehilangan itu berat rasanya, tapi itu sudah suratan Tuhan..
Manusia hanya bisa ikhlas hati meski membuat sakit dihati..)
"Steve.. sahabatku.. aku kesini lagi kawan..", ucap kata dari pemuda penuh rasa iba. Ucap pemuda yang hanya seorang hamba. Ucap kata dari sepotong tubuh manusia, dengan doni sebagai nama yang memakainya, mungkin akan lebih jauh untuk meraba..
Meraba kengerian..
Kengerian yang sampai saat ini ingin kulupakan..
Kami..
Kami lanjutkan perjalanan ini wahai kawan. Aku tahu kau selalu mengikuti jengkal langkah demi langkah dibelakang kami. Aku tahu dan paham akan kebutuhanmu saat ini, kebutuhanmu akan hadirnya seseorang yang mencintai, Bahkan menyayangimu lebih dari nyawa didalam tubuhnya sendiri.
Ibumu..
Dia ibumu wahai sahabatku..
Dalam langkah beratnya aku melihat semangat membara dalam jiwanya. Jiwa seorang ibu dengan segala ketulusan dan keinginannya untuk menemukan buah hatinya yang hilang. Yaa.. kau steven. Hanya kau yang diinginkan oleh mama mu. Sungguh kau sangat melukai hatinya, bila mama mu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Sungguh aku ingin mengumpat dan mencurahkan kekesalan dan amarahku saat ini. Padamu sahabatku. Apakah masih ada diantara anak manusia yang berani menghinamu saat ini? Hanya pemuda bodoh yang berani menghinakan dirinya. Karena bukan hanya dirinya yang tersakiti, namun ibu. Ibunya juga pasti merasakan sakit.. Jauh lebih sakit bila itu terjadi..
Sekarang aku harus bagaimana wahai kawanku, sahabatku yang bodoh. Yang sampai membuat sahabatmu ini harus berbohong atas kelakuan bodoh dan pemikiran pendek itu kawan..
"Doni, apa kira-kira ada jalur lain selain jalur ini. Mungkin kita ambil jalur yang tidak umum saja, siapa tahu steven tersesat disana..", tanya tante ida padaku.
Bagaimana mungkin beliau menanyakan jalur lain, padahal kita baru beberapa kilo dari plang atau tugu selamat datang di jalur semeru. Tapi aku berusaha memberi jawaban yang dapat dimengerti oleh seorang ibu yang tak pernah menapakkan kakinya di jalan pegunungan ini.
"Maaf tante, ini masih satu jalur menuju pos ranu kumbolo. Tidak ada jalur lain, hanya satu ini..", jawabku mencoba menjelaskan.
Wushh!! wusshh!! wussshh!!!
Nafas angin didinginnya pegunungan..
Hembusan nafas dingin angin itu menyapu lembut wajahku..
"Maaf tante ini masih jauh, apakah tante ingin istirahat dulu?", tanya petricia seakan tahu apa yang dirasakan tante ida.
Benar saja, dengan anggukan kepala, beliau mengisyaratkan pada kami bahwa mama mu memang butuh istirahat steve. Tak kupungkiri, sebagai seorang ibu yang bukan veteran pendaki, jalur semeru jelas amat sangat berat. Tiba-tiba aku merasakan hembusan nafas panas ditelinga kananku..
Dan..
"Bajingan..!!", umpatku mengagetkan hampir semua rombongan kala itu.
Hanya suko saja yang menatapku dengan sedikit senyuman. Bagaimana aku tidak mengumpat, bagaimana aku tak berteriak dan melafalkan umpatan itu..
Disisiku sana, tak jauh dari tempat kami duduk, ada beberapa demit yang entah siapa mereka. Demit dengan bentuk yang bermacam-macam. Tak hanya satu, tapi ada beberapa dan salah satunya adalah dirimu kawan.
Kami tak hanya berenam saja kala ini, tapi lebih ramai sekarang. Saat kami berangkat ada diriku, suko, petricia, tante ida, pak jono dan pak iwan sebagai petugas yang ikut dalam rombongan kami. Namun sekarang aku melihat ada lusinan demit yang mengikuti kami.
Memang tak ada satupun demit yang mengganggu atau berniat mencelakai kami, tapi aku sangat terganggu dengan keberadaan mereka. Ternyata menjadi seorang yang "mengerti" tak seenak dan seberuntung seperti kata orang. Aku sekarang harus kuat menahan isi perutku yang akan meluap dalam muntahan.
Tak boleh aku memuntahkan isi perutku ini, tak boleh aku menampakkan ketakutanku ini, tak boleh aku merengek walau kengerian selalu ada di kiri dan kananku.
"Maa.. maaf.. ada semut masuk kedalam jaket saya", aku menjelaskan untuk menutupi kengerianku.
"Santai saja mas, aku dan pak iwan juga biasa kaget kok. Jangan diperhatikan. Hahaha..", balas pak jono seraya tertawa.
"Iyo dik, ojo wedi (jangan takut), ada saya kok.. bukan hanya kamu yang bisa melihat mereka, kami juga melihat mereka.. Tapi kata-katanya dijaga ya kalau nanti kaget lagi", pak iwan mengingatkan dengan serius.
Apakah kedua petugas ini bisa melihat demit seperti diriku saat ini, atau mereka hanya menenangkan aku saja?
"Apa sih yang di bicarakan, kok aku ngga ngerti ya..", tanya petricia bingung dengan apa yang bapak-bapak petugas bicarakan.
Sambil menatap tante ida, aku berusaha menenangkan bahwa tidak ada apa-apa, hanya memang kaget saja.
Seperempat jam kami beristirahat, pak iwan yang kala itu menjadi ketua rombongan kami, mengajak untuk melanjutkan perjalanan. Karena tak baik kalau kita terlalu lama istirahat dan akhirnya kemalaman sampai di ranu kumbolo.
Kami lanjutkan perjalanan ini..
Namun bukannya tanpa hambatan..
Aku lagi-lagi seakan dihalangi untuk naik kesana, kaki ini terasa berat bahkan terasa berat hanya untuk melangkah. Bahkan mungkin ini adalah pendakian terberatku.
Diatasku.. Diatas tas gunungku telah ada seorang anak kecil yang ikut dan dengan manisnya duduk disitu, dan aku seolah menggendong anak itu. Aku diam agar petricia dan tante ida tidak merasakan ketakutan sepertiku.
Kulangkahkan kakiku terus menaiki jalur itu, serta sesekali menuruninya. Beban yang kubawa semakin lama semakin bertambah berat saja. Bagaimana tak bertambah berat, sekarang ada dua anak kecil yang duduk diam seolah menikmati perjalanan dari atas tas carrier ku.
"Mas doni, carrier nya aku bawa saja sini, tetap jalan mas..", kata suko seolah-olah dia tahu apa yang aku rasakan.
Saat itu juga suko mengambil tas punggungku, dan pak jono langsung menyandangku dalam pundaknya.
"Tenang mas.. kamu pasti kuat", katanya.
Bagai seorang lansia, diriku dipapah oleh pak jono dengan masih melangkahkan kaki-kaki ini. Mungkin andai kalian tahu, aku merasa memanggul berat lebih dari berat badanku sendiri di pundak dan punggungku. Berat, capek, kesal, bercampur dalam amarahku.
"Kenapa doni, kakinya terkilir ya? Sampai kaya ngga kuat jalan begitu..", tanya tante ida.
Kulempar senyum pada mama mu steve. Kucoba tetap tersenyum dalam kesakitanku.
"Ngga papa kok tante.. mungkin karena kram saja. Tetap jalan saja ngga papa kok..", balasku.
Dengan parang panjangnya, pak iwan menebas dedaunan kering disepanjang jalur kami. Jalur yang tak semulus trotoar ibukota itu memang dipenuhi alang-alang hutan dan dedaunan kering. Sampai dipotongan jalan itu, sampai dirimbunnya pagar semak belukar, kami tetap mencoba melangkah berusaha untuk kuat dan sabar. Rasa berat ditubuhku tak berkurang sedikitpun, namun malah bertambah dan bertambah.
Dan..
Bruukkk!!!
Tubuhku jatuh, tak kuat lagi menyangga beban dari setiap gangguan yang ada di setiap sisi tubuhku. Demit-demit itu seakan tak rela aku melanjutkan perjalanan ini.
"Ok.. saat ini, mbak petricia bawa tas doni, tas mas suko dan mbak petricia saya yang bawa. Pak jono dan mas suko tolong bantu doni agar tetap bisa jalan..", kata pak iwan sambil mengambil tas dari suko.
Dan aku tetap meringis merasakan kesakitan. Seorang doni yang biasa nya seperti prajurit perang jika naik gunung, sekarang bagaikan lumpuh layu diatas ketinggian pegunungan. Seorang doni seakan tak berdaya merasakan beban ditubuhnya. Ingin rasanya aku berteriak.. Tapi aku tetap menguatkan tekadku menuju dirimu kawan. Seperti tekad mama mu yang sangat ingin bisa menemukan dirimu diatas sana.
"Tetap semangat mas doni, tetap langkahkan kakimu..", ucap suko menguatkanku.
Perjalanan yang biasanya kami tempuh dalam beberapa jam, tapi waktu itu seakan perjalanan yang sangat lama bagi kami. Cucuran keringat deras turun dari dua orang yang memapah disamping kiri dan kananku. Sampai kemudian..
Bruukkk!!!
Kami bertiga jatuh ambruk dibuatnya..
Jatuh karena tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan di jalur menuju ranu kumbolo itu.
"Iki wes kelewatan, suwe-suwe koyo asu.. Bajingan nek di jarno.." (Ini sudah keterlaluan, bajingan juga kalau dibiarkan), kata pak iwan.
Hanya tante ida dan petricia yang diam dan kebingungan dan tak mengerti ada apa dengan semua ini. Hanya dua wanita ini yang tak merasakan keganjilan demi keganjilan yang kami hadapi.
"Sudah, sekarang kamu mas doni pegangan punggung ya. Kita tinggal sedikit lagi dan harus tetap melangkah", lanjut pak iwan.
Sangat tak lazim sekali. Aku yang seorang pendaki sampai harus dibopong oleh tiga laki-laki sekaligus agar aku dapat terus melangkahkan kakiku. Disamping kiri pak jono, disamping kanan ada suko yang memapah tubuhku. Dan di depan aku masih menyandarkan tubuh ini ke pak iwan.
Sungguh berat. Ini sudah berada diluar kemampuanku, bahkan mungkin sudah melampaui batas dari ketiga lelaki yang ada disamping dan depanku. Dengan langkah yang terseok-seok, kami pun sampai di pos ranu kumbolo tepat setelah sinar surya tenggelam ditelan gelapnya malam.
Direbahkannya tubuh ini disamping bibir ranu, diusapnya wajah dan rambutku dengan air ranu yang dingin itu oleh petricia.
Tetap..
Tubuhku tetap berat, berat yang rasanya terus saja bertambah..
Suko dan pak jono bergegas mendirikan tenda. Dan aku masih tetap ditemani oleh pak iwan yang sedari tadi komat-kamit seperti mengucapkan mantra.
Aku merasa lumpuh di kakiku..
Bahkan tak terasa mata ini..
Mata ini mengeluarkan air mata..
Air mata kesedihan yang sudah pernah aku rasakan sebelumnya..
Kalau bukan karena mama mu dan persahabatan kita, aku tak kan pernah sudi melakukan ini semua kawan. Sakit hatiku dan sangat sakit tubuhku karena semua kebodohanmu.
Tak luput dari pandanganku petricia dibantu tante ida sedang membuatkan perapian didepan tenda kami. Tak ada kalimat yang keluar dari mulut mereka, seakan mereka sudah paham akan apa yang terjadi dan menimpaku. Dimasaknya makanan dan air panas dari kompor gas yang berasal dari ranselku, disuguhkan padaku makanan pengganjal perut dan lainnya.
"Makan dulu don.. jangan menyerah ya. Tetap semangat walau aku tak tahu apa yang sedang terjadi padamu..", kata petricia sambil menyuapiku dengan makanan yang tadi dimasaknya.
Wahai malam yang mencekam..
Demi apapun, aku sangat menikmati momen itu..
Aku menikmati kehancuran akan rasa tubuhku, namun aku juga menikmati perasaan itu. Perasaan yang bercampur antara kesedihan dan juga kehangatan yang disuguhkan olehnya. Oleh perempuan bernama petricia digelapnya malam itu.
Andai tak ada campur tangan demit yang menggangguku, mungkin malam ini adalah malam terindah dan teromantis yang pernah aku rasakan dalam hidupku. Aku hanya bisa duduk terpaku ketika disuapi oleh bidadari berwujud perempuan itu. Bidadari yang..
Tak kuasa benak ini mengucap rasa indah nan nelangsaku. Tak sadar aku menitikkan air mata didepan perempuan yang terus menyuapiku dengan tangannya yang lembut dan senyum indah itu. Aku disuapi oleh bidadari yang juga ikut meneteskan air mata di ujung matanya..
"Semoga kau adalah satu-satunya wanita yang akan menyuapiku.. terimakasih..", kataku sambil tersenyum dalam sedihku.
Dalam diamku, diri ini akan terus berjuang untuk mengantarkan mama mu sahabat..
"Doni.. kalau memang sudah tidak sanggup, lebih baik kita pulang saja besok. Tante sudah menemukan apa yang tante cari dari steven don..", kata tante ida dengan wajah sedihnya.
Pak jono dan pak iwan masih tetap duduk disamping perapian itu, sambil sesekali menyeruput kopi panas dan sebats dengan rokok mewah mereka. 234, hanya itu yang kuingat dan bungkusnya nan mewah akan warna kuningnya.
"Tenang saja tante, doni masih sanggup kok. Tinggal sebentar lagi tante, sudah dekat kok..", balasku sambil tersenyum menguatkan tante ida.
Tak terasa butiran-butiran kapas salju turun, menandakan malam menghardik semua pendaki agar masuk ke masing-masing tendanya. Pak iwan dan suko memapahku memasuki tenda.
Sampai...
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar