Diary Steve - Part 7, Bertemu Lagi Dengan Petricia

 Waktu menunggu waktu..

Ternyata menunggu datangnya hari selasa tak begitu lama. Namun sangat terasa lama bagi seorang doni dengan segala apa yang telah dia lakukan selama ini. Hanya seorang durjana saja yang tak akan berani melangkah dan merasa tanpa asa..

Sengaja memang setiap tulisanku kuutarakan dengan rasa, dan rasa yang sangat sulit untuk dicipta, dicipta oleh hati dan pikiran kosong tanpa datangnya raga.

Yaa.
Kalian membaca beberapa kalimat diatas, kalian akan merasakan berenang dalam dunia tanpa raga. Dunia diantara nyata dan.. Ahh.. tak berani ku mengatakannya.

Selasa pun datang walau tanpa rasa cepatnya. Semua sudah kupersiapkan, dan bahkan mental ini sudah kupatri dengan kuat. Tak lupa aku meminta ijin kepada ibu dan juga bapakku, serta meminta doa dari mereka berdua yang merupakan penjelmaan dewa berwujud manusia..

Dan.. 
Pak man..
Aku langkahkan kakiku ke halte bus pangkalan bajaj dari pak man. Siapa tahu beliau memberikan wejangan atau paling tidak bisa semakin menguatkan mentalku akan apa yang akan aku lalui disana, diperaduan para dewa.

Pagi setengah siang itu dihari selasa aku bertemu dengan pak man.
"Hai.. pak man. Gimana kabarnya, apakah semua baik-baik saja?", tanya ku pada pak man.

Seperti hari-hari biasanya, beliau hanya tersenyum dan tawa khasnya.
"Hahaha.. aku selalu baik bung. Hanya saja aku merasa kamu akan mendapatkan sesuatu yang sangat mengejutkan..", jawabnya padaku.

Surprise apa yang akan aku dapati atau lalui?

Suara klakson kendaraan ibukota membisingkan telingaku. Namun ada satu rasa yang aku lihat dan akan aku lalui nanti disana..

"Bung jangan suka melamun gitu.. Apa yang kamu lihat barusan hanya mata batinmu saja. Kenyataannya bisa terjadi atau malah tak terjadi sama sekali..", kata pak man membuyarkanku.
"Begini pak.. nanti sore aku akan mengantar ibu dari sahabatku itu. Aku juga sudah menghubungi teman-temanku yang lain, yang ikut waktu hilangnya kawanku itu..", kataku kemudian pada pak man.

Diam..
Sekilas tapi lama pak man terdiam seperti..
Seperti memikirkan sesuatu namun aku tak tahu apa yang dipikirkannya.

"Begini bung.. nanti kau akan mengalami kesedihan. Ya.. dikala orang tua kawanmu itu tahu bahwa anaknya mati bunuh diri, bukan hilang seperti yang kalian kabarkan sampai saat ini", ucap pak man seperti memberikan kode dari mata batinnya. 

Keluar dari masalah malah sekarang akan masuk dalam masalah itu lagi, pikirku..
Tapi aku sudah berjanji untuk mengantarkan mama steve kesana, dan aku tak boleh mengurungkan apalagi mengingkarinya. 

Kasihan..
Rasa kasihanlah yang membulatkan tekadku untuk mengantarkan mama steve kesana.

"Santai saja pak.. saya berjanji akan selalu waspada dengan semua keadaan dan kemungkinan terburuk selama disana", balasku.
"Baiklah kalau begitu.. ini kau bawa. Nanti bisa kau gunakan bila ada sesuatu yang membuatmu bingung", kata pak man sambil memberikan sebuah bungkusan yang entah apa isinya. 

Sore sekitar pukul 15.00, aku menunggu diperon stasiun kereta api. Dan aku sudah ditunggu oleh mama mu wahai sahabatku. Kuhampiri wanita paruh baya itu, wanita yang membawa tas punggung seperti anak sekolah. 

"Tante sudah lama menunggu saya.. maaf tante. Sebentar saya mau beli tiket dulu", sapaku sambil melempar senyum.

Senyumku agar beliau tak terlalu sedih..
Senyumku..
Senyum seorang doni yang berusaha menghibur seorang ibu dengan sangat dan sarat kesedihan itu.

Aku menuju loket tiket jurusan malang. Memang kala itu bukan hari dimana tiket sangat sulit didapatkan. Dan aku juga dengan mudah mendapatkan tiket, tanpa antrian. Ini bukan mudik kawan.. Seolah-olah semesta mendukung perjalanan ini untukmu.

Sejam kemudian datanglah kereta kami untuk menuju ke malang. Kami menaikinya dan duduk saling berhadapan. Kami juga berbagi tempat duduk dengan pasangan suami istri yang usianya hampir sama dengan orang tuaku. 

Perjalanan ke kota apel pun kami mulai..

Tak sedikit pengamen memberikan jasanya untuk menghibur kami dengan nyanyian serta syair yang sarat akan makna kehidupan. Kami hanya diam didalam gerbong kotak besi itu. Memang tak banyak yang bisa kami bicarakan selama perjalanan..

"Mau ke malang bu? Ini anaknya ya, sudah kerja atau masih kuliah?", tanya penumpang tetangga kami kepada mama steve.
"Iya bu.. saya mau ke semeru. Ini adalah..", jawab mama steve. Dan..

Aku mencoba memong pembicaraan mereka agar tak terlalu panjang dan berakhir mengharukan untuk mamamu, kawan..

"Iya tante, saya anaknya yang masih kuliah dan belum bekerja..", potong jawabku pada penumpang itu. 
"Oo iya.. semangat ya kuliahnya. Jangan sampai mengecewakan ibu cantikmu ini..", balas penumpang itu. 

Hanya senyum yang aku balaskan dari apa yang beliau katakan. Mama mu? Mama mu juga hanya tersenyum kecil, namun terpaksa steve. Semua ini karena ulah bodohmu itu sahabat..

Andai saja kau tak berbuat bodoh dan bermain nyawa dengan seutas tali yang kau jeratkan ke lehermu di batang pohon itu, mungkin..
Mungkin mama mu bisa tersenyum lebih tulus daripada hari ini. 

Tak terasa perjalanan kami melewati persawahan. Walau tak jelas, namun aku yakin perjalanan ini telah melewati kota angin di barat jawa timur.

Yaa.. nganjuk dengan hamparan sawah dan tanaman bawang merahnya. Mungkin tiga jam lagi diri ini akan sampai dikota kenanganku bersamamu menikmati soto dokk yang menghangatkan itu.

Brambang.. brambang.. brambang..
Teriak seorang anak kecil menjajakan bawang merah, ketika kami ada di stasiun kota bawang itu. Kulihat berbagai lalu lalang lintas dimensi disekitaran stasiun peninggalan belanda ini, namun aku mencoba untuk tak meresponnya. Aku lebih suka memperhatikan kegigihan seorang anak yang hilir mudik menjajakan barang dagangannya. 

Kondektur tanpa kepala dan orang yang menggantung lembut seirama angin pun tak kuhiraukan. Sesekali aku memberanikan menatap wajah mama mu kawan. Dengan mata yang masih nampak sembab, beliau tertidur tepat didepanku. Wajah seorang ibu yang sedih karena kehilangan anak nya yang menghilang tanpa pamit. Semoga saja mama mu kuat dan selalu sadar dengan apa yang telah kau perbuat bila kami sudah disana nanti. 

Sepuluh menit kemudian kotak besi berwarna biru ini telah berlalu menuju timur. Pelayan kereta menjajakan nasi bungkus, tak lupa aku memesan sebungkus nasi campur.

Yaa..
Nasi campur yang berlauk kan tengkleng kambing dengan toping sate cempe nya. Aku membelinya dua bungkus, karena aku lihat mama mu belum makan dari tadi. Hanya satu keinginan yang selalu aku panjatkan dalam segala doa dan asa ku. Aku ingin ibu mu tabah, sahabat..

Aroma minyak angi atau balsem menyeruak dihidung ini. Tiba-tiba..

"Sudah bisa melihat gaib ya dik?", pria separuh baya menghampiriku dengan tangan kanannya memegang segelas teh digelas platik. Dengan semyum, beliau bertanya lagi padaku.
"Sampeyan (kamu) adalah salah satu tempat dia mencurahkan kekecewaan nya yang paling mendalam. Sampeyan harus selalu kuat ya dik, jangan sampai aura sampeyan mengecil", ucap beliau lagi

Dan..
Dengan tongkat ditangan kanan serta gelas plastik ditangan kirinya, bapak itu berdiri serta berjalan menuju arah belakang kereta yang sedang melaju ini. Kebingungan membuatku tak bisa berkata-kata kala itu. Heran sangat heran aku dibuatnya. Kenapa bapak itu ada lagi, sama persis waktu dulu aku pulang setelah kejadian itu. Sama persis dengan aroma minyak anginnya dan balsemnya.

Oh tuhan.. semakin aneh saja diriku ini.  Banyak orang yang tak kukenal mendatangiku dan memberiku peringatan demi peringatan. Apakah aku akan melalui hal yang sangat..

Ahh.. aku tak ingin menebak apa yang belum aku lalui. Bahkan aku takut membayangkan hal-hal yang menurutku tak akan terjadi. Demi dirimu wahai steve, sahabatku..

Aku membuka bungkusan nasi campur itu. Kulahap saja tanpa harus memikirkan hal yang belum terjadi. Tapi.. tetap saja banyak bayangan yang melintas diotakku ini, bayangan yang bagaikan memaksaku untuk mengatakan iyaaa... Iya, aku sudah paham dengan semua ini. 

Aku bagaikan mengerti dan tahu apapun itu walaupun belum terjadi. Apakah aku menjadi semengerti itu? Tidak mungkin, itu hanya khayalanku saja. Khayalan yang hanya menggoreskan rasa duka. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi seperti ini.

Aku hanyalah doni, seorang pemuda kota metropolitan biasa. Aku hanya bertemu dengan beberapa orang yang memiliki kelebihan seperti itu. Bagaimana mungkin aku bisa dengan secepat ini dapat mempunyai kemampuan yang sama dengan mereka. Biarlah kugengggam tanganku ini tetap dalam rasa nan indah tanpa duka nestapa. Aku harus bahagia..

Suapan demi seuapan kunikmati seraya memandang keluar jendela yang lama kelamaan semakin jelas karena sinar sang fajar.

Indah..
Sangat indah pemandangan diluar jendela gerbong ini, disepanjang perjalanan ini, dikertosonomu bait menyambung di mojoagung mu. Sampai mata ini tak mampu memandang siluet mentari pagi. Dan aku pun terlelap dalam rengkuhan serta kenyamanan kursi empuk gerbong yang penuh dengan kenangan.

Pagi setengah siang, tak terasa kereta ini sampai di stasiun malang kota.

"Doni.. ayo cepat kita turun..", ajak mama mu steve.

Aku pun mengikuti langkah beliau yang menenteng tas ranselnya.

"Sebentar tante, itu ada teman saya..", kataku mengarah pada seorang perempuan muda.

Kuhampiri seorang gadis berjaket putih itu, gadis yang sedang duduk dibangku peron sendirian dan bersandar pada carriernya.

"Petricia..", sapaku padanya, sambil tersenyum diri ini melihat keteduhan serta wajah ayu yang terpancar
"Kenalkan, ini mama nya steven..", lanjutku.
"Kenalkan saya ida, mamanya steven..", sambung tante ida sambil mengulurkan tangannya.
"Saya petricia tante.. saya dulu bareng doni dan steve naik ke semeru", balas petricia sembari mencium tangan tante ida.

Sedikitpun aku tak mampu melihat kedua wanita ini. Aku tak mampu karena diri ini selalu melihat bayang dirimu, steve..

"Tante sama petricia disini dulu ya, saya mau cari angkutan dan menghubungi suko..", pintaku pada kedua perempuan itu. 

Langkah gontai kuarahkan ke telepon umum disamping loket stasiun dan aku mengeluarkan buku saku ku untuk mendapatkan nomor suko. Kucoba mengangkat gagang telepon itu dan kucoba menghubunginya..

Baru dua kali aku menekan tombol nomor, tiba-tiba aku dikagetkan..
Dikagetkan oleh tepukan seseorang dibahuku..

"Woi mas.. sudah siap? Aku sudah siap mengantarkanmu dan ibu nya ke atas semeru", kata pemuda dengan setelan hitam abu-abu itu.

Kulihat dia sudah berdiri disampingku, seorang pemuda dengan perawakan tinggi dan tegap serta senyum diwajahnya. Disandangnya carrier bergantungkan kapak, khas seorang pendaki.

"Sukoo.. bagaimana kau tahu aku akan kemari lagi?", tanyaku bingung tapi bahagia.
"Sudahlah, aku sudah tahu apa yang akan kau hadapi. Selama ini aku siap dan menunggu hari ini datang. Dan aku paham bila kau akan kesini lagi. hahaha..", ucapnya dengan keramahan khas jawa.

Kuajak dia untuk menemui tante ida. Disalamnya tante ida sambil mencium punggung tangan mama mu kawan..

"Nama saya suko tante. Saya juga ikut dalam rombongan anak tante waktu naik ke semeru..", jelas suko dengan logat santunnya. 
"Mari semua kepangkalan jip. Aku sudah siapkan tumpangan kita untuk ke ranupani..", jelas suko kepada kami. 

Bagaikan sudah tahu akan apa yang kmi butuhkan, suko telah menyiapkan segela keperluan dari mulai jip tumpangan itu, logistik serta air minum dalam botol mineral. Bahkan suko juga membelikan nasi bungkus tanpa harus menanyakan berapa orang yang akan pergi bersamanya kali ini.

Aku sempat bingung juga, sebenarnya ini anak apa ya.. Kok sudah tahu kalau kami bertiga dan empat dengan dirinya. Apakah ini yang disebut orang dengan ilmu laduni? Ilmu yang mengetahui segala sesuatu sebelum hal itu terjadi?

Aah..
Tak kupermasalahkan hal itu. Tapi aku selalu berdoa akan keselamatan kami dan orang-orang yang telah membantuku selama ini. Perjalanan kami mulai dengan jip yang berwarna merah..

"Semoga perjalanan kalian menyenangkan ya bos.. Kalau supiran saya kurang nyaman, tolong ditegut", kata si supir jip.
"Oohh.. iya nama saya amin. Panggil saja cak amin atau bisa dipanggil pak riko. Soalnya saya bapaknya riko, anak saya. hahaha..", katanya lagi sambil menyupir jip merah itu. 

Perjalanan yang sebenarnya sangat menyenangkan. Kami melewati deretan gedung-gedung bertingkat dengan arsitektur belanda, seperti kota tua. Kami melewati beberapa pasar dan hamparan persawahan yang penuh kenangan.

Kami mulai melewati beberapa tanjakan diperbatasan tumpang. Perbatasan dimana perkotaan dan hutannya. Jalan meliuk-liuk mengarah ke timur, jalan dengan medan terjalnya. Tak sedikit memangjalan yang putus karena jalan cor nya tegerus oleh air hujan yang tumpah ke jalan. 

Udara dingin semakin dingin menandakan kami telah ada diketinggian yang lumayan. Sampai di ngadas.. suatu desa diatas dan merupakan perbatasan kabupaten malang dengan kabupaten lumajang. Pak amin memberhentikan mobilnya, beliau menuju ke salah satu warung disisi sebelah kanan jalan, serta mengatakan.

"Pak tolog ireknya dua puluh liter, solarnya lima belas liter yo..", kata pak amin yang aku dengar dari atas mobil.

Apa irek itu? Apakah semacam bahan bakar buatan sendiri, atau apa? Tak sempat kutanyakan apa itu pada supirku yang sangat mahir dengan medan jalan menuju ranu pani itu. Dituangkannya empat jerigen penuh bahan bakar kedalam tanki bbm jip ini.

"Pake irak mas mobil ini. Soalnya kalau cuma pakai solar suka ngambek alias mogok. Hahaha.. ya karena solar kita mutunya jelek. hehehe..", kata nya seraya men stater jip nya dan melanjutkan perjalanan kami.

Sekali lagi, apa itu irek? Aku tak paham akan istilah perbahan bakaran waktu itu. Yang aku inginkan hanya cepat sampai pada pos pertama mahameru yang menjulang tinggi itu. Mahameru yang sudah mengintip kami dari kejauhan megah dengan bertutup awan putih. 

Kurang dari sejam kami tiba di ranu pani dengan gugusan air danau yang menghijau. Kulirik ada sebuah rakit bambu dengan pemancing diatasnya. Kuhampiri rakit itu hanya untuk menyingkirkan kepenatan akibat perjalanan menjemput kedukaan ini..

"Mancing pak.. Pakai pakan (umpan) apa?", tanyaku pada pemancing itu.
"Resep..", jawabnya singkat. 

Resep apa itu? Apakah yang dimaksud dengan pakan ikan resep, apakah resep itu adalah sebuah merk?
Kuambil pakan ikan itu dan kucium. Oo.. ternyata pelet ikan itu disebutnya resep. Tertawawa diri ini dengan istilah pakan ikan saja, mereka menyebutnya resep. Bagai resep dokter saja ucapku dalam hati dengan tersenyum.

Kutinggal pemancing itu menuju keatas lagi. Ke pos pertama semeru yang hanya terbuat dari pondok kayu..

"Sudah.. sudah aku bayar biaya restribusinya", kata suko.

Ternyata suko suda membayar dan mengurus simaksi, dan istilah itu baru aku pahami sekarang. Simaksi perjalanan yang penuh duka lara ini. Data sudah diambil, semua cek list telah disetujui oleh petugas disana. Kami dibarengi oleh dua orang petugas jagawana.

"Kami ucap bismillah atas segala rahmat dan berkah keselamatan dari gusti pangeran ingkang agung..", kata suko memanjatkan doa.

Petualangan untuk mengenang pilu ini kami mulai..

BERSAMBUNG

Komentar

Postingan Populer