Teror Pocong (Part 1)

Awalnya saya tidak yakin dengan cerita ini, tapi dari sekian banyak pengalaman saya ini adalah salah satu kejadian yang paling seram. Membekas bahkan sampai sekarang. Dan jujur sampai saat ini saya masih merinding jika mengingat lagi kejadian ini. Jadi sebelum saya masuk keceritanya, kalian boleh percaya atau tidak percaya kalau memang ada makhluk lain yang hidup berdampingan dengan kita. Terlepas dari itu kita sudah seharusnya saling menghormati satu sama lain. 

Waktu itu hari mulai petang, teman saya, Johan tiba-tiba bilang yang ganjil, "Bro, ngga pulang? Sebentar lagi maghrib lho..". Saya bingung, karena tidak biasanya Johan maupun teman-teman yang lain menyuruhku pulang meski waktu masih belum malam. Dan saya perhatikan kalau teman-teman yang lain setuju. Memang saya kalau main selalu ke desa tetangga. Sebuah desa yang terletak di sebelah Timur dari desaku berada. Waktu itu aku masih di bangku SMU dan jalanan di daerahku belum ada yang diaspal sama sekalli. Jadi masih berupa batu dan tanah. 

Desaku dan desa tetangga itu satu kecamatan. Hanya terpisah oleh sebuah sungai kecil dan sebuah pemakaman. Pemakaman ini khusus hanya untuk penghuni desaku dan desa tetangga. Jadi bisa dibilang ini adalah pemakaman satu-satunya dan untuk bersama. Karena teman-temanku bergegas untuk pulang, akhirnya saya juga memutuskan untuk pulang. Saya pun pulang, meski sebenarnya hati ini masih belum ingin pulang. Karena kita juga dibilang cukup jarang bertemu karena kesibukan kita di sekolah masing-masing.

Disepanjang jalan yang dipenuhi rumah warga saya baru sadar bahwa semua rumah sudah tertutup. Menurutku ini aneh. Tidak biasanya masih sore begini dan semua rumah sudah tertutup. Bahkan beberapa rumah juga sudah mematikan lampu terasnya. Pos kamling yang ada diujung jalan desa yang biasanya ramai oleh bapak-bapak, saat itu juga kosong. Saya masih tetap mengayuh sepeda dengan tetap memperhatikan rumah-rumah warga yang ada disana. 

Penerangan dijalan desa ini tidak terlalu bagus. Hanya ada lampu-lampu dari sumbangan para warga yang mampu. Dan tanpa saya sadari, saya sudah akan keluar dari desa tetangga dan masuk ke jembatan yang dibawahnya dialiri sungai. Dan disinilah akhirnya saya bertemu dengan seseorang. 

Dari jauh memang saya melihat siluet orang yang akan menyeberang melalui jembatan dari arah yang berlawanan. Tapi dia hanya diam. Saya pikir mungkin sedang menungguku. Karena memang jembatannya sempit dan tidak bisa di pakai untuk dua jalur. Semakin saya mendekat, perasaan ini menjadi tidak enak. Seolah-olah ada angin dingin yang menerpa tubuhku dari depan. Begitu sudah dekat dengan jembatan, akhirnya saya bisa melihat dengan jelas siapa yang berdiri disana. "Ah.. rupanya Mbak Sum".

Semua orang tahu siapa Mbak Sum. Beliau adalah warga desa tetangga tempatku main seperti biasanya. Tidak pecel yang seenak buatan Mbak Sum, itulah kenapa beliau sangat terkenal. Begitu kita berpapasan, saya menyapa beliau seperti saya menyapa warga lain ketika bertemu di tengah jalan. "Monggo..", sapaku. Tapi aneh, Mbak Sum tidak menjawab salamku. Beliau cuma berdiri. Matanya kosong menatapku kemudian beralih menatap kepemakaman diseberang jembatan. Saya pikir mungkin beliau tidak mendengar salam ku. Tanpa pikir panjang, saya langsung lanjut mengayuh sepeda masuk kejalar pemakaman. 

Meski pemakaman, saya sudah sangat sering melewatinya. Karena memang hanya ini akses jalan menuju desa sebelah, kecuali kalau mau memutar lebih lewat pabrik gula. Anehnya petang ini saya tidak melihat siapaun yang lewat sini. Sunggu aneh. Seharusnya di jam-jam segini banyak orang yang lewat sini selain aku. Karena akses ini adalah akses yang paling dekat, dan justru orang-orang malas jika harus memutar melewati pabrik gula. 

Saya mencoba untuk tidak berpikir aneh-aneh. Sesaat sebelum memasuki areal pemakaman tidak lupa saya juga mengucapkan salam. Gemerincing rantai sepedaku terdengar kasar di tengah heningnya suasana. Perasaan menjadi tidak enak, biasanya kalau sudah begini menandakan rantai sepedaku akan lepas. Saya cuma berkata dalam hati, "Jangan disini.. jangan disini..". Sial.. rantai sepedaku lepas di saat dan tempat yang tidak tepat. Aku mengumpat keras-keras. Buru-buru saya berusaha untuk membetulkan rantai sepedaku. Sambil membetulkan, saya melihat kedepan dan kebelakang. Masih juga tidak ada orang yang lewat. Kalau saya ini bukan sepedaku satu-satunya, pasti sudah kutinggal.

Disela saya membetulkan rantai sepeda, saya mendengar suara burung. Saya lihat sekeliling. Suaranya semakin terdengan jelas dan keras. Disini mau tidak mau akhirnya saya melihat ke areal pemakaman. Pemakamannya sendiri terpisah dari jalan utama. Dipisahkan oleh tembok setinggi dada orang dewasa. Waktu saya berdiri, saya bisa melihat barisan batu nisan danpohon kamboja di samping-sampingnya. Tapi ada yang menarik perhatianku. Dari balik salah satu pohon kamboja, seperti ada yang sedang mengintip melihat kearahku. Saya mencoba menyipitkan mata berusaha memperhatikan sebelum ada seseorang yang menepuk bahuku. Saya berjingkat saking kagetnya. Tapi begitu saya tahu siapa yang menepukku, saya jadi lega.

"Ngapain maghrib-maghrib disini?", katanya. Beliau adalah Pak Salam. Penjaga atau juru kunci makam ini. Yang rumahnya tepat di gerbang pintu masuk makam desa ini. "Rantai saya lepas Pak..", jawabku. Beliau memperhatikan sekeliling. Tertangkap rasa gelisah dari mimik wajahnya. "Ya sudah ayo saya bantu", tawar Pak Salam. Beliau membantu membetulkan rantai sepedaku. Sementara saya kembali memperhatikan kemana mataku tadi tertuju. Dan tidak ada siapa-siapa. Ternyata hanya ada pohon kamboja tanpa ada siapa-siapa dibaliknya. 

Begitu rantai sudah terpasang, Pak Salam segera memintaku untuk segera pulang dengan nada yang memburu. "Sudah cepat pulang. Jangan lupa bersihin badan dan jangan keluar-keluar lagi", kata Pak Salam. Saya cepat-cepat mengayuh sepedaku untuk pulang. Sementara Pak Salam kembali pergi dengan senter tua nya digenggaman. Itu adalah pengalaman yang sedikit mengerikan saat melewati pemakaman desa. Dan itu ternyata hanya awalnya saya. Karena begitu tahu apa yang sebenarnya terjadi, saya mungkin tidak tahu lagi harus ngomong apa.

Satu minggu setelah kejadian itu, saya bertemu dengan Johan di GOR. Yang biasa digunakan untuk olahraga. Saya dan Johan memang beda sekolah dan seperti yang saya bilang, saya jarang main ke desa sebelah. Dan kebetulan rumah Johan berada didesa sebelah. Johan sendiri temanku semenjak SD. Kami pun berbasa-basi, ngobrol apa saja. Dan tiba-tiba saya teringat kejadian seminggu yang lalu dan saya ceritakan semuanya ke Johan. Mulai dari rumah warga sampai kejadian dipemakaman yang menurutku seram. Tapi saya lupa menceritakan momen ketika saya bertemu dengan Mbak Sum di jembatan.

Awalnya Johan tidak tertarik dengan ceritaku, dan rumah warga yang sudah tertutup itu adalah hal yang lumrah menurut Johan. Saya tahu sepertinya ada yang ditutupi oleh Johan. Saya juga cerita ketika di pemakaman seperti ada yang memperhatikan dari balik pohon kamboja. Dan Johan masih terlihat tidak tertarik. Sampai akhirnya saya teringat dan bercerita kalau sempat bertemu dengan Mbak Sum dijembatan. 

Disaat itu saya tahu Johan nampak pucat dan dia melihatku dengan tatapan ngeri. Johan hanya diam dan kemudian pamit untuk kembali kesekolah. Saat itu saya tidak merasa penasaran, karena semua rentetan kejadian ini tidak ada yang perlu di jadikan alasan untuk penasaran. Sampai akhirnya ketika saya dirumah dan Ibu bilang kalau hari itu tidak masak, dan saya usul ke Ibu, "Beli pecelnya Mbak Sum aja Bu..".

Ibu cuma melihatku dengan tatapan yang bingung, "lho kamu ngga tahu?", tanya Ibu. "Tahu apa Bu?", tanyaku balik. "Mbak Sum kan sudah meninggal, sebulan yang lalu", jawab Ibu. Saya cuma membatin dalam hari. Saya sudah tahu sekarang. Jujur saja saya termasuk orang dengan interaksi sosial yang sangat kurang. Jangankan dengan tetangga desa, dengan tetangga sendiri saja saya sering lupa namanya. Dan saya memang lebih nyaman berinteraksi dengan orang-orang tertentu. 

Saya masih tdidak percaya dengan apa yang beru saja Ibu sampaikan. Sampai saya baru ingat, kejadianku bertemu dengan Mbak Sum hanya seminggu yang lalu. "Ngga salah Bu? Masa sudah sebulan?", tanyaku lagi ke Ibu. Beliau cuma bilang "Kalau tidak salah". Karena Ibu sempat takziah ke sana ketika Mbak Sum meninggal. Tapi Ibu merasa ada yang aneh ketika pemakaman Mbak Sum. Saya bertanya apa yang aneh, tapi Ibu tidak mau memberitahu. Katanya tidak boleh membicarakan orang yang sudah meninggal. Saya pun sempat mendesak Ibu untuk tetap bercerita karena saya juga merasa penasaran. Tapi Ibu tetap tidak mau bercerita dan Ibu cuma bilang, tidak ada yang diijinkan melihat jenazah Mbak Sum. "Tanya aja Bapakmu, Bapak kan ikut nguburin..", lanjut Ibu. 

Sepulangnya Bapak dari bekerja, saya langsung menanyakan perihal pemakaman Mbak Sum. Bapak hanya melihatku dengan tatapan yang penuh selidik, "Hust ngga pantes ngomongin orang yang sudah meninggal". Singkatnya saya juga tidak mendapatkan info apa-apa dari Bapak. Dan tiba-tiba aku teringat soal Johan. Saya mencoba mencari Johan di rumahnya, dan akhirnya kita bertemu dilapangan. Johan sedang main bola dengan teman-teman yang lain. Johan dan lainnya hanya diam saat saya menanyakan tentang Mbak Sum. Dan lagi-lagi Saya pulang dengan kecewa. 

Saya mencoba hitung lagi antara kemitan Mbak Sum dan saat saya bertemu dengan beliau di jembatan waktu itu. Dan saya masih tidak habis pikir kalau memang Mbak Sum sudah meninggal sebulan yang lalu, terus siapa yang saya temui waktu itu. Intinya waktu berjalan cepat dan saya bertemu lagi dengan Johan. Dia sedang bersama dengan teman-teman sekolahnya di warung dekat alun-alun. Disini saya menghabiskan banyak waktu mengobrol dengannya. Sampai akhirnya Johan nyeletuk, "Kamu masih penasaran kenapa aku ngga mau ngomongin tentang Mbak Sum?", tanya Johan tiba-tiba. Saya kaget, karena sudah lama saya tidak tertarik lagi dengan cerita itu. Tapi Pertanyaan Johan terlalu menggiurkan untuk ditolak.

Johan memperhatikan sekeliling seperti akan menyampaikan sebuah rahasia negara. Kemudian melihatku sambil setengah berbisik, "Mbak Sum jadi pocong..". Saya cuma bilang, "Astagfirulah.. jangan ngarang ah." Johan menyanggah ucapanku, setelah 7 hari pemakaman Mbak Sum, didesanya diteror oleh pocong yang wajahnya menyerupai Mbak Sum. Disini saya cuma diam dan mendengarkan Johan bercerita tentang pengalaman dari semua warga desa yang melihat penampakan pocong itu. 

Johan masih terlihat takut, terdengar dari suaranya yang pelan. Seolah-olah apa yang dia ceritakan ini akan mengejar dia jika dia ceritakan ke orang lain. Dan saya malah semakin penasaran. Singkatnya Johan cerita kalau sebelum Mbak Sum meninggal, beliau sempat sakit keras. Masalahnya rumor yang beredar adalah sakit dari Mbak Sum bukanlah sakit yang umum alias ganjil. Kalau Johan curi dengar dari obrolan Ibu dan Bapaknya, Mbak Sum disantet oleh seseorang. Anak-anak tetangga juga ramai membicarakan Mbak Sum, mereka juga penasaran apa yang menimpa beliau. Tapi waktu itu sudah tiak boleh ada yang menjenguk lagi. Rumahnya sengaja ditutup dan sudah tidak ada yang boleh menjenguknya. 

Cerita yang paling jelas yang Johan tahu kondisi Mbak Sum, datang dari Buk Mi. Tetangga Mbak Sum yang kebetulan punya warung. Waktu Johan sedang membeli sesuatu di warung Buk Mi, beliau sedang ngobrol dengan tetangga yang lain yang kebetulan juga ada disana. Disitu Johan dengar dengan jelas kalau wajah Mbak Sum aneh. Seluruh wajahnya menghitam, dan kondisi matanya melotot. Tidak hanya itu, bagian tubuh lainnya juga hitam dan ada luka semacam melepuh, dipenuhi dengan nanah. Mbak Sum hanya hanya terisak, menangis menahan sakit. Semua orang yang ada disana kala itu tidak bisa berbuat apa-apa.

Keluarga Mbak Sum sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kabarnya mereka juga sempat memaanggil orang pintar. Dan anehnya beberapa orang pintar yang baru datang dan hanya dengan melihat rumah Mbak Sum, memutuskan untuk langsung pulang, mengatakan kalau dia tidak mampu. Ada yang sempat masuk dan kembali pulang katanya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Keluarga akhirnya menyerah dan mulai pasrah. Hampir semua tetangga yang sudah berkeluarga tahu tentang hal itu. Tapi mereka semua sepakat untuk tidak membongkar cerita ini terutama agar orang luar desa tidak tahu. 

Disini saya pun berpikir, jangan-jangan Bapak ku juga tahu akan cerita ini. Terus terang, mendengarkan Johan bercerita, bulu kuduk ku merinding karena membayangkan apa yang terjadi, padahal hari masih siang. Dan anehnya, saya tidak tahu ada cerita yang menghebohkan seperti ini didesa tetangga.

Tepat sebulan lebih Mbak Sum menderita, Mbak Sum meninggal. Disini Johan bisa lihat sendiri kalau ada yang aneh dengan pemakaman Mbak Sum. Rumahnya ditutup dengan kain hitam dan warga hanya boleh membantu seadanya mempersiapkan pemakaman. Johan pun sempat membantu dengan memotong bambu. Sementara Johan memperhatikan sana sini, keluarga Mbak Sum memasang kembang disekeliling rumah. Saat itu sekitar jam 4 sore tapi langit sudah gelap dan suasanya seperti suram.

Jenazah dibawa ke pemakaman sekitar menjelang maghrib, diiringi oleh warga sekitar. Johan dan pemuda-pemuda desa yang lain dicegah untuk ikut ke pemakaman. Akhirnya proses pemakaman dilangsungkan secara tertutup, cuma warga yang sudah tua-tua yang ikut ke pemakaman. Tak lama Johan mendengar dari sepupunya yang kebetulan ikut dalam pemakaman, "Untung kamu ngga ikut..". Katanya sempat ada beberapa warga yang pingsan. Sambil menghisap rokok, dengan wajah tegang sepupunya bilang kalau warga yang pingsan itu karena melihat jenazah Mbak Sum. 

Mulai dari sini semua terlihat lebih jelas. Saya akan mencoba bercerita dari sudut Johan berdasar dari cerita para tetangga desanya. Karena terornya sendiri hanya terjadi di desa Johan, tidak sampai ke desaku.

Buk Mi adalah pemilik warung sekaligus tetangga dari Mbak Sum. Rumah mereka hanya dipisahkan oleh gang kecil. Sedangkan warung Buk Mi terletak diseberang lapangan voli tidak jauh dari rumahnya. Setelah acara tahlilan yang di adakan di rumah Mbak Sum setelah sholat Isya, Buk Mi membuka warungnya. Beliau biasanya menyajikan kopi dan gorengan untuk tetangga sekitar yang sekedar ingin ngopi atau cari angin di desa. Tapi malam itu suasananya berbeda. Tidak pernah Buk Mi merasakan situasi yang sesepi ini didesanya. Dia cuma duduk sambil melihat jalanan yang kosong. Kemudian firasatnya mengatakan malam ini harusnya dia tidak membuka warungnya. Dan benar saja. 

Setelah merasakan situasi yang sepi dan hati yang tidak tenang, sekarang dia mencium aroma bunga kamboja. Sebenarnya bau dari bunga kamboja itu sangat tipis bahkan nyaris tidak berbau. Tapi kali ini bau nya sangat menyengat. Dilihatnya kesana kemari darimana bau ini berasal, jalanan masih sepi. Sementara angin dingin malam ikut berhembus. Jam masih menunjukkan jam 8 malam, tapi sudah seperti tengah malam. Sampai akhirnya Buk Mi mendengar suara orang yang memanggilnya, "Mbok.. mbok..".

Buk Mi hafal dengan pemilik suara ini. Belian juga tahu dari mana asal suara ini. Tapi hati nya menolak untuk mencari tahu semakin dalam lagi. Sementara suara itu terus memanggil, "Mbok... iki aku mbok..". Setelah perang batin, akhirnya Buk Mi memberanikan diri untuk berbalik. Dilihatnya sosok yang memanggilnya berdiri disebelah warungnya. Buk Mi hanya bisa berucap istigfar sambil menutup matanya, karena apa yang dia lihat benar seperti apa yang dikiranya. Itu adalah Mbak Sum tapi sudah dalam wujud pocong. 

Sambil masih terpejam, samar Buk Mi masih mendengar sosok itu masih berbicara, "Mbok tolong..". Mbok Mi tetap menutup matanya. Suaranya itu masih terus terdengar, dan dengan keberanian yang masih tersisa Buk Mi membuka matanya dan melihat Mbak Sum masih berdiri ditempat yang sama. "Uwis nduk.. awak dewe saiki wis bedo alam. Muliho yo nduk..", kata Buk Mi. Tapi seperti tidak mengindahkan perkataan Buk Mi, sosok itu masih tetap berdiri ditempatnya dan masih meminta tolong. Buk Mi tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Sampai akhirnya Buk Mi mengingat  kenapa Mbak Sum menemuinya, "Sepurane yo nduk nek aku duwe salah. Sepurane sing akeh. Mulai saiki aku wes nyepurani awakmu. Saiki mbalik'o ning asalmu..", lanjut kata Buk Mi. Tepat setelah Buk Mi berkata seperti itu, sosok pocong Mbak Sum pergi. Saat itu juga Buk Mi menutup warungnya dan segera pulang. Namun Buk Mi tidak menceritakan hal ini kesiapapun termasuk ke keluarga Mbak Sum sendiri, karena Buk Mi mengerti kalau nantinya semua akan mendapat gilirannya sendiri.

BERSAMBUNG

 





Komentar

Postingan Populer