Kita Tinggal Disini Saja Ya.. (Pendakian Mistis Gunung Salak) Part 2
Setelah 10 menit kami berjalan, kembali aku merasa aneh. Kami sudah berjalan cukup jauh tetapi tidak sampai-sampai ke tenda kami. Belum lagi disepanjang jalan aku mencium bau kemenyan yang sangat menyengat. "Bay, kayanya kita muter-muter aja deh daritadi. Aku inget kita sudah lewati pohon itu", kataku ke Bayu sambil menunjuk kesebuah pohon besar dengan ranting-ranting panjangnya yang menjuntai. "Semua pohon dihutan sama aja kali Ki, ada-ada aja. Sebentar lagi kita juga sampai kok. Udah ngga usah parno gitu..", lagi-lagi Bayu berkata dengan sombongnya. Tapi mau bagaimana lagi, akupun cuma diam dan lanjut berjalan. "Ki, kayanya kita harus lewat situ kalo mau cepet sampai. Itu aku inget patok itu tuh yang ada disana", kata Bayu tiba-tiba. "Kamu yakin Bay, nanti kita makin nyasar?", tanyaku. "Udah kamu percaya aku. Kan bukan baru sekali aku kesini", jawab Bayu. Dan aku menuruti Bayu. Tapi sebelum itu aku sempat menandai sebuah pohon dengan menaruh selayer disitu.
Aku melihat jam, dan waktu sekarang menunjukkan jam setengah lima sore. Dan kabut mulai menjadikan suasana semakin gelap, dan udara bertambah dingin seiring malam yang menjelang. Suasana semakin gelap dengan makin rapatnya vegetasi disekitar kami. Bayu berjalan didepan dan aku berjalan dibelakang mengikutinya. Hingga tiba-tiba Bayu terpeleset dan jatuh kecelah tebing. Ia bergelantungan dan berpegangan dengan akar pohon. "BAAYYYY!!!!!", aku menjerit panik sambil berusaha menahan dan menarik Bayu keatas dengan sekuat tenaga. Bukannya aku berhasil menarik Bayu naik, malahan aku ikut jatuh dan kami meluncur kebawah setelah berkali-kali tubuh kami menabrak batang-batang pohon dan akar disepanjang tempat kami jatuh.
Gelap dan aku tak sadarkan diri sampai aku merasa tubuhku diguncang-guncangkan oleh seseorang. "Ki, bangun Ki.. Kamu gapapa kan?", walaupun pusing dan berat aku memaksakan diri untuk bangun. Aku memandang wajah Bayu dengan pandangannya yang sangat khawatir. "Kita dimana nih Bay?", tanyaku."Duh ngga tau Ki, kita jatuh lumayan jauh dari jalur", jawab Bayu sambil menunjuk keatas temapt awal kita jatuh. "Kayanya ngga mungkin kita naik kesana Bay. Sekarang gimana ini Bay?", tanyaku ke Bayu. "Kita lewat situ aja Ki. Tadi aku sempat cek, kayanya disitu ada jalan. Kali aja kita ketemu rumah warga disitu", jelas Bayu. Pikirku, mana ada warga yang tinggal dihutan seperti ini. Tapi aku tidak punya pilihan lain selain berpikir positif dan tidak mematahkan semangat temanku. "Mudah-mudahkan kita ketemu orang atau Kang Daud pasti sudah mencari kita sekarang", kataku, setengah berdoa. Setelah Bayu memeriksa kondisiku ternyata kakiku terkilir sehingga Bayu harus memapahku untuk berjalan. Bayu menawariku untuk berhenti berkali-kali karena melihat kondisi kakiku. Aku pun mencoba untuk sedikit menahan sakit dan memilih untuk terus berjalan.
Kita akhirnya sampai ditempat yang landai dan diujung jalan terdapat sebuah gubuk yang tampaknya seperti warung. Walaupun tidak ada penerangan listrik dan hanya mengandalkan beberapa obor disisi kanan kiri, gubuk itu nampak sangat terang di kegelapan hutan. Hatiku kecilnya menyerukan untuk segera lanjut pergi menjauhi gubuk itu. Tetapi Bayu bersikeras untuk pergi kesana dan meminta pertolongan. "Ki kita kesana dulu, kita minta tolong sama yang punya warung. Wangi banget pisang gorengnya. Aku lapar..", kata Bayu. "Bay, yakin itu warung beneran? Kok aku ngga nyium bau pisang goreng kaya kamu", tanyaku. "Ya benerlah Ki, masa kita berdua sama-sama liat tapi salah liat", Bayu meyakinkan. Dengan memapahku, kami menghampiri warung itu. Bayu menyapa teteh yang ada diwarung itu. Si teteh pemilik warung itu berkerudung putih dan sedang membelakangi kami saat Bayu menyapanya. Tanpa merasa ada yang aneh, Bayu bertanya kepada teteh pemilik warung, "Teh, ada pisang gorengnya?", tanya Bayu. "Iya sebentar ya A', ini lagi saya goreng", jawab teteh itu datar.
Tanpa menoleh teteh pemilik warung menjawab pertanyaan Bayu. "Bay, aku pengen kencing", kataku yang tiba-tiba tidak bisa menahan untuk kencing. "Teh, temen saya mau kencing. Ada kamar mandi teh?", tanya Bayu ke teteh itu. "Ada A' dibelakang", jawab teteh masih tanpa menoleh. Bayu menawarkan diri untuk menemaniku, tapi aku tahu Bayu namapk tidak sabar menunggu pisang goreng itu matang. Jadi aku memutuskan untuk pergi sendiri, "Ngga usah Bay, aku bisa sendiri kayanya". Benar saja, kamar mandi yang dimaksud ada dibelakang gubuk ini. Sama dengan warung teteh didepan, disinipun tidak ada lampu penerangan hanya ada obor didepan pintu kamar mandi. Akupun masuk.
Tidak lama ada orang yang menggedor-gedor pintu kamar mandi seperti ia tidak sabar. "Iya sebentar, saya masih kencing", aku berteriak ke orang itu. Gedoran itu berhenti dan keadaan menjadi hening sebentar. Tapi ketika aku hendak mengaitkan celana sesudah kencing, gedoran tidak sabar terdengar lagi dan makin lama makin kencang sehingga mengguncnag pintu reot kamar mandi ini. "Iya.. iya saya keluar", aku pun bergegas untuk keluar. Anehnya ketika aku membuka pintu, tidak ada seorangpun diluar. Merasa ada sesuatu yang tidak beres aku pun tertatih segera mencari Bayu. Aku melihat Bayu sedang menikmati pisang gorengnya dan teteh pemilik warung masih dalam posisi yang sama, membelakangi Bayu. "Teh tadi ada orang yang gedor-gedor pintu kamar mandi, siapa ya Teh? Tapi pas saya buka pintu, ternyata ngga ada siapa-siapa", tanyaku kemudian. "Ooh itu yang tinggal disini juga", teteh itu menjawab pelan. "Tapi waktu saya buka pintu tadi kok ngga ada Teh", lanjutku. Aku sangat yakin penglihatanku tidak salah. Tidak ada siapa-siapa disana, tidak ada juga orang satupun seperti yang dimaksud teteh-teteh ini.
"Dia ngga suka sama yang dibawa Aa' ini", jawab teteh itu tapi dengan suara yang berbeda. Suara teteh itu berubah menjadi suara yang menyeramkan di telingaku. Dan sontak Bayu tersedak, "Hah, ngga suka? Ngga suka kenapa Teh?', tanya Bayu. "Ngga suka sama yang gantung di leher Aa'," jawabnya tegas. "Ini maksudnya Teh?", tanya Bayu lagi sambil menunjukkan jimatnya. Teteh pemilik warung secara perlahan memutar kepalanya. Iya, hanya kepalanya yang berputar menghadap kami. Sedang tubuhnya masih diposisi yang sama, menggoreng pisang goreng. Tapi yang paling membuatku terkejut setengah mati, teteh pemilik warung itu bermuka rata. Tanpa mata, alis, hidung dan juga tanpa mulut. Melihat itu spontan aku segera berlari dengan menyeret kakiku yang terkilir dan tidak lupa aku menarik lengan baju Bayu untuk menjauhi warung setan itu.
Aku terus berlari tanpa henti. Dan setelah aku yakin kami telah jauh dari warung itu dan teteh itu tidak mengejar kami, aku pun berhenti sambil terengah-engah. Nafasku kacau, jantung rasanya seperti mau lepas. Aku menoleh kearah Bayu yang tiba-tiba berbicara ngelantur, "Ki, kita tinggal disini aja ya..", kata Bayu. "Hah, maksud kamu Bay?", masih belum pulih syok aku melihat setan muka rata dan sekarang harus menghadapi Bayu yang sepertinya sedang kerasukan. "Ya liat aja disini adem, dingin, rame, banyak orang kaya aku juga disini", Bayu pun menyunggingkan senyum misterius, ia kemudian melanjutkan ocehannya, "Banyak juga yang mau tinggal disini juga kaya aku. Tuh, kaya yang ada disana..", Bayu menunjuk ke rerimbunan pohon dengan senternya. "Ah jangan ngaco kamu Bay, ngga lucu. Aku takut banget..", balasku.
Dan tiba-tiba Bayu bersandung ringan kemudian tertawa, tatapannya tampak kosong dan makin membuatku merinding mendengar senandungnya. Dan dia kembali bicara, "Kita tinggal disini aja ya Ki.. Enak, rame. Sama teteh warung itu juga", Bayu pun terus berbicara seperti itu, kemudian kembali bersenandung dan tertawa. Aku mundur perlahan menjauhi Bayu ketika aku melihat disekeliling Bayu muncul banyak penampakan. Disebelah kanan Bayu ada teteh pemilik warung dengan mukanya yang rata. Disebelah kirinya ada mas-mas yang tadi bertemu dengan ku di mata air. Belum lagi ada di belakang Bayu ada seekor harimau yang sangat besar. Dan yang paling membuat buku kuduk merinding ketika udara dingin berhembus kencang dan terdengar dengan jelas suara tertawa khas kuntilanak dari atas pohon tepat diatasku.
Aku mulai menangis ketakutan, sekuat tenaga aku mencoba berdoa sambil terus menangis. Semakin kencang aku berdoa semakin dingin udaha disekitarku. Aku mendengar suara yang mirip desisan dan bisikan yang semakin lama semakin nyaring ditelingaku. Tapi aku tidak bisa mendengar apa arti dari bisikan itu. Dan tidak ada siapapun disitu selain aku, Bayu dan juga "mereka" yang sedang mengamatiku. Diantara doa yang kupanjatkan, aku meminta Kang Daud mencariku dan Bayu yang menghilang.
Tidak lama kemudian tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku, "Dek.. dek..", suara yang familiar ditelingaku. Aku membuka mata dan menoleh, aku melihat sekelebatan bayangan yang mirip Kang Daud diantara pepohonan. "Bay.. Bay.. sadar Bay.. Itu Kang Daud manggil", aku masih berusaha menyadarkan Bayu ditengah ketidak jelasannya itu. Dengan mata melotot Bayu berucap, "Gak mungkin ada Kang Daud Ki, disini yang ada cuma orang mati. Seperti kami ini.. hahahaha..", Bayu berkata tidak jelas dan tertawa menyeramkan. Dengan membaca Bismillah, aku menyenter kearah bayangan Kang Daud dan mulai meninggalkan Bayu.
Aku terus berlari menyeret kakiku , mengikuti bayangan sekelebatan yang tadi aku lihat. Aku berlari makin menembus ke dalam hutan. Dan senterku mati secara tiba-tiba dan keadaan disekelilingku menjadi gelap seketika. Tidak ada cahaya satupun, aku tidak pernah merasa setakut ini. "Tolong...!!!!!", aku mencoba berteriak. Tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku berteriak sekuat tenaga tetapi tidak ada satu katapun yang keluar seperti aku sedang berteriak didalam hati, seolah adalah seorang bisu yang mencoba bicara lantang.
Makin aku teriak, makin tenggorokan ini terasa tercekik, terhimpit dalam kegelapan. "Tidak..", suara itu semakin mendekat. Suara aneh yang tidak mungkin berasal dari makhluk nyata. Bukan hewan dan jelas bukan manusia. Suara kombinasi antara bisikan dan desisan, suara halus yang pelan tetapi terasa nyaring di telinga. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan kaki untuk segera hengkang dari tampat ini. Menarik kaki dengan terseret-seret, menjauh. Menjauhi suara yang semakin jelas mengejar dibelakang. Suara itu semakin jelas membentuk suatu kata yang pantang diucap oleh pendaki, "MATI!!!".
Aku terus berlari menyeret kaki sambil menangis, "TOLOONNGGG...". Akhirnya aku berhasil berteriak. Tapi aku merasa teriakanku percuma, tidak ada orang disini. Tetapi aku tidak mau mati. Tidak ditempat ini, bukan dengan cara seperti ini. Aku harus terus berlari menghindari semua yang ada dibelakangku. "Kang Daud..", aku berteriak memanggil, berharap sekelebat bayangan tadi yang mirip beliau kembali menampakkan diri. Dan kembali aku melihat bayangan itu berkelebat menunjukkan arah. Aku terus berlari mengejar bayangan itu sampai aku mendengar gemericik air.
Bayangan itu hilang seiring dengan subuh yang mulai datang. Aku terus berjalan terus mengikuti suara air sampai akhirnya tiba di mata air, hingga aku tidak kuat lagi untuk berjalan, seluruh tenagaku sudah habis. Aku tertunduk disalah satu bebatuan. Karena terlalu lelah, akhirnya aku tertidur.
Aku terbangun karena sebuah tepukan. Ternyata seorang warga menemukanku sedang tertidur. "Jangan tidur disini Neng, bahaya neng", kata orang itu. Aku kembali menangis karena merasa lega akhirnya ada yang menemukanku. "Neng bisa jalan? Mari saya bentu sampai bawah", warga itu membantuku turun sampai ke bascamp. Ternyata Ismail dan kelompok Kang Daud sudah sampai disana.
"Ki kamu darimana aja? Untung kamu selamat", kata Ismail menyambut. "Bayu gimana Is?", tanyaku tanpa menjawab. "Udah kamu istirahat dulu. Nanti biar Kang Daud yang cerita..", saran Ismail. Lalu Ismail memberikan segelas teh hangat agar aku lebih tenang.
Setelah beristirahat, akhirnya Kang Daud mengajakku untuk mengobrol. "Udah tenang kamu dek?, tanya Kang Daud. "Udah alhamdulillah Kang. Gimana Bayu Kang, apa sudah ketemu?", balasku. "Sudah, kami sudah menemukan Bayu", jelasnya. Aku segera memanjatkan syukur. Aku merasa bersalah karena ketakutan dan meninggalkan sahabatku disana sendirian. "Saya ikut berduka ya dek. Bayu meninggal ditempat setelah kalian jatuh", lanjut Kang Daud. "Hah, gimana? Gimana maksud Akang? Bayu meninggal ditempat? Tapi saya masih sempat diajak Bayu untuk cari pertolongan sampai akhirnya kami ketemu warung", tanyaku bingung dan menceritakan semuanya ke Kang Daud tentang apa yang kualami bersama Bayu tadi malam.
Ternyata setelah kawan-kawan melaporkan kalau kami hilang, langsung diadakan pencarian. Dan Bayu ditemukan sudah dalam keadaan meninggal karena patah leher ketika kami terjatuh. "Yang bersama kamu tadi malam itu bukan Bayu dek..", jelas Kang Daud melanjutkan. Mendadak aku menangis meratapi Bayu. "Beruntung kamu ngga ikut makan makanan dari mereka, jadi kamu ngga ikut terbawa kedunia mereka", kata Kang Daud lagi. Kang Daud menutup penjelasannya seraya menepuk bahuku.
Pengalaman itulah yang membuatku trauma sehingga kali itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku mendaki gunung yang bernama Gunung Salak.
The end
Komentar
Posting Komentar