Kita Tinggal Disini Saja Ya.. (Pendakian Mistis Gunung Salak) Part 1
Suara klakson metromini terus mengisyaratkan ke tidak sabaran pengemudinya, Mobil ku untuk menyingkir dari jalan raya. Padahal saat itu didepanku adalah rel kereta yang palang pintunya sudah hampir tertutup sempurna. Di saat suntuk waktu itu, aku memikirkan tentang ajakan temanku, Bayu. Itu adalah ajakan dua hari yang lalu. Hari senin pertama sebelum aku menerima ajakan Bayu untuk pergi ke Gunung Salak.
Oya, perkenalkan namaku Kiki dan aku berumur 23. Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Persahabatanku dengan Bayu sudah terjalin sejak kami sama-sama berada di bangku SMU. Ini kali pertama untukku naik gunung, tapi tidak dengan Bayu. Kalau kata teman-temanku, Bayu tidak lahir dirumah sakit tapi digunung. Kalau kataku sih biasa saja, ngga ada yang spesial dari Bayu selain memang dia adalah seorang anggta Pecinta Alam.
Singkat cerita kita berangkat bertiga ke Gunung Salak. Selain aku dan Bayu, ada juga Ismail, salah satu teman kita juga. Dengan alasan untuk melepas penat dipekerjaan masing-masing, kami sepakat untuk mendaki ke Gunung Salak. Nama Gunung Salak berasal dari kata SALAKA yang berarti perak dalam bahasa Sansekerta. Gunung Salak adalah salah satu gunung di Jawa Barat yang masih menyimpan banyak sekali misteri. Konon katanya jika niat kita tidak baik, maka akan celaka nantinya dan sangat pantang untuk bertanya, "Dimana buah salaknya?", ketika mendaki ke Gunung Salak. Walaupun mungkin itu dimaksudkan hanya untuk bercanda saja, tapi banyak pendaki yang mempercayai mitos itu. Apalagi berperilaku sombong atau tidak sopan, seperti bercanda yang berlebihan atau mengejek sesuatu yang ada di Gunung Salak. Karena hal itu akan membuat penghuni gunung murka.
Aku adalah satu-satunya perempuan yang ada diantara dua lelaki itu. Tadinya ada perempuan juga yang bernama Sanny yang juga akan berangkat bersama kami, namun ia membatalkan di saat-saat terakhir karena ia tidak mendapatkan ijin cuti. Walaupun hanya bertiga, akhirnya kami memutuskan untuk tetap berangkat.
Bayu secara tidak langsung memimpin di kelompok kami. Selain karena dia adalah satu-satunya anggota Pecinta Alam, dia juga sudah dua kali mendaki ke Gunung Salak. Kita sepakat untuk menempuh pendakian dengan jalur yang terpendek walaupun terkenal memiliki medan yang sulit. Setelah selesai registrasi dan mengurus semua kebutuhan, kita memulai perjalanan ke pintu rimba. Dan sesampainya disana Ismail mengeluarkan HP dan kami berfoto bersama secera bergantian. Giliran aku memfoto, secara aneh foto yang aku ambil tidak pernah fokus dan selalu berbayang. Sampai akhirnya Bayu tidak sabar dan mengambil alih untuk memfoto.
Setelah berdoa bersama kita mulai masuk ke gerbang besi yang nampak sudah berkarat dan berlumut yang menambah kesan angker gunung ini. Tapi aku membuang jauh-jauh pikiran negatif dan aku sempat menyelipkan sebuah doa agar semua lancar dan aman selama pendakian sampai kita kembali pulang.
Kami memulai pendakian. Jalur menuju pos pertama bisa dibilang tidak terlalu terjal. Ya walaupun dibeberapa titik treknya sedikit ngeri karena melewati jalan yang berlumpur licin. Apalagi saat itu gerimis mulai turun membuat trek semakin sulit dilewati, ditambah dengan adanya beberapa pohon yang tumbang melintang dijalan.
Aku pun berkali-kali tergelincir dan kita memutuskan untuk berhenti dan memakai jasa hujan karena hujan semakin deras. Diantara suara hujan yang semakin deras, aku mendengar samar suara desahan nafas seseorang. Aku bertanya ke kedua temanku tentang suara yang baru aku dengar, dan ternyata mereka tidak ada yang mendengar. Ya mungkin itu juga karena halusinasiku saja. Selain dingin karena hujan, ini juga pendakian pertamaku ke gunung. Jadi mungkin saja aku mendengar yang tidak-tidak. Tapi sebenarnya aku cukup yakin kalau itu adalah suara nafas yang sangat jelas datang dari arah semak-semak disebelah kiriku. Tapi karena takut dianggap lebay oleh dua orang kawanku ini, akhirnya aku kembali mencoba berpikir positif.
Ketika hujan mulai reda, kali ini benar, kami mendengar suara langkah mendekat. Dan ternyata ada kelompok lain yang juga baru sampai ditempat kita istirahat. "Ki, kayanya suara nafas yang kamu dengar tadi suara mereka ya?", tanya Ismail sambil berbisik. "Ngga mungkin lah, mereka kan dari bawah. Suara yang aku dengar tadi dari sana", jawabku sambil menunjuk kearah semak-semak yang sedikit ada diatas kami. "Ya udah kalau gitu, suara hujan berarti..", Ismail menyimpulkan dan tidak mau membahasnya kembali.
Kami pun berkenalan dengan kelomokyang baru datang itu. Dan seorang laki-laki yang kuyakini sebagai pemimpin kelompok itu, bertanya kepada Bayu, "Sorry, kalian cuma bertiga?", tanya laki-laki itu. "Iya mas, kita cuma bertiga. Tadi nya mau berempat, tapi satu teman kita ngga jadi ikut. Kenapa mas?", jawab Bayu balik bertanya. "Ngga papa, kita barengan aja kalau gitu", tawar lelaki itu. Belum lama Kang Daud sang pemimpin kelompok menawarkan ajakannya, salah satu anggotanya yang bernama Hamdan membisikkan sesuatu ke Kang Daud. Walaupun berbisik, samar-samar aku mendengar ucapan Hamdan tentang keberatannya akan tawaran Kang Daud kepada kami."Duh Kang, kalau ketambahan mereka nanti kita jadinya ganjil. Kan Akang paling ngerti gimana kalau disini naik ganjil", bisik Hamdan saat itu. Seolah mampu menepis kegelisahan Hamdan dengan kibasan tangan diudara, Kang Daud berbicara dalam bahasa Sunda, yang kira-kira artinya adalah, "Yang penting kita semua saling menjaga semuanya". Hamdan pun mundur teratur dan nampaknya tidak bisa merubah keputusan Kang Daud. Jadilah akhirnya kami bersembilan melanjutkan perjalanan setelah hujan yang telah benar-benar berhenti.
Ketika tiba dipersimpangan, kami memilih jalur untuk menuju kepuncak dan aku meminta waktu untuk beristirahat karena carrier ku terasa semakin lama semakin berat. Bayu sempat mengejekku dengan cengeng dan memintaku untuk terus lanjut karena sebentar lagi akan sampai di Simpang Bajuri. "Aku ngga cengeng, tapi bener ini ranselku terasa berat banget", jelasku ke Bayu. Kang Daud yang daritadi diam akhirnya bersuara dan duduk disebelahku, beliau mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya. Menghembuskan asapnya kearahku, dan jelas spontan aku mundur untuk menghindarinya. Setelah beberapa kali hisapan, dia mematikan rokoknya dan mengambil botol minum. Setelah membuka tutupnya, mulutnya komat kamit dan setelah itu Kang Daud memberikan botolnya kepadaku, "Minum dulu dek, biar kuat jalannya", kata Kang Daud. Aku pun menuruti dan meminum air itu. "Kang, ada yang ngikuti saya ya?', tanyaku ke Kang Daud. "Sst, nanti saja dibawah dibahasnya. Sekarang gimana kalau kita jalan lagi", jawab Kang Daud mengelak. Memang benar apa yang di kata Kang Daud, pantang untuk membicarakan hal gaib ketika ada di atas gunung. Akhirnya kita kembali berjalan.
Hujan kembali turun dan nampaknya cuaca semakin tidak bersahabat. Tetapi Bayu memaksa kita untuk tetap jalan. Dengan alasan supaya kami segera sampai di pos bayangan dan bermalam disitu. Entah karena hujan atau aku yang sudah "ketempelan", perjalanan naik gunung ini terasa sangat lama dan terasa semakin berat. Berkali-kali aku merasa seperti ada yang mengawasi kami dari balik lebatnya pepohonan dihutan ini. Belum lagi aku merasa bukan hanya ranselku yang terasa semakin berat, tetapi kakiku juga menjadi berat untuk melangkah. Seperti sedang menyeret beban yang sangat berat.
Karena hujan yang semakin deras, akhirnya Kang Daud memecah keheningan dan memberi komando, "Oke kita stay disini dulu. Kita bangun tenda, saya kira tempat ini cocok untuk bermalam". Dan kamipun membangun tenda. Tidak lama setelah itu Bayu pamit untuk mengambil air sebelum gelap. Menurut Bayu kami telah melewati mata airnya di persimpangan tadi. Sebelumnya Kang Daud tampak keberatan, karena menurut beliau persediaan air kami dirasa masih cukup sampai besok. tetapi menurut Bayu diatas tidak akan ada lagi mata air, sehingga ia merasa perlu untuk mengambil air. Aku juga merasa tidak setuju dengan Bayu. Tetapi aku sangat mengerti Bayu yang ngga akan nurut sama orang lain sehingga akupun mengajak Ismail untuk ikut dengan Bayu.
"Bay, ngapain sih ngotot ngambil air?', tanya Ismail yang juga sedikit kesal dengan Bayu, karena kita harus turun lagi untuk mengikuti maunya Bayu. "Udah tenang aja, aman kok kalau pergi sama aku. Lagian ngga jauh juga kok, palingan juga cuma 10 menitan. Kalian juga ngapain ikut, aku pergi sendiri juga gapapa", kata Bayu.
Ismail tiba-tiba memegangi perutnya. Bayu menyarankan Ismail untuk berhenti dan menyuruhnya untuk buang air besar dan meneruskan mengambil air denganku. "Seriusan gapapa Ki?", Ismail melihatku untuk meminta persetujuan dengan muka pura-puranya yang menahan hajat. Setengah hati aku pun menjawab, "Iya udah gapapa, aku pergi berdua sama bayu aja. Bay, nanti kita cepet aja ya. Biar ngga keburu gelap," kataku. Aku dan Bayu bergegas menuju mata air. Sesampainya disana Bayu segera mengisi botol-botol dan aku melihat pemandangan sekitar. Kabut sudah mulai nampak, jam ditanganku menunjukkan jam tiga sore.Tetapi karena suasana yang berkabut, menjadikan suasana lebih gelap dari yang seharusnya. Entah kenapa, disaat itu bulu kudukku mulai meremang. Apalagi saat aku mendengar bunyi-bunyian alam. Walaupun sayup-sayup terdengar, tapi aku mendengar suara geraman dikejauhan sana. Dan disitu aku mulai merasakan takut. Aku meminta Bayu untuk lebih cepat lagi. Bayu pergi sedikit menjauh untuk kencing. Untuk mengusir ketakutanku, aku mencuci muka. Dan aku merasa ada yang orang dibelakangku. Sontak aku menoleh. Dan ternyata ada pendaki lain yang nampaknya juga ingin minum dari mata air ini.
"Maaf mas, mau minum juga", akupun bernafas lega, karena ternyata itu adalah pendaki lain. Bukan setan ataupun demit. Pendaki itu cuma senyum dan mengisi gelas minumnya dengan air. Untuk memecah kesunyian aku mencoba mengajak ngobrol pendaki ini, "Sendirian aja mas", tanyaku. "Ngga ada, saya lagi solo hiking", jawabnya singkat dengan tersenyum."Ya udah silahkan dilanjut mas, saya mau keteman saya dulu", lanjutku. Dan baru beberapa langkah, tercium bau busuk yang membuat perasaanku menjadi tidak enak. Dan baru aku sadar rasanya ada yang aneh dengan mas-mas itu. Aku mencoba menoleh dan benar, ternyata mas-mas itu sudah tidak ada. Rasanya tidak mungkin, baru beberapa langkah aku pergi dan mas-mas itu sudah tidak ada. Dan tidak ada juga suara langkah. Akupun buru-buru menyusul Bayu. Aku memanggil Bayu dengan sedikit menyeretny, aku bercerita tentang apa yang barusan aku temui. "Wah hoki dong ketemu setan..", kata Bayu cuek. "Nih kamu liat jimatku. Ngga akan ada apa-apa kalau ada ini", Bayu tersenyum sombong dengan memamerkan jimatnya yang berbentuk kotak yang dikalungkan dileher. Bayu hanya terkekeh dengan nada yang mengejek melihat ketakutanku. Akhirnya diapun menurut dan kita jalan kembali ke tenda.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar