Kisah Evakuasi Alm. Ery Yunanto, Merapi 2015 (Part 1)

 Kali ini saya kan menceritakan cerita dari Mas Lahar. Seorang anggota dari Barameru Gunung merapi yang menjadi salah satu evakuator dari survivor Ery Yunanto yang jatuh ke kawah Merapi pada tahun2015.


Hari itu Sabtu 16 Mei 2015. 

Ada yang istimewa di hari itu, dimana keponakan yang tinggal persis didepan rumahku akhirnya menemukan jodohnya dan melangsungkan pernikahan. Jam 7 pagi saya sudah mandi, hal yang belum tentu sebulan sekali saya lakukan. Rasa bangga, bahagia dan iri semua melebur menjadi satu. Ya, saya bahagia dan bangga karena pada akhirnya keponakanku berani meminang seorang gadis. Tapi saya juga iri, karena pada waktu itu saya sedang memperjuangkan cinta yang tanpa ujung.

Semua prosesi pernikahan berjalan dengan sangat lancar. Sampai pada akhirnya HP saya berbunyi dan mulai sibuk dengan notifikasi grup Whatsapp (WA) Barameru. Saya kaget ketika ada Red Code dari ketua kami, yang artinya mewajibkan seluruh anggota untuk segera berkumpul di basecamp. Waktu itu saya ijin untuk tidak bisa ikut merapat karena masih ada acara nikahan dan kondisi badan saya yang juga kurang fit. Bukannya ijin yang saya dapatkan justru saya malah langsung ditelpon oleh Kang Sam (Syamsuri). Beliau adalah orang yang mengurus registrasi pendakian Merapi. Dalam telponnya, dia hanya bilang bahwa aku harus segera merapat ke basecamp saat itu juga. Akhirnya karena rasa penasaran, dengan berat hati saya bersama Abi yang juga anggota Barameru bergegas menuju basecamp.

Sesampainya di basecamp, hal yang tidak biasa mulai terlihat. Semua orang menampilkan raut muka yang sedih, cemas, panik dan ketakutan. Dalam benak saya langsung merasa kalau ada kecelakaan di atas (Merapi) yang sangat fatal. Berlahan tapi pasti saya berjalan dari tempat parkir motor menuju posko. Tak ada seorangpun yang menyapa, semuanya sibuk, samapi pada akhirnya Kang Sam menghampiri dan merangkul saya. Belum pernah seumur hidup saya dirangkul Kang Sam dengan raut muka yang tidak biasa. Raut wajah yang terlihat tenang tapi sangat jelas menggambarkan kekhawatiran yang luar biasa. Saya coba bertanya, ada apa sebenarnya. Dia kemudian menjawab, "Har, ada yang jatuh ke kawah..".

Terjawab sudah semua pertanyaanku. Wajar semua orang tampak tidak biasa, wajar ketika semua tampat takut. Karena mereka sadar betul bahwa apa yang akan mereka hadapi kali ini bukanlah evakuasi seperti biasanya. Saya bergegas masuk ke posko. Karena saat itu ketua kami sedang tidak berada di tempat dan kebetulan saya adalah wakil ketua dalam organisasi, maka saya tidak boleh larut dalam kesedihan dan kecemasan didepan rekan-rekan saya yang lain. Saya mulai assesment data, mulai dari siapa, kapan dan bagaimana. Sembari itu saya juga harus mengambil keputusan untuk menutup pendakian. Padahal waktu itu ada ratusan pendaki yang ingin naik ke Merapi. Dan saya harus memberikan penjelasan ke para pendaki tentang kenapa diadakan penutupan jalur yang sangat mendadak.

Setelah semua calon pendaki terkondisi, kami tinggal fokus pada rencana evakuasi. Tanpa pikir panjang, kami memberangkatkan satu tim yang tugasnya untuk membersihkan para pendaki yang masih ada dari atas tanpa kecuali. Saat itu kami belum berpikir tentang bagaimana mengambil korban dari dasar kawah, fokus kami adalah bagaimana dengan keterbatasan SDM (Sumber Daya Manusia). Kami akhirnya membagi tugas dan alhamdulillah semua teman-teman sangat solid. Mereka sangat sadar dan bertanggung jawab dengan tugas masing-masing. Mulai dari mempersiapkan logistik sampai memberitahu keluarga secara langsung. 

Waktu terus berjalan, kami belum tahu apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Sampai akhirnya kami berkoordinasi dengan pihak Taman Nasional, SAR dan unsur-unsur terkait yang lain. Kami mengadakan rapat sampai subuh tanggal 17, pembahasan kami hanya fokus pada satu hal, siapa eksekutor yang bersedia turun ke dasar kawah. Sampai hari minggu pagi, kami masih belum menemukan siapa orang yang bersedia dan mampu melaksanakan tugas yang tidak biasa ini. Saya tahu waktu itu banyak orang yang berharap banyak kepada saya, karena saya sudah punya pengalaman beberapa kali turun ke kawah untuk melakukan mitigasi dan pemetaan jalur. Sungguh waktu itu saya merasa sebagai seorang pecundang, saya sebagai satu-satunya harapan tetapi saya tidak mau karena saya sadar dengan kondisi badan yang sedang tidak fit, sedangkan untuk turun ke dasar kawah dibutuhkan fisik dan stamina yang luar biasa. Turun ke kawah hanya untuk mitigasi dan pemetaan jalur yang hanya membawa badan sendiri saja sudah sangat berat, apalagi ini adalah proses evakuasi. Saat itu saya hanya bisa membantu dengan memberikan gambaran tentang jalur kawah dan semua resikonya.

 

Minggu, 17 Mei 2015 jam 10.00 WIB

Sampai jam 10 siang tim MNC belum menemukan rescuer yang bersedia. Semua orang mencoba membujuk saya, berharap saya bersedia dan mau untuk melakukan evakuasi.Waktu itu saya benar-benar bingung apa yang harus saya lakukan. Pada dasarnya saya mau jika kondisi badan saya memungkinkan, tapi waktu itu memang badan saya benar-benar dalam keadaan yang tidak sehat. Akhirnya kami kembali mengadakan rapat koordinasi yang menghadirkan lebih banyak unsur bahkan keluarga dari pihak korban. Lagi-lagi, tak ada seorangpun yang berani mengajukan diri, termasuk saya. Arah rapatpun akhirnya berubah menjadi pembahasan yang lebih kepada agar keluarga korban bisa merelakan jenazah Ery untuk tidak diambil. Waktu itu dari pihak keluarga hanya bisa pasrah kepada tim. Jika memang benar-benar tidak bisa diambil, mereka hanya bisa pasrah kepada keputusan tim, dan itu dikuatkan lagi dengan kajian dari beberapa tim ahli yang mengatakan jika ini adalah misi bunuh diri.

Dalam hati saya campur aduk. Karena bagi saya turun ke kawah bukan hal yang luar biasa, hal yang biasa, hal yang sering saya lakukan. Apakah saya akan membiarkan jenazah untuk tetap tidak diambil? Sedangkan sebenarnya saya sangat bisa untuk melakukannya. Perang batin terus terjadi dalam hati saya, antara menjadi pecundang atau menjadi pemenang. Rapat diakhiri dengan keputusan yang mengambang, keputusan akhir rapat itu adalah menyerahkan semuanya ke saya. Jika saya bersedia maka operasi akan tetap dilanjutkan, tapi kalau saya tidak bersedia maka operasi akan dihentikan bahkan ketika operasi belum dimulai. 


Minggu, 17 Mei 205 jam 13.00 WIB

Ditengah kebingungan, kakak Ery menemui saya secara pribadi, terjadi sedikit obrolan disana. Kurang lebih seperti ini obrolan kami saat itu. 

"Mas Lahar, saya bisa ngobrol sebentar?"
"Oh bisa mas, monggo.."
"Mas Lahar kan pernah turun ke kawah, boleh ngga mas saya minta tolong? Saya ngga minta tolong untuk ambil adik saya kok, saya cuma minta tolong nanti kalau suatu saat Mas Lahar turun lagi ke kawah, tolong fotokan adik saya, apapun kondisinya".

Waktu itu saya tidak bisa menjawab apapun, saya hanya bisa diam dan benar-benar merasa sebagai orang yang tidak berguna. Tapi permintaan kakak almarhum itu seperti menjadi tamparan keras, saya seperti mendapat semangat baru. Lalu saya menemui rekan-rekan saya, saya minta tolong untuk dicarikan obat tau doping atau apapun yang bisa membuat kondisi saya jadi lebih baik. Tak butuh waktu lama, ambulans dari Polres Boyolali datang. Saya di bawa ke dalam ambulan, di cek kondisi badan saya. Dan waktu itu ternyata memang tensi saya sangat rendah dan memang kondisi saya benar-benar lemah.

Kalau tidak salah Dokpol yang waktu itu memeriksa saya adalah Pak Purnomo, beliau menawarkan saya sebuah suntikan khusus, yang biasa dipakai untuk perang katanya. Akhirnya saya bersedia untuk disuntik, entah berapa kali suntikan, mungkin sebanyak 3 kali. Tak butuh waktu lama, obatnya langsung bereaksi, badan saya menjadi panas dan berkeringat.


Minggu, 17 Mei 2015 jam 17.00 WIB

Setelah saya merasaa kondisi saya membaik dengan cepat, akhir nya saya menemui MNC dan menyatakan bawha saya siap dengan beberapa syarat. Semua orang yang ada disana waktu itu bertepuk tangan dan tidak sedikit yang memeluk saya.  Waktu itu benar-benar menjadi suatu keputusan dalam keputusasaan, saya mengajukan beberapa syarat, mulai dari peralatan, tim dan satu permintaan yang agak konyol. Waktu itu saya bersedia naik dan turun ke kawah asalkan saya ditemani oleh tim pilihan saya sendiri, dibekali dengan peralatan terbaik dan syarat terakhir, saya tidak ingin nama saya ditulis sebagai orang yang turun ke dasar kawah. Tentu saja ini menjadi perdebatan. Secara prosedur semua orang yang terlibat harus terdata. Tetapi saya memiliki alasan sendiri kenapa saya mengajukan syarat itu, alasan saya hanya satu. Ketika operasi saya gagal dan saya mati dilapangan, saya ingin dianggap sebagai tim ilegal yang tidak berkoordinasi dengan SMC, sehingga SMC tidak disalahkan karena dianggap telah mengirimkan orang untuk melaksanakan misi yang sebenarnya sudah dilarang untuk dilaksanakan. 

Alhamdulillah semua syarat saya disetujui oleh SMC. Saya dan tim pilihan saya melakukan persiapan secara sembunyi-sembunyi tanpa terpantau oleh orang luar. SMC mengabarkan ke keluarga saya, intinya memohon restu agar operasi berjalan lancar dan semua tim diberikan keselamatan.


Minggu, 17 Mei 2015 -Pamit

Saya, Gimar, Abi, Alip dan Sony, kami berangkat dari basecamp Barameru setelah sebelumnya packing dan beristirahat sejenak karena dari semalam kami semua belum sempat tidur. Malam itu rasanya benar-benar berbeda ketika kami akan berangkat. Hampir semua warga desa keluar rumah, hampir semua anggota Barameru menampilkan wajah yang seolah-olah mengantarkan kami untuk berangkat berperang. Saat kami pamit ke orang-orang yang ada disana, semua memeluk dan tidak sedikit yang menitikkan air mata termasuk pihak keluarga korban. Bagi kami saat itu, kami adalah harapan satu-satunya, kami adalah harapan terakhir dan dipundak kami semua harapan dari keputusasaan mereka digantungkan. Dan kami yakin, Tuhan selalu bersama niat baik. 

BERSAMBUNG

 


Komentar

Postingan Populer