Dalam Dekapan Maut Gunung Salak 1987 Part 1
Malam hari ini mungkin sedikit berbeda. Jika dicerita-cerita sebelumnya saya bercerita tentang pengalaman saya pribadi atau mencoba menceritakan cerita yang diceritakan kepada saya dari orang lain, kali ini saya akan mencoba untuk bercerita tentang tragedi pendakian gunung Salak pada tahun 1987 yang waktu itu banyak diberitakan oleh media-media cetak.
Hingga Selasa pagi pekan itu dua liang masih menganga terbuka taman pemakaman umum Penggilingan, Rawamangun, Jakarta. Itulah pertanda bahwa Irfan Supandi dan Ahmad Rudiyat masih berada jauh diketinggian sana, di gunung Salak, entah hidup atau mati. Itu juga berarti ratusan Pecinta Alam masih menyusur sungai Cibadak di gunung itu, tempat jenazah rekan mereka yang sudah mengisi empat kuburan baru disebelah dua liang kosong tadi.
Sebuah akhir cerita hidup yang menyedihkan. Padahal tak ada firasat buruk yang muncul di awal pendakian naas ini. Bermula ketika 8 siswa kelas 2 STM Pembangunan Jakarta Timur mencari ide untuk mengisi hari libur yang tiba-tiba menubruk mereka. Pasalnya pada hari Jumat 20 Februari itu sekolah mereka kebanjiran hingga tak ada kegiatan belajar mengajar, ditambah lagi keesokannya para guru berniat mengadakan rapat yang menyebabkan murid bebas belajar. Wajar jika pagi itu tiba-tiba muncul ide untuk mendaki gunung Salak esok harinya.
Secara spontan perencanaanpun didiskusikan dan kata sepakat dicapai untuk berkumpul didepan sekolah keesokan harinya pukul 8 pagi. Adalah nasib juga yang membuat Yumarsanto, 17 tahun ternyata terlambat bangun. Toh ia msih mencoba pergi ketempat berkumpul yang sudah ditentukan. Tapi ia hanya menjumpai tukang mi langganan mereka, yang menginformasikan bahwa ia telah ditinggal.
Belakangan Yumarsanto mengetahui ia tidak sendirian. Boyke Zulkarnaen yang tadinya juga merencakan berangkat, ternyata urung ikut. Alhasil hanya 6 orang saja yang berangkat. Ahmad Rudiat 19, Chaerudin 18, Eddy Pujianto 18, Irvan Supandi 16, Mulyadi 19 dan Wisnu Herwanto 18. Besar dugaan Ahmad Rudiat alias Adit menjadi pemimpin rombongan tidak resmi ini. "Kata teman-temannya, ia memang paling berpengaruh", tutur Djukardi Adriana alias Bongkeng, anggota Wanadri yang menjadi on scene comannder operasi SAR di gunung Salak ini. Adit memang punya modal untuk memimpin. Hanya dia dan Mulyadi yang menjadi anggota resmi pencinta alam di sekolah mereka, karena itu berhak memakai syal segitiga biru berinisial clum itu. Lagi pula, ia berpengalaman mendaki gunung Ciremai di Cirebon dan gunung Gede-Pangrango di kawasan Puncak. Hingga, ayahnya pun Letkol Drs. A.R.Sabirin, mudah saja memberikan anaknya izin untuk mendaki gunung salak kendati istri nya keberatan. "Dia cuma meminta uang enam ribu rupiah dan bilang hari Minggu sudah pulang", kata Sabirin. Agaknya kepemimpinan Adit ini yang dibantu Mulyadi ini yang menyebabkan romnongan kemudian memilih jalur pendakian yang tak umum.
Alasannya, memang khas anak muda. Mereka nampaknya ingin membuat jalur pendakian baru menuju Pancuran Tujuh, yaitu air terjun dekat puncak gunung Salak yang jarang dikunjungi orang. Mulyadi pernah merintis jalur ini, Desember 1986. Tapi sampai di pancuran ketiga kehabisan perbekalan. Maka, terpaksa perintisan rute ditangguhkan dan rombongan Mulyadi saat itu kembali. Tapi mereka sempat meninggalkan tanda berupa ikatan tali rafia biru dipohon yang mereka lalui. Rencananya club STM mereka yang bernama Teknik Pembangunan Pencinta Alam (TEPEPA) akan melanjutkan penelusuran. Ketua Tepepa, Kelly Darmono, merencanakan melakukan ekspedisi ini sehabis pemilu nanti. Dan rute itu akan di namakan rute STM Pembangunan. Ada dugaan, rombongan Adit dan kawan-kawan ingin mendahului Kelly.
Maklum menurut rekan-rekan mereka dua siswa ini memang bersaing. Sayangnya semangat kompetitif yang sehat itu tidak didukung persiapan yang matang. Perlengkapan mereka sangat tak memadai untuk ekspedisi membuka jalur baru. Tak ada kompas, pakaian dan makanan yang memadai. "Yang paling fatal, sebagai pendaki yang menemukan rute baru, mereka tak membawa peta", kata Bongkeng. Perbekalan diperkirakan hanya dipersiapkan untuk dua hari, sedangkan pakaian pelindung hujan terabaikan. Mulyadi, misalnya, berangkat dalam pakaian seragam sekolah dan tak membawa jaket. Belakangan terbukti, hal yang kelihatan sepele ini menjadi penyebab utama perjumpaan mereka dengan sang maut. Padahal, medan gunung Salak tergolong sulit. Banyak lembah dan jurang, dengan sungai berair terjun yang diapit dinding yang curam.
Di dinding curam ini ada hutan-hutan yang ditumbuhi rotan. belitan tamiang (pohon rambat) dan onak. Hingga saat ini masih belum jelas bagaimana sebenarnya rute yang mereka tempuh. Bila mereka meneruskan jalur rafia biru, berarti mereka masuk dari Sukamantri dan terus naik ke selatan. Hingga akhirnya rafia biru itu habis, itu berarti mereka sudah mendaki sekitar tujuh jam. Mungkin mereka lalu meneruskan perjalanan menerobos semak ke selatan, ini terbukti dari ikatan tali rafia kuning yang mereka tinggalkan. Sementara itu terjalnya pendakian mungkin memaksa mereka mengarah ke barat daya.
Bisa jadi diujung ikatan rafia kuning ini ditemukan, mereka mulai tersesat. Entah karena kehabisan tali rafia kuning sebagai petunjuk atau mereka tergoda untuk menuruni gunung kearah timur. Maklum, arah itu sekilas terlihat landai dan lampu perumahan dilereng gunung dapat terlihat jelas.
Bisa dibayangkan, dalam kondisi lapar, lelah dan kedinginan, sinar lampu perumahan itu seolah mengundang mereka untuk segera datang. Tanpa peta, mereka tak menyadari bahwa didepan menghadang jurang yang dalam dan tebing yang terjal.
Padahal, hujan terus mengguyur selama pendakian itu. Suasana panik atau tergesa-gesa terkesan dari ditemukannya banyak barang yang tercecer diarea itu. Seperti sarung tangan, sapu tangan, sumbu kompor dan supermi utuh. Apa yang terjadi setelah itu memang masih sulit diduga. Dan Letkol Sabirin mulai merasa was-was ketika anaknya tak kembali kerumah hari Minggu, 22 Februari lalu. Sampai Minggu malam, Sabirin masih berharap tertidur kelelahan dirumah temannya. Tetapi ketika esok siangnya Adit masih belum muncul, Sabirin mulai mengambil tindakan.
Mula-mula ia mulai menghubungi orang tua Mulyadi. Yang ternyata malah tak tahu anaknya mendaki gunung. Lantas ia mencoba menghubungi rumah teman Adit yang lain. Tanpa hasil. Maka, Selasa pagi 24 Februari Sabirin mencari keterangan ke sekolah. Ternyata, pihak sekolah tak tahu ada muridnya yang mendaki gunung Salak. Bahkan baru hari itu mereka tahu bahwa dikelas Adit ada 6 siswa yang tidak hadir sejak Senin. Alhasil Sabirin langsung berangkat ke Bogor dan langsung menghubungi Polsek Ciomas, dikaki gunung Salak. Pengumpulan informasipun dari masyarakat sekitar dan didapatkan keterangan memang ada satu grup STM pergi mendaki, tapi tak jelas dari STM mana. Lantas, dengan ditemani Kapolsek Ciomas, Letda Budi Setiadi, dan 20 penduduk, Sabirin mendaki gunung Salak untuk mencari anaknya.
Hasilnya nihil. Maklum menyisir gunung Salak memang bukan pekerjaan kaum amatir. Atas saran Kapolsel, Sabirin pun segera menghubungi SAR pusat, di Jakarta. Dan awal pencarian besar-besaran terhadap keenam pendaki itu dimulai. Namun sayang, awalnya kurang menggembirakan. Pasalnya mereka mendapat informasi dari kelompok Wanadri Jakarta dan kelompok SMAN 8 Jakarta yang mendaki diwaktu yang sama dengan kelompok Adit, bahwa mereka bertemu dengan rombongan STM antara Warung Loa dan puncak gunung Salak. Karena itu, pencarian pun dilakukan disekitar Warung Loa itu. Baru 1 Maret tim SAR menyadari jika kelompok STM itu bukanlah kelompok Adit dan kawan-kawan. Hal ini terungkap setelah Kelly Daryono bersama 7 anggota Tepepa lainnya dan seorang guru merintis jalur Sukamantri. Mereka malah kemudian tersesat. Untung hubungan radio handy talkie yang mereka bawa dengan posko SAR bisa terjalin. Mulanya mereka disarankan untuk menunggu regu penjemput tapi Kelly dan kawan-kawan memutuskan mencoba jalan sendiri. Di bimbing dengan hubungan komunikasi radio itu akhirnya mereka sampai posko SAR.
Dari penuturan Kelly inilah tim SAR menyadari kekeliruan mereka. Apalagi Kelly dan kawan-kawan berhasil pula menemukan jejak yang meyakinkan, seperti tulisan "MUL" (dari Mulyadi) ditepi sungai. Beberapa pihak menyayangkan Kelly tak melaporkan ini lebih dini. Namun ada juga yang heran mengapa tim SAR percaya begitu saja bahwa Adit dan kawan-kawan mendaki dari Warung Loa. "Memang data yang masuk dari Warung Loa itu yang membingungkan dan kami terlambat mendengar mereka masuk dari Sukamantri", kata Ir. Gustav Adolf "Ocim" Husein dari Wanadri.
Walhasil, pengorbanan tim SAR berdingin-dingin dan berletih-letih selama seminggu terhitung sia-sia belaka. Dengan petunjuk baru yang lebih meyakinkan ini, daerah pencarianpun dipindahkan kesekitar daerah habisnya rafia kuning. Sementara itu, pemberitaan media pun mulai gencar meliput upaya SAR ini. Dampak positif dari pemberitaan adalah mengalirnya sumbangan sukarela dari masyarakat baik berupa materi maupun tenaga sukarelawan yang bagai tak ada hentinya. Kendati jenazah yang ditemukan tim SAR 12-13 Maret telah rusak parah, penemuan ini menghentikan perasaan tidak pasti yang menghimpit sanak keluarga mereka.
Sukarelawan baru terus berdatangan, termasuk tim Skygers yang dipimpin Harry Suliztiarto.Tim manusa cicak yang pernah menaklukkan tebing Eiger di pegunungan Alpen itu, kini menyusuri jeram-jeram sungan Cibadak untuk mencari Irvan dan Adit. Kehadiran mereka memang diharapkan. Mengingat jeram ini 80 an meter tingginya dengan keterjalan tinggi. Apakah mereka akan berhasil menemukan Adit dan Irvan, yang sudah hampir sebulan berdingin-dingin nan sunyi, jauh disana?
Itulah sebuah berita yang dimuat di Majalah TEMPO 1987.
Kelanjutan dari berita tersebut akan saya buat di part 2.
Dari kisah tersebut banyak pelajaran yang dapat kita petik. Terutama bagi teman-teman yang menggeluti kegiatan alam bebas. Persiapan dan pengetahuan mutlak diperlukan dan dimiliki bagi yang ingin naik gunung.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar