Rumah Dinas (Seto & Mira) - Part 2
Suasana begitu sunyi. Sama-samar suara angin membelai rimbun daun kadang terdengar, atau sekedar gesekan ranting pohon yang bertautan. Yang paling nyaring adalah suara lonceng dokar dan sepatu kuda yang kadang kala menginjak bebatuan.
Jalan setapak begitu sempit. Jalan bebatuan dengan kebun karet di kanan dan kirinya. Jalan yang tak bisa di lalui mobil.
"Warga di sini ramah-ramah ya Mas", Mira membuka obrolan.
"Iya, makanya kamu pasti betah", balas Seto sambil mengelus tangan Mira.
"Tenang, mbak Mira.. Pasti warga akan sangat ramah. Soalnya sudah lima tahun lamanya di desa ini ngga ada dokter", sahut Bowo tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
"Terus kalau sakit pada pergi ke mana Wo?', tanya Mira penasaran.
"Biasanya kita pakai obat-obat tradisional Mbak. Atau kadang kita ke desa seberang, ada tetua kampung yang tahu soal obat-obatan dan hal-hal supranatural. Namanya Mbah Ndoho".
"Bukannya bahaya ya Wo, kalau sakit fisik tapi malah ke dukun", Mira seakan tak setuju.
"Namanya juga desa Mbak Mira, kalau ngga percaya ke dukun terus mau percaya sama siapa lagi? Dulu juga di desa seberang sempat ada bidan, ahli gizi dan perawat,. Hanya saja, mereka ngga selamat. entah apa yang mereka perbuat. Perawatnya jatuh ke jurang waktu perjalanan, ahli gizi juga sempet hilang dan ditemukan warga dalam keadaan bisu, dan si bidan juga hilang belum ketemu sampai sekarang", cerita Bowo panjang.
"Udah Wo, janga di lanjutkan. Nanti isti saya malah ngga tenang", Seto mengingatkan.
"Waduh, maaf lho Mbak Mira. Tapi tenang, itu tadi cerita dari Desa Rawa Teluh, desa seberang, bukan desa kami", jelas Bowo gelagapan.
"Ngga papa kok Wo, kan saya yang tadi penasaran". jawab Mira ringan.
Jawaban Mira, memotong pembicaraan. Membawa kembali ke sunyi yang panjang. Semua seakan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai tak terasa dokar berhenti pada sebuah rumah kayu yang cukup bagus, jika di bandingkan dengan rumah warga yang lain.
"Sudah sampai Mbak Mira, Mas Seto. Ini kunci yang dititipkan sama Pak RT. Semua sudah disediakan, dari kasur sampai perabotan alakadarnya. Semoga betah ya Mbak, Mas. Kami pamit, kita ketemu lagi besok waktu penyuluhan", jelas Bowo sekaligus berpamitan.
"Makasih banyak Wo, dan Bapak-bapak yang bersedia bawakan barang-barang saya. Saya berterima kasih. Dan lagi, kalau ada yang perlu saya bantu, silahkan ketuk rumah ini saja", kata Seto ramah.
Semuanya mengangguk, sembari tersenyum ramah. Setelahnya, mereka mulai beranjak pergi, menyisakan Seto dan Mira yang masih terdiam di depan rumah kayu itu, Yang didepannya terdapat papan bertuliskan "Dokter Seto Septa Kusuma".
Rumah itu melebar, seperti persegi panjang, Halamannya luas, dengan pohon mangga berukuran besar yang masih berdiri kokoh. disamping kanan dan kiri rumah tidak ada tetangga. Keadaan rumah dihimpit kebun kopi yang tengah berbunga, membuat aroma kopi tercium lumayan pekat. Menggelitik hidung bagi yang tidak terbiasa.
"Ngga ada tetangga Mas", guman Mira sambil melihat sekitar.
"Ada kok, cuma kan diselingi kebun kopi, jadi ada jarak antara rumah satu dengan rumah yang lainnya", jawab Seto mencoba menenangkan Mira, sambil mengelus kepalanya.
"Ya udah, kalau gitu masuk aja yuk. Di luar dingin", kata Mira, merekatkan jaketnya.
Seto merangkul Mira sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Melewati sosok yang tengah menatap keduanya dengan tatapan tajam.
***
Seto mengetuk pelan pintu yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang dibuat begitu indah. Tak ada siapapun di dalam rumah, hanya kebiasaan lama Seto detiap berkunjung ke rumah dinas yang akan dia tinggali.
"Mir, kamu tahu bentuk apa pintu ini?, tanya Seto memandangi pintu kayu yang baru saja dirinya ketuk.
"Ngga Mas, cuma pintu dengan bentuk separuh oval, dengan ukiran kayu", jawab Mira seadanya.
"Pintu ini berbentuk vagina Mir. Orang Jawa selalu detail jika membuat sesuatu, termasuk pintu ini", jelas Seto.
"Oh ya? Kenapa dibuat seperti vagina?", tanya Mira bingung.
"Karena perempuan itu tempat pulang. Bukan rumah namanya kalau ngga ada perempuan di dalamnya. dan lagi, kita keluar dari vagina, dan pulang dalam pelukan perempuan juga. Pintu ini melambangkan kasih Ibu", terang Seto sambil tersenyum.
"Iya Mas", guman Mira, sembari mengamati pintu jati yang berdiri kokokh di hadapannya.
"Banyak hal lain yang lebih indah, nanti kamu bisa belajar banyak hal di sini", kata Seto sambil memasukkan anak kunci ke lubang kunci.
Mira mengangguk sambil tersenyum.
Seto mendorong gagang pintu, membukanya lebar-lebar. Lalu masuk ke dalam rumah dan menutupnya rapat.
Mira mengamati rumah yang akan dirinya dan suaminya tempati selama dua tahun yang akan datang. Kesan pertama adalah rumah yang cukup besar, lenggang dan tidak banyak sekat.
Ruang tamu langsung terlihat begitu membuka pintu utama. Lantainya, keramik putih polos, dengan segala ornamen yang di dominasi oleh kayu.
Disamping ruang tamu, ada ruang kerja, sepertinya begitu. Melihat meja belajar yang ada disampingnya terdapat lemari yang nampak sudah tua. Tak hanya itu, ada satu kursi goyang yang letaknya menghadap pintu.
Dibelakang ruang tamu terdapat kamar tidur, yang ada lemari juga di dalamnya dan ranjang besi, di lengkapi oleh kelambu nyamuk. Warnanya serba putih, mengingatkan Mira pada ranjang rumah sakit tempo dulu.
Sisa ruang terakhir di depan kamar. Ruangan itu adalah dapur, dan meja makan yang hanya bisa dipakaioelh dua orang. Melihat hanya ada satu meja kecil dan dua buah kursi.
"Kamar mandinya dimana Mas?", tanya Mira kebingungan.
"Mungkin di luar", jawab Seto sambil meraih gagang pintu belakang.
"Loh, ngga jadi satu?".
"Nyatanya kan ngga ada didalam rumah".
"Iya sih, ya udah coba kita lihat", ajak Mira sambil mengekor di belakang Seto.
Ternyata suasana belakang rumah sangat luas. Meski tanpa penerangan, bisa terlihat luasnya pekarangan belakang itu. Yang terlihat hanyalah beberapa pohon pisang dan pohon salak.
"Ih, serem Mas", guman Mira merinding.
"Kan sama Mas, tuh kamar mandinya di ujung", ucap Seto sambil menunjuk bilik kecil yang tertutup pohon pisang.
"Ya ampun, kenapa sih bikin kamar mandinya jauh banget".
"Mungkin, biar sekalian bisa lihat kebun", jawab Seto seadanya.
"Mau pipis sekalian ngga? Biar nanti tidurnya ngga kebangun", imbuh Seto.
"Ya udah deh, mumpung ada temennya".
Seto berjalan lebih dulu, mengarahkan lampu HP ke jalan kecil yang terbuat dari susunan batu.
"Hati-hati licin. Ini Kaya nya ngga pernah dilewatin orang, lumutan begini", kata Seto.
"Kan tadi Bowo bilang, terakhir ada dokter lima tahun lalu. Mungkin selama itu ngga ada lagi orang yang tinggal disini".
"Iya juga. Ya udah cepetan masuk. Mas tunggu didepan pintu", suruh Seto kepada Mira saat sudah sampai didepan bilik bambu yang terlihat baru. Mungkin kamar mandinya sudah diperbaiki, tapi tidak dengan jalannya.
Mira masuk ke bilik bambu itu, menyalakan lampu berwarna oranye yang sudah redup. Lalu bergegas melaksanakan aktifitasnya. Setelah beberapa saat, Mira meraih gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dari dalam gentong tanah liat yang berisi air.
"Oek..oek..".
Mira menghentikan aktifitasnya, mencoba menajamkan telinga, "Suara bayi", guman Mira pada dirinya sendiri.
Suara itu kian kencang, seperti tepat berada di sebelah telinga Mira.
"Maassss!!!!", teriak Mira sembari membuka pintu. Namun nihil, pintunya terkunci.
Mira terlihat frustasi. Gedoran demi gedoran pintu tidak terdengar, seakan sumbang. Mira merintih ketika sesuatu yang kental dan anyir mengalir melalui selangkangannya.
"Maasss!!! Buka Maassss!!!", rintih Mira kesal.
Tak lama kemudian pintu terbuka dari luar. Seto melotot tatkala melihat istrinya yang menangis sesenggukan.
"Loh kamu kenapa Mir?", tanya Seto bingung.
"Kaki ku Mas. Kakiku berdarah..", jawab Mira lemas. Wajahnya pucat, seluruh badannya gemetar.
Seto mengarahkan senternya ke kaki Mira, tapi kakinya bersih. Tak ada luka sedikitpun. Membuat Seto semakin kebingungan.
"Udah, ayo masuk aja dulu", ajak Seto sambil merangkul istrinya.
Mira berjalan dengan tertatih. Badannya tidak sakit, hanya saja bergetar hebat karena akibat dari rasa takut yang di rasakan.
Sesampainya di kamar, Seto mendudukkan Mira. Sekali lagi diperiksanya kaki istrinya. Tak ada apapun, hanya ada sedikit lumpur dan potongan rumput saat berjalan ke kaar mandi tadi yang menempel pada kakinya.
"Kakimu ngga papa Mir, ngga ada darah. Ngga ada luka sama sekali", kata Seto.
"Aku ngga suka rumah ini Mas. Aku takut..", isak Mira.
"Kamu cuma kecapekan, istirahat aja ya".
Mira mengangguk pelan, memang dirinya merasa sudah terlampau lelah. Kejadian berusan membuat rasa penatnya membuat dua kali lipat.
"Besok kamu ngga usah ikut Mas ke balai desa, di rumah aja. Istirahat", ucap Seto sambil menyelimuti Mira.
"Aku ngga mau di tinggal", tolak Mira masih dengan suara seraknya.
"Tenang, besok ada Mbok Sinem yang bakal nemenin kamu. Jadi kalau Mas ke balai desa atau puskesmas, kamu ada temannya. Mbok Sinem bakal disini sampai Mas pulang".
Mira tak menjawab, namun hatinya sudah merasa lebih tenang. Lambat laun matanya mulai berat, hingga akhira Mira tertidur.
***
Krek.. krek.. krek..
Suara gaduh dari arah dapur membangunkan Mira dari tidurnya. Matanya menyipit tatkala sinar matahari masuk lewat celah jendela yang masih tertutup.
Mira beranjak dari ranjang, lehernya sakit, sama dengan yang di rasakan oleh badannya. Sepertinya, untuk tidur saja badannya harus membiasakan dengan kasur yang keras dan bantal yang setipis papan kayu.
Di luar kamar, terlihat seorang wanita berusia sekitar 50-an, yang tengah memotong sayur. Seseorang itu, rambutnya setengah putih dan sanggul rapi. Mengenakan kebaya hijau pupus dan kain jarit berwarna coklat tanah dengan corak burung merak. Seseorang itu bernama Mbok Sinem, seseorang yang di janjikan Seto semalam.
"Sudah bangun Bu Mira?", tanya Mbok Sinem halus, senyumnya mengembang. Memperlihatkan gurat-gurat keriput yang tidak bisa melunturkan kecantikannya.
"Iya. Mbok Sinem ya?", tanya Mira.
"Iya Bu, saya Sinem. Ibunya Bowo. Saya diminta Pak Seto buat bantu-bantu disini", jawab Mbok Sinem sembari memasukkan sayuran kedalam panci.
"Makasih Mbok", jawab Mira senang. Jarang suaminya sampai mengirim orang untuk menemani dan membantunya. Biasanya semuanya ia kerjakan sendiri.
"Sama-sama. Mbok ya terima kasih, karena Mbok jadi ada kegiatan", balas Mbok Sinem, masih dengan senyum nya yang mengembang.
"Mbok, tahu ngga dulu rumah ini bekas apa?", tanya Mira ketika tiba-tiba teringat dengan kejadian semalam.
Kletak..
Pisau yang dipegang Mbok Sinem terjatuh, hampir mengenai kakinya.
"Dia sudah datang Bu?", tanya Mbok Sinem dengan pandangan menyelidik.
"Dia siapa Mbok?", tanya balik Mira tegang, melihat ekspresi Mbok Sinem.
Seakan menyadari sesuatu, Mbok Sinem menggelengkan kepalanya pelan. Senyum mengembang dari bibirnya. Seakan sesuatu yang membuatnya kaget, tidak pernah ada.
"Bukan siapa-siapa. Dulu yang tinggal disini dokter juga, tapi dokter kandungan. Hanya saja, orangnya ngga betah dan akhirnya pergi dari desa ini", jelas Mbok Sinem, kali ini tanpa memandang ke arah Mira dan tanpa senyum.
"Mending Bu Mira mandi saja dulu, habis itu sarapan. Sebentar lagi makanannya siap", lanjut Mbok Sinem sambil menyiapkan piring.
***
Angin berhembus pelan. Membelai wajah Seto yang tengah beradaptasi dengan rasa dingin. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, yang seharusnya hawa menjadi lebih hangat.
Namun tak bisa di pungkiri, seto begitu senang melihat antusias warga desa yang begitu besar. Balai desa yang luas, kini penuh sesak. Memperlihatkan hampir keseluruhan warga Desa Rantru.
"Jadi, Bapak dan Ibu. Ini adalah dokter Seto yang datang jauh-jauh dari kot auntuk melayani warga desa Rantru. Beliau ini dokter umum. Selama di desa ini, Beliau akan ada di puskesmas dari jam 08.00 sampai jam 15.00. Selebihnya Beliau ada di rumah. Jadi untuk Bapak dan Ibu yang memiliki keluhan, monggo jangan sungkan-sungkan berobat ke dokter Seto", jelas Pak Dharma selaku RT di Desa Rantru.
Warga mengangguk dengan senyum yang merekah, menyambut hangat kedatangan dokter Seto.
"Pertama-tama, sungguh saya sangat berterima kasih atas antusiasme Bapak dan Ibu yang begitu besar. Saya akan mengabdikan diri di Desa Rantru kurang lebih selama dua tahun ke depan, untuk membantu warga mendapatkan tindakan medis yang sesuai dengan keluhan. Jadi jangan sungkan-sungkan, untuk berkunjung ke puskesmas jika ada keluhan atau sesuatu yang ingin di tanyakan terkait dengan masalah kesehatan", ucap Seto hangat.
Sekali lagi warga mengangguk, masih antusias mendengarkan penyuluhan yang Seto berikan. Bahkan saat membuka sesi pertanyaan pun, banyak warga yang ingin bertanya padanya.
Namun, saat sibuk menjawab pertanyaan warga, ada seseorang yang mencuri perhatian Seto. Seseorang itu adalah wanita berambut gimbal, mengenakan kebaya berwarna merah kumal, jarit selutut berwarna putih bermotif bunga yang hampir tak terlihat saking kotornya, dan bertelanjang kaki. Memperlihatkan banyaknya goresan luka.
"Ibu yang di sana perlu bantuan?", tanya Seto sambil berjalan mendekati perempuan bernama Mega. Membuat seluruh mata tertuju pada sosok perempuan yang sudah lama di asingkan.
"Pembunuh! Pembunuuhhh!!!", teriak Mega saat Seto sudah tepat berada di depannya. Tatapan Mega terlihat nyalang, penuh dengan amarah.
"Tenang, saya hanya ingin membantu", ucap Seto lembut, mencoba menenangkan. Namun, Mega malah semakin mendekat.
Dengan sigap, Bowo yang sedari tadi berdiri di dekat Seto membekap tubuh Mega yang terlihat ringkih. Tak butuh banyak orang, satu saja cukup untuk menghentikan langkahnya mendekati Seto.
"Wo, tolong jangan kasar-kasar ya", pinta Seto.
"Tenang Mas, ini memang gila. Kalau ngga di pegang takutnya bikin onar", jawab Bowo masih dengan membekap Mega.
"Ya sudah..", balas Seto sambil membungkuk. Meraih sapu tangan di saku nya, lalu membersihkan luka pada kaki Mega yang tak terawat.
"Pak bisa tolong ambilkan tas kecil saya?", minta Seto kepada Pak Dharma yang dengan sigap mengambil tas berwarna hitam.
"Balekno anakku! (kembalikan anakku!)", rintih Mega.
"Duh Bude, anakke panjenengan niku sampun seda (Duh Bu, anaknya Ibu itu sudah meninggal)", jawab Bowo prihatin.
"Bohong! Bohong!!", teriak Mega tak terkendali. sampai menumpahkan botol berisi alkohol yang akan di gunakan untuk membersihkan lukanya.
"Sudah Pak dokter, ngga usah di obati. Orang ini seharusya di pasung", Ucah Dharma kesal.
"Bapak-bapak tolong bantu saya memegangi Ibu ini, tolong jangan kasar", pinta Seto tanpa mengindahkan kata-kata Dharma.
Seto kembali mengambil botol alkohol yang tadi sempat terpelanting. Saat Mega sudah di pegangi, barula Seto membersihkan luka itu menggunakan alkohol.
"Bu, selain luka di kakimu, luka di hatimu juga harus di seka, dibersihkan dan di rawat. Seperti alkohol yang menempel pada luka di kakimu, itu memang menyakitkan, itu memang harus di lakukan agar luka di hatimu tidak bernanah. Kehilangan orang yang di cintai memang berat, maka dari itulah kerelaan harus di segerakan agar sedihmu tidak berlarut-larut", jelas Seto sambil membalutkan perban pada kaki Mega.
Tak hanya itu, Seto juga memberikan sepasang sandalnya, agar Mega tak lagi telanjang kaki.
Membuat Mega terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menangis meraung-raung.
"Tak apa menangis, air mata menghapus luka. Setelah selesai menangis, cobalah untuk bahagia", lanjut Seto sembari menepuk pelan punggung Mega.
"Pak, Bu.. jika ada warga kita yang terkurung dalam kesedihan, tolong jangan di kucilkan. Karena obat yang bisa kita beri adalah penerimaan, selama saudara kita merasa di terima, luka hatinya akan berangsur-angsur sembuh, dan kesepian tidak akan bisa membunuhnya", imbuh Seto sambil melanjutkan penyuluhan.
Warga terpaku, menyimpan baik-baik kalimat yang baru saja Seto sampaikan. Kalimat ringan, tapi begitu menusuk bagi warga yang mendengarkan. Kalau saja Seto tahu kebenarannya, mungkin Seto bisa lebih memahami, kenapa Meg bisa jadi tak terurus dan terkucilkan.
Bow meminta salah satu warga untuk membawa Mega menjauh terlebih dahulu. Selain wajah Dharma yang sudah masam karena merasa tidak dianggap oleh Seto, bagaimanapun penyuluhan tetap harus dilanjutkan supaya besok Seto bisa lanjut bertugas di puskesmas.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar