Rumah Di Perkebunan - Part 9

 Kembali ke sudut pandang Om Heri


Sosok-sosok hitam tinggi besar itu terus saja menatap tajam kearah Om, tatapan yang sangat mengerikan. Wajah yang hitam legam dengan bola mata yang hanya terlihat putihnya saja.

Om hanya bisa berdiri diam tanpa bisa menggerakkan tubuh ini sama sekali, mulutpun seperti terkunci, tak bisa juga mengeluarkan suara. 

Disitu, diruang tengah itu Om terjebak didalan situasi yang membuat Om sangat ketakutan. Badan Om gemetaran semakin hebat, ketika mereka mulai berdiri dari duduknya dan perlahan berjalan mendekat. 

Keadaan ruang tengah yang sangat temaram dan nyaris gelap, tetapi Om masih bisa dengan cukup jelas melihat bentuk dan paras dari makhluk-makhluk itu.

Tinggi sekitar dua meter, mengenakan pakaian seperti jubah panjang berwarna hitam, dengan wajah yang juga hitam legam. 

Mereka terus berjalan mendekat, sementara Om semakin merasa terpojok, berdiri bersandar pada dinding disatu sudut ruangan.

Sudah sekitar semeter lagi kami berjarak, sangat dekat. Dipuncak ketakutan, Om menundukkan kepala dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Nafas Om mulai sesak, berangsur terasa semakin sulit untuk sekedar bernafas. Seperti ada sesuatu yang menghimpit tubuh ini, sesak rasanya.

Dalam situasi yang seperti itu, Om terus berusaha untuk membaca doa tanpa putus di dalam hati. Berharap semoga kejadian ini cepat berakhir. 

Dan.. tiba-tiba Om terbangun dari tidur. Terbangun terduduk diatas kasur, dengan sekujur tubuh yang basah oleh keringat dan nafas yang tersengal-sengal. 

"Ada apa Pak?", tanya Wahyu yang juga ikut terbangun dari kasurnya yang tergelar diatas lantai. 

"Ga ada apa-apa Yu, cuma mimpi".

***

Entah sudah keberapa kali Om mengalami mimpi buruk seperti itu. Mimpi buruk yang sudah mulai masuk ke taraf yang mengganggu. Mimpi yang terus berulang urutan kejadiannya, sama persis setiap Om memimpikannya. 

Pada akhir mimpi, terkadang Om merasa seperti berada dalam situasi ketindihan. Tidak bisa bernafas, dada sangat sesak dan badan yang tak bisa digerakkan. 

Om belum menceritakan tentang detail mimpi itu kepada Wahyu. Om pikir itu hanyalah mimpi, tidak ada pentingnya untuk di ceritakan. Namun tetap saja, mimpi yang cukup menakutkan. 

***

Jam setengah tujuh pagi. Om dan Wahyu sudah duduk diteras depan rumah, kopi dan singkong menemani perbincangan kami. Kami sedang menikmati suasana pagi di perkebunan karet ini. 

Sinar matahari dari ufuk timur menembus di sela-sela pepohonan karet, menyentuh permukaan tanah yang beberapa bagiannya tertutup oleh rerumputan. Embun pagi yang sedari awal terlihat menyelimuti pekarangan, perlahan mulai menguap dan menghilang. 

Burung-burung hutan yang hinggap di dahan pohon mengeluarkan suara riangnya. Sementara yang lain ada yang beterbangan kesana kemari. 

Itulah gambaran suasana pagi yang kami selalu nikmati setiap hari di perkebunan ini. Indah dan menyenangkan. Sangat jauh dari kesan yang menyeramkan. 

***

"Pak, mau tambah kopi nya lagi?".

"Ngga usah Yu, cukup. Sebentar lagi para pekerja kan sudah pada datang".

Iya, jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, ketika Wahyu menawarkan kopi untuk cangkir yang ke dua. Sebenarnya kami masih ingin berbincang seru dan menikmati suasana pagi ini. Tetapi sebentar lagi para pekerja penyadap karet akan berdatangan dan kami harus segera mulai bekerja.

Dan benar saja, tak lama kemudian dari kejauhan sudah terlihat para pekerja yang datang berbondong-bondong.

***

"Pak Heri, Usman hari ini ijin untuk tidak bekerja", Pak Adi, salah satu pekerja yang sudah cukup berumur berbicara kepada om ketika kami semua berkumpul di depan rumah dan sedang bersiap-siap.

"Lho, kenapa Pak? Ada apa sama Usman?". tanya Om kemudian. 

"Ayahnya meninggal semalam Pak, memang sudah lama sakit.

Usman adalah salah satu pekerja yang masih tergolong sangat muda, 18 tahun. Anak yang sangat rajin, selalu menurut dan patuh, tidak pernah mengeluh, selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan cepat. Pembawaannya juga ramah dan menyenangkan. Suka bercanda. Om dan Wahyu cukup akrab denganmya. 

Makanya kami cukup kaget ketika mengetahui kalau Usman tidak masuk kerja hari itu. Tapi saat kami mendengar alasannya, kami sangat bisa mengerti. Oleh karena itulah akhirnya Om dan Wahyu berniat untuk datang melayat ke rumah orang tua Usman setelah selesai bekerja sore nanti. 

Wahyu sangat setuju. Ditemani oleh beberapa pekerja, nantinya kami akan pergi ke rumah Usman yang kampungnya terletak di hulu sungai, sekitar dua jam perjalanan dengan berjalan kaki. 

Kenapa tidak menggunakan motor saja?

Menurut Pak Adi, beberapa wilayah sedang tidak dapat dilalui oleh motor, akibat hujan yang selalu turun. Ya sudah, karena memang sudah niat kami, kami memutuskan untuk tetap akan pergi dengan jalan kaki. 

***

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Om memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan lebih awal. Ya kerena kami berniat untuk melayat ke rumah orang tua Usman. 

Pada jam empat sore kami sudah berkumpul lagi didepan rumah, beristirahat sambil membereskan peralatan bekerja kami.

"Nanti kita berjalan kaki menyusuri sungai belakang saja Pak, bisa memotong jarak yang lebih pendek. Nantinya ngga sampai dua jam perjalanan", kata Pak Adi menjelaskan. 

Om dan Wahyu hanya mengangguk, karena Pak Adi lebih tahu lokasi sekitar sini daripada kami berdua. 

"Baiklah Pak, kami ikut Bapak saja. Jam setengah lima kita jalan ya", kata Om kepada Pak Adi. 

Beberapa rekan pekerja memang ada yang tinggal satu kampung dengan rumah orang tua Usman, jadi mereka sekalian jalan pulang. 

Tapi tidak begitu dengan Pak Adi, beliau tinggal berbeda kampung. Tapi tidak terlalu jauh letaknya. 

Jadi ada kemungkinan kalau nanti Om dan Wahyu akan kembali pulang dari rumah Usman hanya berdua saja, tidak ada yang menemani. 

Makanya, Wahyu sempat bilang kalau nanti kami tidak perlu hingga terlalu malam. Paling lama selepas isya kami sudah harus berada dalam perjalanan pulang. 

***

Setelah semua siap, kami pun berangkat. Ada enam orang dalam rombongan kami, termasuk Om dan Wahyu. Sore itu kami cukup beruntung, walaupun masih dalam musim penghujan tapi langit terlihat cerah tanpa awan. Namun suasana sudah semakin gelap karena hari juga sudah menjelang malam.

Diawali dengan menyusuri pepohonan bambu yang ada dibelakang rumah kami, kemudian kami mulai menyeberangi sungai, yang kebetulan pada saat itu airnya tidak terlalu banyak dan deras. 

Air sungai yang dingin, membasahi kaki kami hingga sebatas lutut. 

Lepas dari sungai kami mulai masuk kedalam hutan dengan berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah pepohonan yang rindang.  Kanan dan kiri hanya terdapat pohon-pohon yang berdiri cukup rapat dan menjulang tinggi. Di permukaan tanah terdapat banyak semak belukar menutupi sela-sela pohon. 

Suara dedaunan kering yang saling bergesekan dengan langkah-langkah kami yang terus berjalan di dalam suasana hutan yang semakin lama semakin gelap. Namun kami tetap saja berbincang cukup seru selama perjalanan. 

Pak Adi dan rekan lainnya terlihat sudah sangat terbiasa melewat jalan ini. Berbeda dengan om dan Wahyu, kami masih berlum terbiasa dengan jalan hutan ini. Ini adalah jarak terjauh kami menyusuri wilayah hutan yang letaknya di sisi bagian belakang perkebunan karet.

Om meminta Wahyu untuk menghafalkan jalan yang kami lalui, agar nanti pada saat kembali pulang kami tidak tersesat. Harapannya begitu.

Selama perjalanan kami tidak menemui satupun perkampungan. Hanya beberapa kali terlihat bangunan semi permanen yang terbuat dari kayu, berbentuk seperti rumah gubuk, itupun juga nampak kosong. 

Om mulai sedikit khawatir dengan situasi yang akan kami lalui dalam perjalanan pulang nanti. Dalam hati om berharap semoga kami tidak mengalami kejadian yang menyeramkan.

Semoga..

***

Ketika keadaan sudah gelap total karena hari sudah malam, akhirnya kami mulai memasuki wilayah perkampungan.

Melirik kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan, om melihat kalau waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah tujuh malam.

Di kanan dan kiri sudah terlihat rumah-rumah penduduk yang berbaris di pinggir jalan. Jalan yang sudah bukan lagi berbentuk jalan setapak, tapi jalan tanah yang cukup lebar. 

Rumah semi permanen yang tentu saja belum ada aliran listrik yang meneranginya. Lampu petromak dan lampu teplok menjadi sumber penerangan. Sementara beberapa penghuni rumah nampak duduk di beranda. 

Sesekali Pak Adi dan rekan lainnya bertegur sapa dengan penduduk yang kebetulan berpapasan ataupun yang sedang bersantai didepan rumah. 

Suasana perkampungan yang cukup bersahabat. 

Tidak terlalu lama setelah memasuki perkampungan, akhirnya kami sampai di tujuan.

***

Kami memasuki ke halaman luas salah satu rumah tanpa pagar yang terdapat bendera kuning di depannya. Rumah sederhana yang tidak terlalu besar. Dinding nya sudah berbentuk tembok walaupun tidak terlalu kokoh. 

Di beranda rumah terlihat sedah banyak orang yang lantas langsung berdiri dari duduknya untuk menyambut kedatangan kami. 

"Assalamualaikum..", suara lantang Pak Adi memecah keheningan malam itu. 

"Wa'alaikumsalam..",  jawaban dari orang-orang yang ada di beranda tak kalah lantangnya. 

"Wah, Pak Heri dan Bang Wahyu repot-repot datang segala", senyum merekah di wajah Usman ketika melihat kedatangan om dan Wahyu. Terlihat tetap tegar, Usman mempersilahkan kami duduk. 

Di dalam rumah sudah ada beberapa orang yan duduk bersila diatas tikar mengelilingi hidangan kue sederhana dan gelas-gelas minuman yang berisi air putih. 

Setelahnya, kami langsung meminta ijin untuk melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu. Usman mempersilahkan dengan menunjukkan tempat mengambil wudhu. 

Selesai sholat,  kami lantas ikut bergabung dan berkumpul di ruang tengah.

Isi rumah yang sangat sederhana. Lemari kayu besar memisahkan ruang tengah dengan ruang makan di belakangnya. Ada tiga kamar yang cukup besar disebelah kanan ruang tengah, sementara kamar yang satu lagi berada di belakang, bersebelahan dengan dapur dan kamar mandi. 

Beberapa bingkai foto hitam putih menempel di dinding ruangan, dari situ om bisa melihat kalau Usman memiliki keluarga yang cuku banyak anggotanya. 

***

Menurut cerita usman dia adalah anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Adik perempuannya satu-satunya masih bersekolah, sementara kakak-kakak Usman sebagian besar sudah memisahkan diri. 

Almarhum ayah Usman bekerja sebagai petani. Mereka memiliki sebidang tanah sawah garapan yang letaknya tidak jauh dari rumah tinggal mereka.

"Almarhum sudah kami kuburkan siang tadi Pak. Kalu Pak Heri tadi kemari melalui jalan pintas lewat hutan, Pak Heri pasti melewati pemakaman umum tempat Ayah saya dimakamkan. Sekitar tiga puluh menit perjalanan dari sini". Oh, jadi ternyata tadi kami sempat melewati pemakaman umum. Namun kami tidak menyadarinya karena memang suasana yang cukup gelap. 

Seperti Usmasn tetangga dan para saudara juga sangat ramah. Walaupun masih dalam suasana duka, beberapa orang mengajak kami berbincang mengenai hal apapun. 

Rencananya selapas isya nanti akan diadakan pengajian. Usman bersikeras mengajak om dan Wahyu untuk mengikutinya. Dengan sedikit terpaksa kami pun menyanggupinya. 

Sedikit terpaksa, karena rencananya paling malam om dan Wahyu akan pulang selepas isya, sebisa mungkin jangan terlalu malam. Mengingat jalur pulang yang akan kami lalui cukup menyeramkan. 

***

Singkat cerita acara pengajian selesai. Kami lanjutkan dengan kembali berbincang, kali ini di beranda rumah. 

Langit terlihat cerah. Bulan bersinar dengan terangnya. Membuat suasana malam menjadi tidak nampak terlalu gelap. 

Satu persatu rekan pekerja perkebunan yang ikut bersaa kami dalam perjalanan ke rumah Usman, berpamitan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan lewat sedikit ketika hanya tinggal om, Wahyu, Usman, Pak Adi dan beberapa keluarga yang lain yang ada didepan rumah. 

"Sudah jam setengah sembilan, kami pamit ya Man", kata om kepada Usman.

"Ngga menginap disini saja Pak? Besok pagi kita berangkat bareng ke perkebunan", tawar Usman. Tawaran yang sempat membuat om dan Wahyu mempertimbangan kan tentang hal itu. 

Tapi karena suasana malam yang tidak terlalu gelap dengan langit cerah dan sinar bulan, akhirnya kami memutuskan untuk tetap pulang.

"Kami pulang saja Man. Malam ini tidak terlalu gelap kok. Lagipula km belum perlu bekerja besok, jangan memaksakan untuk bekerja. Ambillah libur satu hari atau dua hari lagi", kata om pada Usman.

"Tapi Pak Heri dan Bang Wahyu masih ingat jalan pulang kan? Kalu ada apa-apa jangan ragu untuk kembali kesini Pak", pesan Usman kemudian. Om dan Wahyu mengangguk meng iya kan. 

Setelah itu dengan berat hati Usman mempersilahkan kami pulang. 

Om, Wahyu dan Pak Adi melangkahkan kaku meninggalkan rumah Usman. Usman meminjamkan sebuah obor minyak tanah, untuk membantu penerangan dalam perjalanan pulang. 

Wahyu yang membawa obor, sementara om membawa lampu senter yang sudah kami bawa sejak kami berangkat tadi. 

Pak Adi ikut bersama kami, tapi dia bilang nantinya kami akan pusah jalan diujung kampung. Selebihnya om dan Wahyu akan melanjutkan perjalanan pulang sendirian menembus hutan. 

Semoga keputusan untuk tidak menerima tawaran Usman adalah keputusan yang tidak akan kami sesali. 

***

Sekitar lima belas menit perjalanan, kami sampai juga di ujung kampung. 

"Saya ke kiri mengikuti jalan ini ya Pak. Pak Heri dan Wahyu ambil jalan lurus ini saja. Terus sampai menemui jalan untuk masuk hutan yang tadi. Ngga takut kan Pak? Tenang saja, malam ini tidak terlalu gelap", panjang lebar Pak Adi berpamitan sambil tersenyum.

"Iya Pak terima kasih, sampai ketemu besok ya Pak", balas Wahyu. 

Akhirnya kami berpisah jalan. Sementara Pak Adi berbelok kearah kiri menuju ke rumahnya. Kami terus berjalan lurus menuju rumah kami di tengah perkebunan karet. 

***

Jalan mulai mengecil ketika om dan Wahyu mulai meninggalkan perkampungan, jalan setapak yang saat berangkat tadi kami lalui. 

Dibantu dengan obor ditangan wahyu dan senter di tangan om, kamipun mulai memasuki wilayah hutan. 

"Kamu masih ingat jalannya kan Yu?"

"Ingat Pak. Beberapa bagian jalan sudah sempat saya tandai dengan tumpukan batu, ngga akan kesasar Pak", Wahyu menjawab dengan yakin. 

Berbeda dengan sebelumnya ketika kami berangkat, suasana hutan malam ini agak sedikit mencekam. Mungkin karena kali ini  hanya ada Om dan Wahyu dalam perjalanan pulang ini. 

Suasana hutan sudah sangat sepi walaupun belum terlalu malam. Hanya terdengar suara langkah kaki kami dan sesekali binatang hutan juga mengeluarkan suaranya. 

Tapi setelah sekitar setengah jam kemudian, tiba-tiba langit berangsur menjadi lebih gelap. Awan menutupi bulan dan menghalangi sinarnya. Langit yang tadinya cerah berbintang menjadi hitam gelap. 

"Kelihatannya akan turun hujan Yu".

"Iya Pak, mulai mendung", suara Wahyu menampakkan sedikit ke khawatiran. 

Kami kompak mempercepat langkah kak. Melangkah diatas jalan setapak yang kadang sedikit menanjak. Membelah hutan rindang yang hanya dibantu oleh cahaya dari obor minyak tanah dan senter yang tidak terlalu besar ukurannya. 

Beberapa saat kemudian hal yang kami takutkan terjadi. Hujan gerimis mulai turun dari langit. Karena masih gerimis, beum terlalu lebat hujannya, kami memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan kami. 

***

Jalan tanah sedikit demi sedikit mulari terbasahi oleh air. Membuat jalan yang kami lalui menjadi lebih licin, akibatnya perjalanan kami menjadi leih lambat. 

Sudah sekitar setengah perjalanan, ketika hujan turun semakin deras. Tubuh kami pun mulai semakin basah karena air hujan. 

Wahyu terlihat berusaha keras melindungi obor agar tidak padam terkena air hujan. Dengan melindungi atasnya dengan daun yang besar. 

"Hujan semakin besar Pak, kita harus mencari tempat berteduh", Wahyu mulai panik dan nampak mulai menyerah.

Untung saja, tidak jauh dari tempat kami berdiri, kami melihat ada sebuah bangunan kecil disebelah kanan jalan setapak yang sedang kami lalui. Kami kompak berlari ke bangunan itu untuk berteduh. 

Syukurlah obor masih tetap menyala apinya, masih bisa membantu penerangan kami yang berteduh diteras bangunan berbentuk gubuk yang berukuran cukup besar untuk kami berdua.

Gubuk kosong yang pada banyak bagiannya sudah terlihat berlubang, namun masih bisa memberi kami atap untuk sekedar berlindung dari hujan yang semakin lama semakin deras. 

Kami mulai berbincang di tengah derasnya hujan. mencoba mengalihkan pikiran kami yang sudah mulai semakin khawatir dengan keadaan dan situasi yang sedang kami alami.

Malam semakin larut sementara hujan belum memperlihatkan tanda-tanda akan berhenti. Kami sempat berdiskusi, apakah akan melanjutkan perjalanan pulang atau kembali ke rumah Usman. 

Hasilnya tetap bimbang, karena kami sudah ada di tengah-tengah perjalanan. Arah manapun yang akan kami ambil sepertinya akan memakan waktu yang sama. 

Kami duduk diatas kursi kayu panjang, kursi kayu yang sudah agak berlumut karena mungkin sudah lama tergeletak tanpa ada yang menggunakan. 

Om kembali melirik jam tangan. Sudah pukul sebelas malam, kira-kira sudah dua jam kami berteduh di gubuk itu. 

Tubuh kami sudah mulai menggigil kedinginan, air menetes dari atap gubuk yang bocor di beberapa bagian mulai membasahi tubuh dan pakaian kami. 

"Hujan sudah tidak terlalu deras Pak. Kita lanjut jalan saja", ajak Wahyu.

Wahyu benar, hujan memang sudah berkurang intensitasnya, sudah berubah menjadi gerimis sedang. 

Namun tetap saja kami akan basah kuyup apabila tetap nekat untuk melanjutkan perjalanan. 

***

"Nanti saja Yu, kita tunggu sebentar lagi", Om tahu, Wahyu sudah merasakan ada yang tidak enak dalam hatinya. Terlihat dari raut wajahnya yang menyiratkan ke khawatiran. 

Om juga merasakan hal yang sama. Suasana di sekeliling kami sudah terasa berbeda, entah kenapa semakin mencekam. Om menoleh ke arah Wahyu ketika ia tiba-tiba mencengkeram tangan Om dengan kuat.  Ternyata Wahyu memberkan isyarat agar Om melihat kearah yang ia ingin tunjukkan. 

Wahyu ingin menunjukkan sesuatu. Perlahan jari telunjuknya menunjuk ke satu titik  kearah depan, di sisi jalan setapak yang berseberangan.

Om langsung mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk oleh Wahyu. Gerimis hujan dan gelapnya malam menghalangi penglihatan, Om tidak melihat apapun, belum. 

"Ada apa sih Yu?", dengan setengah berbisik Om bertanya. 

"Ada orang berdiri diseberang Pak", jawab Wahyu dengan agak terbata-bata.

Kembali Om arahkan pandangan ke arah yang di maksud Wahyu, kali ini Om menyalakan lampu senter yang sedari tadi ada ditangan. Cahaya lampu senter sedikitmampu menembus gerimis hujan yang masih saja turun, memperjelas pandangan untuk melihat apa yang ada di depan kami. 

Om melihat kumpulan pohon pisang yang berdiri, berbaris dipinggi jalan setapak, beberapa lembar daunnya bergoyang tertimpa air hujan. 

Om menyisir deretan pohon pisang itu di bantu oleh cahaya senter, namun belum terlihat apapun juga.

"Terus kesebalah kiri Pak", sedikit berbisik Wahyu mengarahkan.

Om coba untuk mengikuti arahan Wahyu, kembali menyusuri deretan pohon-pohon pisang itu. 

Hingga cahaya senter berhenti pada satu tempat, tempat yang sangat gelap, cahaya lampu senter Om menangkap sesuatu. Ada sosok yang berdiri diantara pohon-pohon pisang. Sosok itu masih samar tapi bentuknya sudah terlihat cukup jelas.

Sosok itu sepertinya laki-laki. Berdiri tegak, dengan posisi kaki terbuka agak lebar, kedua tangannya seperti sedang berpegangan di belakang tubuhnya. 

Kami hanya berjarak sekitar belasan meter saja. 

***

Om menahan nafas. Tak terasa om menjadi takut, ketika akhirnya menyadari ada yang aneh dengan sosok itu. Keanehan yang sedari awal sudah disadari oleh Wahyu.

Sosok itu ternyata berdiri tanpa kepala. Kami berdua terdiam membisu, tidak berani bergerak atau mengeluarkan suara.

Kami ketakutan, menebak-nebak apa yang akan terjai kemudian. 

Om mematikan lampu senter, dan kemudian penerangan hanya bersumber dari cahaya obor yang di pegang oleh Wahyu. 

Dalam kegelapan, siluet sosok tanpa kepala itu masih saja terlihat, walaupun samar. Wahyu masih menundukkan kepala, tidak berani melayangkan pandangannya ke depan. Begitu juga Om, berusaha untuk melayangkan pandanga ke arah lain.

Cukup lama sosok itu berdiri dalam gelap. Memperhatikan kami berdua. Sampai pada akhirnya hujan berangsur reda, hanya tersisia gerimis kecil yang turun dari langit.

"Ayo Yu, kita lanjut jalan..", Wahyu langsung memetik daun yang cukup panjang untuk melindungi obor dari air hujan. 

Kamudian kami melangkahkan kaki kembali ke jalur jalan setapak menuju rumah. 

Sekilas Om melihat sosok tanpa kepala itu tetap berdiri di tempatnya. Kami mencoba untuk tidak menghiarukan dan tetap lanjut melangkah.

***

Sepanjang jalan kami berdua lebih banyak diam, tanpa perbincangan. Langkah kaki kami tidak dapat melaju lebih cepat lagi karena kondiri jalan yang becek akibat sisa hujan sebelumnya. 

Isi kepala tidak karuan. Peristiwa yang baru saja Om lihat masih terbayang di dalam kepala Om.

Jam di tangan menunjukkan sudah hampir pukul dua belas malam, sementara kami masih ada di tengah-tengah hutan belantara ini. 

Syukurlah hijan sudah benar-benar reda. Namun langit masih saja gelap, sinar bulan masih tertutup awan tebal. 

Suara binatang malam mulai terdengar. Pada akhirnya muncul juga suara yang kami takutkan, suara lolongan anjing hutan. Lolongan panjang yang terdengar dari kejauhan. Lolongan yang hampir selalu menandakan akan terjadi sesuatu. 

Tanpa sadar kami kompak mempercepat langkah kami.

"Lebih cepat lagi Pak", Wahyu meminta Om untuk lebih cepat lagi melangkahkan kaki. 

"Ada apa Yu?".

"Jalan lebih cepat saja Pak, jangan lihat kebelakang".

Suara lirih Wahyu terdengar bergetar . Om mempercepat langkah, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Om perlahan menolehkan kepala dan mengarahkan pandangan kearah belakang. 

Dengan bantuan cahaya dari lampu senter, Om dapat melihat apa yang menyebabkan Wahyu sangat ketakutan. 

Terlihat ada sosok tanpa kepala yang kami lihat didepan gubuk tadi. 

Sosok itu berjalan gontai mengikuti kami dari belakang. 

"Ayo cepat Yu", kami berjalan terburu-buru seperti dalam perlombaan. Memaksa langkah untuk bergerak menjauhi sosok dibelakang yang mengikuti kami.

***


BERSAMBUNG









Komentar

Postingan Populer