Astana Ratu - ANJANI (PART 4/Jani)
Selepas sholat maghrib, kami semua makan nasi goreng pete buatan bu Saat. Tentu saja pete yang di masak adalah pete yang kami bawa tadi.
Selesai makan, Bang Yon mengajak Rama dan aku ke Sembalun untuk menanyakan kondisi jalur sekaligus regrestrasi agar besok pagi buta bisa langsung trekking.
Karena tujan kami adalah ke puncak, maka kami mengambil jalur Sembalun. Karena lebih dekat melalui jalur itu ketimbang melalui Senaru. Namun persis sebelum kami berangkat, "Ram, ada anak Unram (Universitas Mataram) batal naik, ada kegiatan kampus" kata Bang Yon ke Rama.
"Lah? Jadi kita berempat doang ini bang?" Rama memastikan ke Bang Yon.
"Iya nih kayaknya. Kamu gimana? Aman ngga?" tanya Bang Yon balik.
"Yaudahlah lanjut aja gapapa, mau gimana lagi" jawab Rama. Hatiku berdesir. Naik ke Rinjani hanya berempat? Aku belum pernah melakukan pendakian dengan jumlah anggota sesedikit itu. Di pendakianku yang sebelumnya, jumlahnya selalu banyak. Rasa ragu sempat menyelinap, apakah aman nantinya?
Buru-buru kutepis pikiran buruk itu. Aku mencoba memainkan logikaku. Dua orang lelaki yang ada di depan ku ini memiliki jam terbang yang tinggi di dunia seperti ini. Jadi harusnya, semua akan baik-baik saja.
Belum selesai sampai sana, tiba-tiba saja Lale Nonik keluar rumah dan menghampiri kami dengan wajah cemas.
"Dek Rama, dek Jani.. Lale barusan dapat kabar duka. Sepertinya Lale harus balik ke Mataram malam ini. Maaf banget ya dek. Kalian ke Sembalun aja dulu pake mobil Lale untuk registrasi" kata Lale sambil menatap kami satu persatu. Matanya memerah dan ada genangan air mata disana.
Aku lemas mendengar kabar yang begitu mendadak seperti itu. Ini artinya kami hanya kana mendaki bertiga. Eh, tunggu, apa jangan-jangan justru aku hanya akan mendaki berdua dengan Rama? Sepertinya tidak mungkin Bang Yon membiarkan Lale Nonik pulang ke Mataram sendirian malam-malam begini. Apa iya boleh mendaki hanya dengan dua orang personel? Perasaanku semakin tidak karuan. Aku diam seribu bahasa, hanya bisa memandang ke arah Rama dengan tatapan pasrah.
Rama membaca tatapanku itu dan seakan tahu kegelisahan yang aku rasakan.
"Bentar ya Jan, aku ngobrol dulu sama Bang Yon" kata Rama cepat sambil menarik tangan Bang Yon menjauh dari Lale Nonik dan aku.
Sepeninggal Rama dan Bang Yon, aku lantas menghampiri Lale Nonik dan memeluknya lalu menyampaikan bela sungkawa.
"Sabar ya Lale, Jani ikut berduka.." hanya itu yang bisa kukatakan. Lale Nonik membalas pelukanku dan mengangguk. Kemudian Lale pamit sejenak untuk merapikan barang-barang yang tadi sudah sempat dibongkar. Tinggallah aku sendiri di teras sambil menunggu keputusan Rama dan Bang Yon.
Pikiranku berkecamuk. Ada rasa sedih, kesal dan takut berbaur menjadi satu. Bagaimana ini? Aku sudah jauh-jauh kesini, masa harus batal? Lalu bagaimana aku harus mengambalikan batu ini? Lantas aku mengeluarkan batu putih susu bercorak pelangi itu. Pandanganku beralih ke Rama yang sedang berdiskusi dengan Bang Yon.
Kemudian aku kembali menunduk. Memandangi batu putih itu. Rasa sesal kembali menghantuiku. Kenapa aku begitu bodoh dan mudah percaya perkataan temanku setahun lalu. Padahal aku tahu ada aaturan untuk tidak mengambil apapun selama di gunung. Kuangkat kembali kepalakum tanpa sengaja aku melihat kearah gerbang masuk pendakian. Disana berdiri seorang perempuan dengan kulit yang sangat putih, kontras dengan gelapnya malam.
Aku terkesiap. Itu dia! Perempuan yang sering sekali hadir dalam mimpiku sejak kkuambil batu ini dan berkali-kali mengintimidasiku, menyuruhku untuk mengembalikan batu putih ini. Bedanya kali ini dia benar-benar menampakkan dirinya di hadapanku.
Perempuan itu menari disana dan tersenyum lebar kepada Rama. Tidak, tidak hanya lebar. Tapi.. sangat lebar hingga bibirnya menyentuh daun telinganya.
Namun pandanganku kembali ke Rama. Aku menyaksikan mereka saling beradu pandang. Apakah itu berarti Rama juga bisa melihatnya, atau ini hanya kebetulan?
"Kampreettt.. pergi!!!!!" teriak Bang Yon sambil memberikan gestur mengusir. Lho? Bang Yon juga tahu?
Tiba-tiba rasa ragu mulai memasuki pikiranku. Aku bertanya kepada diriku sendiri, haruskan aku melanjutkan pendakian ini? Tapi bagaimana nanti kalau ada apa-apa diatas sana? Bayangan para dayang yang mengelilingiku saat kejadian di jalur puncak Rinjani tahun lalu pun tiba-tiba kembali berputar di kepalaku.
Rama dan Bang Yon terlihat berjalan kembali kearahku. Tanpa basa basi Rama langsung menjelaskan skenario perjalanan kami.
"Jadi gini Jon.."
"JANI!!!" potongku cepat karena Rama memanggilku Jono.
"Bahahaha.. iya iya, JA-NI. Tuh, puas?!"
"Bodo.. gimana jadinya?" tanyaku penasaran.
"Besok aku sama kamu tetap naik sesuai plan awal. Lusa Bang Yon nyusul kita. Tapi kita harus usahain lusa siang selesai summit, terus turun ke Segara Anak, camp semalem disana. Nanti Bang Yon nyusul kita disana. Besok paginya baru kita sama-sama naik Plawangan Senaru, terus turun ke pak Saat lagi. Gimana? Nanti kalau amit-amit kita kenapa napa, pastiin jangan maksain gerak. Kita banyakin break aja atau camp sekalian dimanapun itu. Paham?! Jelas Rama panjang.
Setelah menyetujui skenario yang diatur oleh Bang Yon dan Rama, kamipun langsng bersiap dan bergegas ke pon pendakian TNGR di Sembalun.
Ketika kami tiba disana, kami mendapat kabar pendakian di tutup sementara.
Rama langsung protes karena seharusnya penutupan pendakian diikuti dengan edara resmi dan diberitahukan ke media, namun kali ini tidak. Petugas juga mengatakan berbagai macam alasan penutupan. Mulai dari ada upacara adat, jalur gempa minor sampai sekedar menjawab "Arahan dari pusat".
Aku lemas seketika mendapati kejadian demi kejadian yang seakan melarang kami untuk mendaki ke Rinjani.
Kudengar nada bicara Rama mulai meninggi karena kesal dan hampir berdebat panjang kalau saja Bang Yon tidak menahannya dan memintanya untuk sabar. Baru kali ini kulihat Rama seperti itu. Rama yang kukenal memang suka sekali bercanda, tertawa dan bikin kesal orang dengan candaannya. Ternyata bisa semurka itu bila rencananya kacau.
"Ram.. udahlah.." kata Bang Yon sambil narik Rama menjauhi pos regristrasi.
"Tapi bang, ngga profesional banget lah. Masa kaya gitu, harusnya ada info dulu. Ngga kaya gini! Ngga mikirin apa, orang udah jauh-jauh dateeng, kluarin banyak duit tapi dapetnya kaya gini?!" kata Rama tersulut emosi. Sementara itu aku hanya bisa terdiam saja dengan posisi duduk menunduk.
"Iya aku paham. Tapi kamu coba ngga usah kebawa emosi gitu. Tenang lah Ram, kasian si Jani sampe syok gitu liat kamu" kata Bang Yon sambil menunjukku yang sedang duduk sendirian di ujung teras pos.
Rama lalu mendekatiku..
"Jan.. Wei! Bisa-bisanya ketiduran jam segini" sapa Rama sambil menepuk pundakku.
"..." aku terdiam tanpa menanggapi bercandaannya.
"Jani.. kamu gapapa?" tiba-tiba bada suara Rama berubah, kali ini tidak terdengar bercanda dan seperti khawatir.
"Kaya nya kita pulang aja yuk Ram.." sahutku akhirnya dengan nada suara yang tercekat ditenggorokan dan terdengar sangat pelan. Jujur, saat itu aku hanya mencoba untuk menahan tangisku.
"Pulang..?"
"Kayanya Tuhan emang ngga kasih aku ijin untuk kesini lagi. Padahal niatku kan cuma pengen ketemu ratu dan bilang makasih, ngga lebih dari itu. Emang salah ya kalo niatku begitu, sampe kita dipersulit begini?" kataku setengah menutupi tujuanku sebenarnya sambil menatap Rama. Tak terasa, ternyata mataku sudah basah.
Kulihat Rama terkesiap dengan perkataanku. Sepertinya dia mau menegurku, entah apa yang salah dengan ucapanku.
"Emang kamu bisa liat mereka Jan?" tanya Rama akhirnya.
"Ngga sih Ram.."
"Terus?"
"Ya seenggaknya aku bisa summit, bisa sampai ke istananya walaupun mataku ngga bisa liat ato ngerasain. Terus aku cuma mau bilang makasih disana. Udah itu aja Ram, aku ngga ngotot harus ketemu liat-liatan, ngga. Tapi kalo aku bisa ketemu langsung, itu lebih bagus..." ungkapku kemudian disela upayaku menahan air mataku berhenti menetes.
"Jan kamu tunggu sini. Aku akan coba sebisaku. Tapi km janji, diatas nanti km jangan sampe pisah sama aku. Ngga ada cerrita kamu pergi sendirian malem-malem nikmatin suasana me time kaya biasanya. Kamu harus deket sama aku, even kamu mau pipis pun harus bilang sama aku. Deal?" tawar Rama.
"Tapi gimana, kan pendakiannya di tutup Ram.."
"Jangan bawel deh. Janji dulu sama aku, km ngga akan pisah dari aku" kata Rama tegas.
"Iya.. aku janji.." jawabku lemah. Ada perasaan aneh yang terselip di hatiku.
Lantas kulihat lagi Rama masuk kedalam pos registrasi dengan kepala yang lebih dingin. Kudengar Rama sudah merendahkan nada bicaranya ketika masuk dan meminta maaf atas perlakukannya tadi yang dia akui sedang terbawa emosi. Selama aku dan Rama berbicara tadi, sepertinya Bang Yon juga banyak berdiskusi dengan si penjaga pos.
Aku tidak mendengar secara jelas pembicaraan Rama disana. Hanya beberapa hal yang bisa aku dengar. Namun aku tahu kini Rama sudah bisa mengontrol emosinya jauh lebih baik dan menurunkan nada bicaranya. Jika tadi dia mencoba bernegosiasi dengan emosi, kali ini dia mencobanya dengan momohon.
Memohon agar diijinkan summit walaupun hanya satu malam dan keesokan harinya turun. Rama juga menjelaskan latar belakangku sampai begitu berniat untuk bisa summit di Rinjani. Bahkan dia juga berani menjamin keselamatan kami berdua selama pendakian dengan menunjukkan semacam bagde dari Basarnas yang menunjukkan bahwa Rama memang cukup mumpuni di bidang ini.
Setelahnya aku melihat petugas itu berbicara penjang lebar kepada Rama yang aku tidak bisa mendengarnya dari luar. Rama hanya mengangguk angguk ketika petugas pos itu memberikan instruuksi dan menunjuk-nunjuk kearah puncak Rinjani.
"Gimana, bisa dikondisikan? Persiapanmu sudah lengkap?" tanya petugas itu.
"Bisa. Makasih banyak pak. Aman semua lengkap. Sekali lagi saya minta maaf sama perbuatan saya tadi sebelumya" kata Rama di akhir perbincangan itu sambil menjabat tangan si petugas. Sepertinya Rama berhasil, pikirku.
Rama dengan wajah sumringah lalu keluar pos dan langsung mendatangiku.
"Jan.. jadi nih kita ketemu Ratu Anjani" ucap Rama dengan senyum lebar.
"Ngga usah kasih harapan deh.." balasku pura-pura ngga tahu.
"Lah serius. Tanya Bang Yon sana.."
"Hah, serius Ram?!" tanyaku sekali lagi, sekedar memastikan aku ngga salah dengar. Rama menganggukkan kepalanya. Dan aku sudah tidak bisa menutupi rasa bahagiaku.
"Nah gitu dong.." kata Rama lega melihatku sudah bersemangat lagi.
Setelah mengantongi ijin untuk pendakian besok, aku , rama dan Bang Yon kembali ke rumah Pak Saat. Waktu kami melintasi gerbang Senaru, aku melihat lagi penari itu berlenggak lenggok dalam kegelapan. Aku melirik Rama yang sedang menyetir. Ternyata dia juga sedang melirik kearah yang asama, kearah penari itu. Lagi-lagi penari itu tersenyum, senyumnya yang begitu lebar dan licik dari wajahnya yang tidak simetris. Malam itu juga kami berpisah dengan Bang Yon dan Lale Nonik.
Aku ijin masuk ke kamar duluan untuk istirahat. Kejadian demi kejadian hari ini begitu melelahkan pikiran sekaligus perasaanku. Sementara Rama dan Pak Saat masih berbincang di luar. Harapanku untuk bisa segera istirahat ternyata tidak berjalan dengan mudah.
Beberapa kali kucoba untuk memejamkan mata, nyatanya aku masih tetap terjaga karena gelisah yang entah karena apa. Akhirnya aku berbaring sambil mendengarkan percakapan Rama dan Pak Saat.
Namun saay aku menguping pembicaraan mereka berdua, sayup-sayup seperti kudengar suara lainnya selain obrolan mereka. Seperti suara soerang perempuan yang sedang bersenandung ditengah kesunyian malam dan suara serangga, tapi aku tidak bisa mendengar jelas suaranya. Tak lama kemudian, kudengar Rama berpamitan untuk beristirahat.
Pak Saat sempat menawarkan untuk tidur didalam bersamaku karena udara yang sangat dingin. Namun dengan halus Rama menolaknya. Aku tersenyum dari dalam kamar saat itu, padahal aku sudah menyiapkan banyak alasan jika tiba-tiba saja Rama masuk ke kamar.
Setelah Rama dan Pak Saat mengakhiri obrolan dan beranjak tidur, suasana seketika menjadi hening, Hanya terdengar suara binatang malan dan hembusan angin yang menerobos dinding anyaman bambu kamar ini. Aku menarik selimut untuk menutupi badanku. Namun..
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar