Merapi via Kinahrejo (True Story) - Part 1

 Kisah ini terjadi saat saya mendaki Gunung Merapi di tahun 1992 melalui jalur pendakian Kinahrejo. Waktu itu saya tidak sendirian. Saya bersama tiga orang teman saya, sebut saja Dion, Kemal dan Andri. Saat itu saya masih berkuliah di tahun kedua dan belum masuk kedalam organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA).

Pendakian saat itu kami lakukan pada masa liburan semester kuliah. Dan pendakian kala itu di sponsori oleh Dion, yang kebetulan memang anak salah satu orang kaya di Jakarta. Singkat cerita Dion adalah teman saya sejak berada di bangku SMP dan SMA, namun waktu itu di berkuliah di Amerika. Dan pada saat itu juga pertama kali bagi saya mendaki ke Gunung Merapi.

Peralatan yang saya, Kemal dan Andri bawa adalah peralatan pendakian ala kadarnya (merk lokal Alpina). Hanya Dion yang saat itu sudah memiliki tas carrier merk Karrimor. Dan tak hanya itu, Dion juga membawa kompor gas (saat itu mendaki gunung dengan membawa kompor gas adalah barang yang sangat mewah, terutama di Indonesia).

Singkat cerita, kami melakukan perjalanan dari Jakarta hingga ke Jogja. Sampai di Jogja kami langsung menuju ke jalur pendakian via Kinahrejo. Waktu itu Gunung Merapi belum memiliki Ranger (Jagawana/Polisi Hutan), adanya hanya seorang kuncen.. yang sangat terkenal, yakni Mbah Maridjan. Dirumah beliau lah yang saat itu menjadi basecamp jalur pendakian Merapi via Kinahrejo.

Disitu kami mempersiapkan segala kebutuhan logistik, sambil mengobrol dengan sang kuncen. Tapi entah mengapa sejenak kemudian, mata sang kuncen menatap saya dengan pandangan yang tajam. Seolah-olah beliau menerawang.. dan tiba-tiba saja sang kuncen bersikap menghormat kepada saya. Saya sendiri kaget, karena melihat beliau seperti hendak "sungkem" kepada saya. Saya hanya terbengong karena tidak mengerti bahasa Jawa halus yang beliau katakan. 

Kata teman saya, saya masih ada keturunan dari trah kerajaan. Begitu kurang lebih arti kata yang disampaikan oleh Mbah Maridjan. Sebagai orang yang lebih muda saat itu, tentu saya hanya terdiam dan merangkul sang kuncen agar tidak perlu menghormat kepada saya. Tentunya tak enak kalau dilihat oleh orang-orang karena saya merasa bahwa saya adalah orang biasa.

Tetapi selanjutnya yang menjadi perhatian dari setiap pendaki, sang kuncen, dan saya sendiri, adalah si Dion ini. Tampak Dion mengalungi sebuah ketapel besi. Memang saya sudah lama tahu kalau Dion ini memang hobi nya berburu dan jago menembak selama hidup di Amerika sana. Tapi pikir saya, buat apa ini anak membawa ketapel untuk mendaki gunung?

Mbah Maridjan mengatakan kepada kami agar lebih baik untuk memulai mendaki pada pagi hari, jangan malam ini. Tapi si Dion bersikeras.. kenapa kita tidak naik malam ini saja? Kalau kita naik malam ini besok pagi kita bisa dapat sunrise. "Ah gunungnya ngga seberapa tinggi ini..", celetuk Dion saat itu. Memang saya, yang sudah lama berkawan dengan Dion mengetahui kalau dia ini agak sombong karena dia merasa sebagai anak salah satu orang yang berpengaruh di ibukota. Tapi disisi lain, dia sangat baik dengan kawan-kawannya dan tidak pernah pelit. Saya juga merasa tidak enak hati, karena biar bagaimanapun Dion lah yang membiayai semua keperluan dalam perjalanan ini. Tetapi kemudian saya mencoba memberanikan diri untuk memberikannya pengertian.

"Man.. gini man.. kita ini kan.. disini kan.. belum tahu medan. Apalagi, Mbah Maridjan ini.. kuncen disini, beliau tahu persis kondisi medan dan alam disini. Kalau beliau ngomong jangan naik malam ini, lebih baik kita nurut aja, jangan naik malam ini..", kata saya setengah berbisik kepada Dion. Dan untunglah setelah saya bujuk perlahan, Dion lalu mau menuruti saran saya untuk mengikuti anjuran sang kuncen.

Pagi harinya di hari Rabu, kita terbangun di basecamp rumah Mbah Maridjan. Singkatnya sekitar jam 7-8 pagi itu kita memulai pendakian ke Gunung Merapi melalui jalur Kinahrejo ini. Pada saat berpamitan dengan Mbah Maridjan, beliau sempat berpesan dalam bahasa Jawa nya yang kira-kira artinya adalah, "Diatas hati-hati.. jangan urakan, jangan kurang ajar, jaga sikap..". Kami semua mengiyakan kecuali Dion. Dia nampak tak mengindahkan dan seolah-olah mengabaikan pesan Mbah Maridjan.

Sepanjang perjalanan kami sempat bertemu dengan rombongan pendaki lain. Yang pertama berasal dari Jogja dan yang kedua berasal dan Boyolali. Kabetulan kami semua sama-sama menuju keatas, lumayan ada teman lain, jadi lebih ramai.

Pos demi pos kami lewati, mulai dari medan yang landai hingga medan yang terjal. Vegetasi hutan waktu itu masih sangat rapat, berpasir dan berbatu. Perjalanan kami diselingi dengan beberapa kali istirahat sekedar minum dan merokok. Tetapi disepanjang perjalanan, Dion sering sekali memainkan ketapelnya. Di isinya ketapel itu dengan batu dan ditembakkannya ke sembarang arah. Ia berharap ada burung atau hewan lain yang sedang sial dan terkena peluru ketapelnya. 

"Man, jangan seenaknya. Jaga sikap sedikit..", tegur saya pada Dion saat itu. Tapi dia justru malah marah kepada saya, "Apaan sih lu, percaya benget sama mistis. Di Amerika gua naik gunung kagak ada serem-seremnya sama sekali..". Saya dan beberapa teman terkejut melihat reaksi Dion. Padahal maksud kami baik, kami sudah sempat mendengar cerita-cerita yang berbau mistis, misteri dan mitos di Gunung Merapi ini. Tapi saya hanya bisa menghela nafas untuk bersabar, dan setidaknya Kemal dan Andri juga sepemikiran dengan saya. Mereka hanya bisa berguman, "Ya sudahlah.. dia kan bos nya".

Singkat cerita sekitar jam 2 siang kami tiba di Pasar Bubrah. Sekedar informasi, Pasar Bubrah adalah nama salah satu pos yang ada di Gunung Merapi, dimana tempat ini adalah hamparan medan berbatu yang sangat luas. Konon katanya, di adalah lokasi dari pasar gaib Gunung Merapi. Ditempat ini kami mendirikan tenda. Setelah itu kami mulai memasak makanan dan minuman hangat bersama dengan dua rombongan yang sejak awal pendakian tadi sudah berjalan bersama dengan kami. Tentunya acara itu diselingi dengan senda gurau dan obrolan santai diantara kami semua. 

Ditengah-tengah acara santai itu, tiba-tiba si Dion mengungkapkan keinginannya untuk segera melanjutkan perjalanan menuju ke Puncak Garuda Gunung Merapi dengan alasan karena dia ingin mnedapatkan foto saat sunset di puncak Merapi. "Ayolah kita muncak.. paling cuma sejam an dari sini. Udak kelihatan tuh puncaknya dari sini..", kata Dion. Kita semua yang mendengarnya pun hanya bisa terpana dengan omongan Dion barusan. "Udahlah.. jangan sekarang, besok pagi aja. Kita isitirahat dulu disini", kata Kemal. Tapi saran Kemal di jawab Dion dengan angkuh, "Ah kalian cemen! Itu kan sudah kelihatan puncaknya, nunggu apalagi?!".

Sejenak kemudian ada seorang pendaki lain dari rombongan lain yang juga ada di Pasar Bubrah yang kebetulan baru saja turun dari puncak. Dia menyarankan untuk sebaiknya kita jangan dulu naik ke puncak, karena kawah Merapi sedang mengeluarkan asap beracun. Begitu mendengar hal itu, Dion hanya bisa terdiam. Dia lantas melanjutkan jalan-jalan keliling di Pasar Bubrah sambil tetap memainkan ketapelnya. Sepertinya Dion begitu terkesima sejak melihat Pasar Bubrah yang bermedan lapangan luas itu. "Wah enak nih lapangan gede banget, kita bisa main bola disini..", katanya.

Dion nampak duduk disebuah batu besar dan disisi lain saya masih mengobrol dengan salah seorang pendaki dari Jogja yang sejak awal pendakian sudah bersama dengan rombongan kami. Di kemudian waktu, saya tahu bahwa pendaki asal Jogja ini memiliki kemempuan untuk "melihat" hal yang tak kasat mata.

BERSAMBUNG

Komentar

Postingan Populer